Jumat, 14 Januari 2011

Meniga Dalam Puluhan

Melukismu pada layar putih dengan kursor yang terus berkedip adalah bukan sesuatu yang mudah. Begitu pula bila aku harus berimaji tentangmu. Dipaksa sekalipun, hasilnya percuma. Entah mengapa. Mungkin karena selama ini engkau nyata, tidak maya.

Seperti berpuluh purnama yang lalu, saat luka kerap menjadi lagu. Ada ketulusan terabaikan oleh hati yang sedang buta. Ada dunia tak terpikir yang tumbuh diam-diam mendekam dalam sudut jiwa. Penuh pengharapan, namun terasa janggal jika untuk dijalani. Hingga pertempuran pun terjadi. Ego telah menjelma benteng yang sulit diruntuhkan. Apakah kelak akan terbuka, ataukah tertutup untuk selamanya. Namun akhirnya pertempuran pun dimenangkan oleh kesabaran.

Kesabaran yang harus ditebus dengan air mata. Kesabaran yang harus didapat dengan perjuangan juga. Kesabaran yang harus diikrarkan untuk melawan kebimbangan sikap mengatasnamakan dendam hati masa lalu. Dendam hati yang bahkan tak mampu terdeteksi mata telanjang. Entah sebab kepongahan, atau kedegilan hati.

Kesabaran itu mewujud pada angka tiga di bulan pertama setahun yang lalu. Tepat sebelas hari sebelum perayaanmu yang ke dua puluh sembilan dan delapan puluh lima hari sebelum perayaanku yang ke dua puluh tujuh. Seakan tak percaya, bahwa kisah puluhan purnama ternyata membawa kita berada di sini bersama-sama.

Ini akhir dari masa lalu dan awal masa yang baru. Sudah lebih dari tiga ratus enam puluh lima malam kita melaluinya. Meski demikian, mengimajimu tetaplah bukan pekerjaan mudah. Mungkin karena kau bukan bayangan yang tak bisa dijamah. Kau terlalu nyata untuk hidup yang penuh warna.

Maka untuk Cinta, telah ku titipkan semua kepada-Nya: hati, jiwa dan raga. Agar tak pernah terbagi untuk yang bukan haknya. Dan untuk Cinta, ku panjatkan doa: semoga tidak ada yang pernah berubah, untuk sekarang dan selamanya.

14 Januari 2011

Meniga dalam puluhan. Mengempat dalam belasan. Menyatu dalam bulanan. Melaut tak lagi sendirian...met milad cinta ^__^

Jumat, 07 Januari 2011

Pulitzer

Siapa yang tak tahu Pulitzer? Pulitzer merupakan sebuah penghargaan bergengsi yang diidamkan insan pers di Amerika. Meski penganugerahannya saat ini dilaksanakan setiap bulan April, penghargaan ini genap berusia 94 tahun pada Juni mendatang, sejak diberikan pertama kali pada 4 Juni 1917. Penghargaan ini diprakarsai oleh seorang jurnalis dan penerbit surat kabar warga AS yang lahir di Hungaria pada 10 April 1847, Joseph Pulitzer.

Joseph Pulitzer awalnya seorang tentara Kerajaan Austria yang diberhentikan karena memiliki masalah kesehatan. Kemudian pada 1884, ia beremigrasi ke AS dan menjadi anggota ketentaraan yang berdinas dalam Perang Sipil Amerika (1861-1865). Usai perang, ia bergabung menjadi wartawan pada sebuah koran harian berbahasa Jerman, Westliche Post sebagai awal karir jurnalistiknya.

Selain dikenal sebagai jurnalis pada masanya, Pulitzer juga merupakan seorang pengusaha media. Beberapa media pernah dibelinya, yang kemudian dirombak habis-habisan olehnya. Seperti pada 1872 saat Pulitzer membeli surat kabar Post seharga USD 3.000 dan menjualnya setahun kemudian dengan harga berlipat. Lalu pada 1879, ia membeli surat kabar St. Louis Dispatch dan St. Louis Post yang kemudian digabungkannya menjadi St. Louis Post-Dispatch, dan kemudian dirubah namanya lagi menjadi koran St. Louis saja.

Pada 1882, Pulitzer mengakuisisi surat kabar New York World. Awalnya surat kabar ini mengalami defisit sebesar 40 ribu USD. Pulitzer lantas merombak habis-habisan arah pemberitaan surat kabar tersebut dan mengisi halaman-halaman New York World dengan sajian-sajian berita human-interest, skandal, gosip dan berita-berita sensasional lainnya, yang belum pernah dilakukan oleh media massa lain pada saat itu. Setelah dikelolanya, surat kabar ini berhasil meraup keuntungan sebesar 346 ribu USD dalam setahun.

New York World mendapat pesaing baru pada 1895, yaitu surat kabar New York Journal yang dimiliki oleh William Randolph Hearst. Selama tiga tahun terjadi persaingan hebat diantara keduanya. Masing-masing menyajikan berita-berita murahan yang cenderung bombastis, sensasional serta kontroversial demi oplah. Persaingan inilah yang kemudian oleh kalangan pers Amerika disebut dengan istilah jurnalisme (koran) kuning.

Pulitzer adalah penghargaan paling bergengsi untuk insan pers Amerika yang setaraf dengan penghargaan Grammy maupun Oscar. Demi mendapatkannya, insan pers Amerika saling berlomba memberikan yang terbaik dalam proses pencarian maupun penyajian karya jurnalistiknya.

Meski demikian, Pulitzer juga kerap kali mengundang kontroversi. Seperti kesalahan dalam penganugerahan karya; entah karena karyanya termasuk palsu, sarat penipuan fakta ataupun menimbulkan perdebatan. Sebut saja skandal wartawan Wahington Post Janet Cooke yang menyabet Pulitzer pada 1981. Ceritanya yang berjudul Jimmy's World ternyata diakuinya sebagai cerita bohong. Washington Post pun lantas mengembalikan penghargaan tersebut.

Tahun 1994, jurnalis Kevin Carter meraih Pulitzer atas fotonya yang kontroversial. Awalnya ia berangkat ke Sudan pada 1993 untuk mengambil foto pemberontakan. Namun bencana kelaparan lebih menarik minatnya. Sampai ia kemudian mengabadikan momen seorang gadis kecil kurus kering yang didatangi burung bangkai. Burung itu seolah menunggu kematian perlahan sang gadis kecil.

Meski menang penghargaan Pulitzer, Kevin ternyata terkena tekanan jiwa. Dunia mengecamnya karena tidak menolong gadis kecil tersebut, melainkan mengabadikan momennya. Akhirnya ia bunuh diri akibat rasa bersalahnya. Dan keputusannya mengabadikan momen ini menjadi perdebatan seru dalam dunia jurnalistik, apakah mendahulukan profesi atau sisi kemanusiaan?

Pada 1997, Eileen McNamara dari Boston Globe, ternyata tak benar-benar menghadiri acara “Hari Penyesalan Dosa” yang berlangsung di Salem. Namun dalam kolomnya, McNamara menulis seakan-akan ia ada disana. Setelah penghargaan diberikan dan banyak pihak melakukan verifikasi fakta, ternyata McNamara tidak benar-benar ada disana.

Pada 1998, Peter Arnett dari CNN terbukti keliru ketika saat membuat liputan tentang penggunaan gas saraf oleh tentara Amerika di Vietnam. Arnett melaporkan bahwa tentara Amerika juga menggunakan gas itu terhadap mereka yang desersi. Namun laporannya terbukti tak akurat, hingga ia pun menerima sanksi disiplin.

Berbagai skandal Pulitzer ini menunjukkan bahwa memang tak ada hal yang sepenuhnya sempurna. Seperti yang ditulis bekas atasan Janet Cooke, yang seorang editor Washington Post Benjamin C. Bradley dalam otobiografinya, ”(Skandal Cooke) ini ibarat salib abadi yang harus terus dipikul oleh jurnalisme.”