Kamis, 23 Desember 2010

Tirto Adhi Soerjo

Pramoedya Ananta Toer dalam karya biografinya Sang Pemula menulis, “Seperti jamak menimpa seorang pemula, terbuang setelah madu mulia habis terhisap, sekiranya ia tak mulai tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia, bagaimana sebuah nation seperti Indonesia akan terbentuk?”

Ini adalah tentang Djokomono Tirto Adhi Soerjo. Tokoh yang dikagumi Pram ini adalah salah seorang pendiri Syarikat Dagang Islam (SDI), yang kemudian dinobatkan menjadi Bapak Pers Nasional pada 1973. Seorang jurnalis pribumi pertama yang mampu menulis dengan bahasa Melayu lingua franca yang lahir di Blora pada 1880. Bahkan Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak menyebut Tirto sebagai pribumi pertama yang mampu menggerakkan bangsa melalui bahasanya lewat Medan Prijaji. Kisah hidupnya tidak hanya diabadikan oleh Pram dalam Sang Pemula, tetapi juga dalam Tetralogi Buru.

Ia memiliki cita-cita untuk membuat surat kabar sendiri. Namun cita-citanya selalu kandas karena masalah dana. Hingga pada 1903, dengan bantuan modal Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja, Tirto berhasil mendirikan surat kabar Soenda Berita. Soenda Berita adalah surat kabar pertama yang seluruh pekerja mulai dari pengasuh, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.

Pada 1907, ia mendirikan Medan Prijaji – sebuah mingguan berformat 12,5 x 19,5 cm, dengan tebal 22 halaman. Setahun kemudian, mingguan Medan Prijaji berubah menjadi harian. Tirto memiliki gaya jurnalistik sendiri; yang radikal dan penuh sindiran. Ia banyak menulis tentang berbagai penyelewengan dan kesewenangan yang dilakukan pemerintah kolonial dan para kaki tangan pribumi. Tulisan-tulisannya kerap membuat pemerintah kolonial murka. Bahkan lantaran tulisannya tentang penyalahgunaan jabatan di sebuah daerah, Tirto pernah terkena delik pers dan dibuang ke Lampung selama tiga bulan.

Pada 1907 ia juga mendirikan Sarekat Prijaji (SP), organisasi pribumi pertama yang kemudian berubah menjadi SDI untuk mengorganisir para pedagang batik yang berbasis di Solo. SDI kemudian berkembang pesat dan berubah menjadi Syarikat Islam (SI).

Tirto ternyata juga peduli dengan gerakan pencerdasan perempuan. Hingga pada 1908, ia merintis pendirian surat kabar Poeteri Hindia. Poeteri Hindia melahirkan nama seperti Siti Soendari yang dikenal sebagai sosok aktivis politik perempuan pribumi pertama. Sementara di Sumatra Barat muncul Rohana Koedoes, yang mendirikan koran Sunting Melayu. Menurut Tirto, kemajuan gerakan perempuan tidak hanya melalui koran tetapi juga harus dimulai dari sekolah. Mantan ketua SI Bogor ini menjadi donatur tetap sekolah perempuan di Jawa Barat yang didirikan oleh Dewi Sartika.

Medan Prijaji pernah mencapai puncaknya pada 1909-1912. Jumlah pelanggannya mencapai 2.000 orang. Namun pemerintah kolonial yang tidak suka melakukan “serangan-serangan” yang meruntuhkan Medan Prijaji secara perlahan. Omsetnya terus merosot, setoran macet, bahkan beberapa perusahaan menolak untuk pasang iklan.

Akhirnya Medan Prijaji tak mampu melunasi biaya percetakan. Hingga pada Agustus 1912, Medan Prijaji pun akhirnya gulung tikar. Tirto kemudian ditahan karena tak mampu melunasi tunggakan hutang-hutangnya. Ia dihukum dengan dibuang ke Ambon pada 1913 dan wafat pada 7 Desember 1918. Pram menulis, “Semua yang dibangunnya runtuh. Juga nama baiknya. Yang tinggal hidup adalah amal dan semangatnya.”

Ki Hajar Dewantara pada 1952 pernah mencatat Tirto dalam buku kenang-kenangannya. Ia menulis, "Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirto Adhi Soerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan jurnalistik."

Sementara Sudarjo Tjokrosisworo dalam Sekilas Perjuangan Suratkabar (terbit November 1958) menggambarkan Tirto sebagai seorang pemberani. “Dialah wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirto Adhi Soerjo disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan.”

Tirto adalah muslim pribumi pertama perintis dunia media di Indonesia. Bahkan ia juga salah satu tokoh aktivis Islam yang juga concern terhadap perjuangan pergerakan nasional Indonesia. Melaluinya, bahasa Melayu menjadi bahasa nasional, yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Namun akibat ketidaksukaan pemerintah kolonial terhadap geliatnya, kiprah serta kontribusinya pun dilupakan. Seperti seorang penyair Cekoslovakia Milan Kundera pernah berkata, “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.”

NASA Temukan Mikroba Hidup dengan Arsenik

Baru-baru ini NASA merilis sebuah temuan bentuk kehidupan baru. Apakah itu? Sob mau tahu?

Jadi, salah seorang astrobiolog NASA menemukan sebuah mikroba yang melahap arsenik untuk hidupnya. Untuk menunjukkan ketakjuban pada mahkluk ini, NASA mendeskripsikannya dengan: “Life as we do not know it”.

Oleh penemunya Felisa Wolfe-Simon dari Universitas Negeri Arizona, mikroba ini diberi nama GFAJ-1. Felisa dan timnya berhasil membujuk mikroba untuk membangun dirinya dengan arsenik di kolam fosfor, sebuah substitusi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Arsenik sangat kimiawi saat bereaksi dalam fosfor, yang meliputi tugas-tugas seperti menjaga DNA dalam double helix yang rapi, mengaktifkan protein dan menyediakan energi dalam sel. Jika temuan baru ini divalidasi maka memiliki implikasi besar di bidang biokimia dasar, asal-usul dan evolusi kehidupan, baik di Bumi dan tempat lain di alam semesta. Wuih…berat nih, Sob.

"Ini hasil luar biasa, mencolok, sangat penting, dan mengagumkan jika benar. Saya bahkan cenderung lebih skeptis karena implikasinya. Tapi pekerjaan mereka yang menarik. Ini orisinil dan mungkin sangat penting," kata Alan Schwartz, kimiawan molekul dari Radboud University di Nijmegen, Belanda.

Eksperimen ini dimulai dengan sedimen di Danau Mono timur California yang berkerumun dengan udang, lalat dan alga yang juga dapat bertahan dalam kondisi kimia danau. Mono Lake terbentuk dalam cekungan tertutup (air melakukan penguapan), membuat air danau hampir tiga kali lebih asin daripada laut. Sehingga kondisinya menjadi sangat basam, kaya karbonat, fosfor, arsenik serta belerang.

Dipimpin oleh Felisa Wolfe-Simon yang juga merupakan peneliti NASA Astrobiology Institute dan US Geological Survey di Menlo Park, California, para peneliti membangun kultur mikroba dari sedimen Danau Mono. Mikroba mendapat makanan khas gula, vitamin dan beberapa bekas logam, tetapi tidak fosfat (form favorit biologi fosfor). Kemudian tim mulai menambah arsenate (analog form arsenic) dalam jumlah yang semakin ditambah.

Salah satu mikroba, yang sekarang diidentifikasi sebagai rantai GFAJ-1 diambil dan dibudidayakan dalam tabung uji. GFAJ-1 ini adalah penggemar garam dan berasal dari keluarga Halomonadaceae yang sebagian besar hidup di laut. Beberapa diberi makan arsenate dan lainnya fosfat (phosphate). Mikroba yang hidup dari arsenate tidak berkembang sebanyak fosfat, tetapi tetap terus tumbuh, membelah dua kali lipat setiap dua hari.Jika benar, mikroba ini telah mengatasi tantangan hidup dengan cara yang berbeda,” kata Felisa.

Tau gak Sob, kalau arsenik dalam tabel periodik itu berada tepat di bawah fosfor. Dan dari enam elemen penting kehidupan yaitu karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, fosfor and sulfur (CHNOPS), fosfor memiliki distribusi yang relatif naik turun di permukaan bumi. Nah, jika mikroba dalam tabung uji bisa dipaksa untuk hidup di arsenik, ada kemungkinan kehidupan primordial muncul di tempat yang kaya arsenik, untuk berubah menjadi fosfor di kemudian hari.


Kemiripan antara arsenik dan fosfor juga membuat elemen tersebut begitu beracun. Kehidupan sering tidak dapat membedakan keduanya dan arsenik dapat menyusup ke dalam sel itu sendiri. Di sana arsenik bersaing dengan fosfor dan membentuk sekelompok belerang yang menyebabkan kematian sel. Beberapa mikroba “bernafas” dengan melompati elektron, tetapi dalam berbagai kasus unsur beracun tetap berada di luar sel. Biokimia dasar mengatakan bahwa molekul ini sangat tidak stabil, mereka akan hancur jika berkembang dengan arsenate dan bukan fosfat.

Penelitian ini memiliki implikasi bagi berbagai jenis kehidupan yang mungkin suatu hari nanti ditemukan astrobiolog dalam tata surya. “Studi memberi pemahaman bagaimana kehidupan dapat beradaptasi dan kita harus siap untuk temuan yang tidak terduga. Jika anda melihat tempat-tempat lain dari danau hidrokarbon di Titan hingga ke padang pasir Mars, kita benar-benar tidak boleh meremehkan kemampuan kehidupan untuk beradaptasi di tempat-tempat ini,” ujar Dirk Schulze-Makuch, astrobiolog dari Washington State University di Pullman.

Felisa menyatakan, bahwa ini semua bukan tentang arsenik ataupun Mono Lake. Baginya, ada sesuatu yang mendasar mengenai pemahaman atas fleksibilitas kehidupan. Implikasi dari penemuan besar ini, menurut Felisa, berimbas besar pada pemahaman mengenai kehidupan dan kemungkinan-kemungkinan lain mengenai keberadaan organisme di planet lain yang tidak selalu harus sama dengan yang ada di bumi.

Hal ini mengingatkan kepada pernyataan Ed Weiler ilmuwan NASA yang menyebutkan, “Definisi kehidupan baru saja diperluas”. Dan ini kali kedua dunia dikejutkan dengan mahluk yang berhubungan dengan DNA.

(LiveScience.com, dan berbagai sumber)

Jumat, 10 Desember 2010

Jurnalisme ala WikiLeaks

WikiLeaks adalah fenomena. Disaat kebanyakan media massa memilih untuk memposisikan diri menjadi corong politik dan kekuasaan, WikiLeaks tidak. Namun, apakah sebenarnya WikiLeaks itu? Termasuk kerja jurnalistikkah?

Dalam websitenya yang telah berganti alamat server beberapa kali, WikiLeaks mengakui dirinya sebagai sebuah organisasi media non profit yang memiliki tujuan untuk menyajikan berita-berita penting dan informasi kepada publik. Resminya, organisasi yang mengembangkan dan mengadaptasi teknologi untuk mendukung aktivitasnya ini, berdiri sejak 2007. Mereka bekerja berdasarkan prinsip freedom of speech dan penerbitan media.

Organisasi ini mengadopsi artikel 19 dari Universal Declaration of Human Rights yang menyebutkan, semua orang memiliki hak untuk bebas mengeluarkan pendapat dan berekspresi; yang bagi mereka sama artinya dengan bebas untuk memiliki pendapat tanpa gangguan, untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi serta buah pikiran melalui media apa saja, tanpa batas.

Situs yang membongkar ratusan ribu dokumen rahasia militer Amerika ini dipuji sebagai masa depan dari jurnalisme investigatif. Bahkan profesor jurnalisme pada Universitas George Washington, Mark Feldstein, dalam American Journalism Review edisi September menyebut WikiLeaks menggugat ketidakmampuan media dalam mengungkap penyimpangan kekuasaan. "Manakala jurnalisme tak mampu mengungkap penyelewengan, maka aktivis-aktivis anti penyalahgunaan wewenang bakal mengambilalih peran itu. Kadang dengan mempengaruhi peristiwa-peristiwa lewat cara-cara yang tak pernah terpikirkan politisi," kata Feldstein.

Sang Direktur WikiLeaks, Julian Assange sendiri menginginkan standar baru dalam jurnalisme. "Saya ingin menciptakan standard baru, yaitu jurnalisme ilmiah," kata Julian Assange. Sebuah laporan jurnalistik yang bersumber dari sumber-sumber terpercaya yang bisa dicek dan diverifikasi.

Selain itu Assange bercita-cita menjadikan WikiLeaks sebagai penengah antara sumber-sumber berita dan pihak media masssa. “WikiLeaks menyediakan sebuah hubungan alamiah antara seorang jurnalis dan seorang sumber. Dengan kami bertindak sebagai penengah, merupakan fungsi terbaik yang dapat kami lakukan,” ujar wartawan dan hacker berkewarganegaraan Australia ini.

Situs yang membeberkan 90 ribu dokumen perang Afganistan ini bukan saja dihasilkan dari aktivitas meretas kode enkripsi saja, melainkan juga melakukan “cara lama” dalam metode pelaporan beritanya. Seperti mengirimkan dua wartawannya ke Baghdad untuk menyelidiki serangan pada 2007. Para wartawan yang dikirim melakukan verifikasi dengan mewawancarai para saksi dan anggota keluarga korban yang tewas serta terluka. Ada proses cek dan ricek yang dilakukan WikiLeaks; meski dalam kebijakannya, nara sumber tak disebutkan dalam laporannya alias dilindungi oleh redaksi WikiLeaks.

Tidak hanya perang Afganistan, 400 ribu dokumen perang Irak yang dimulai pada 1 Januari 2004 sampai 31 Desember 2009 pun dibeberkan. Disebutkan 109 ribu orang meninggal dunia, dan lebih dari 60 pesennya adalah warga sipil. Berdasarkan dokumen WikiLeaks, stasiun televisi Al Jazeera bahkan membuat program khusus “The Secret Iraq Files”, hasil kerja sama dengan Biro Jurnalisme Investigatif London. Mereka menyimpulkan bahwa Amerika telah menyembunyikan fakta dari pengawasan publik.

Film dokumenter ini “berkisah” tentang wanita hamil yang ditembak mati saat berada di lokasi pemeriksaan, para imam yang diculik dan dibunuh, dan penjaga penjara Irak yang menggunakan listrik dalam metode interogasinya. Pihak Al Jazeera berprinsip, meski sifat dari informasi ini rahasia, namun sangat penting untuk diketahui publik.

Dari aksi-aksinya yang heroik dalam mengungkapkan fakta, WikiLeaks ternyata menginspirasi para jurnalis untuk membuat Wikileakas versi Indonesia. Dalam sebuah situs internet, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Wahyu Dhyatmika menyatakan, ia berharap situs itu dapat menjadi outlet alternatif bagi para jurnalis untuk menerbitkan dokumen atau bukti sensitif yang dianggap terlalu “berbahaya” untuk diterbitkan di media tempat mereka bekerja. Namun, mungkinkah hal ini bisa berlaku di Indonesia, sementara kelak (jika disahkan) akan muncul seperangkat aturan bernama UU Rahasia Negara?

Kamis, 11 November 2010

Dilarang Sembarang Berkicau

Bencana yang sedang melanda Indonesia saat ini tak luput dari perhatian media massa tanah air yang saling berlomba memberitakannya. Headline media cetak setiap harinya selalu diisi dengan perkembangan mutakhir dari bencana dan penanganannya. Sementara media elektronik macam radio dan televisi lebih up date dengan laporan langsung pandangan matanya. Apalagi televisi, yang bisa menyajikan gambar live dari lokasi kejadian. Ini membuat sang tabung kaca tak henti-hentinya menyajikan tayangan berita bencana tersebut dengan berbagai angle-nya.

Namun ternyata hal ini pun menimbulkan kejenuhan pemirsa karena berita yang ditayangkan kerap dianggap “berlebihan”. Sehingga pemirsa pun melayangkan komplain ke stasiun televisi yang bersangkutan dengan menggunakan jejaring sosial, seperti Twitter.

Namun ternyata, salah satu televisi swasta yang bersangkutan tidak terima mendapatkan kritik pemirsa, sehingga melakukan “pembelaan” atas komplain pemirsa. Stasiun televisi swasta itu pun membuat status yang tidak bertahan lama karena kemudian dihapus. Status itu berbunyi: “Kami memang sedang fokus meliput bencana. Mohon maaf kepada pemirsa yang terus memaki kami. Silakan pindah saluran hiburan atau lawak” (Oct 27, 2010 19:24, from TweetDeck). Setelahnya, serangan makian pun kembali terjadi, bahkan lebih tidak beradab lagi.

Sebelumnya, surat kabar Washington Post yang berdiri pada 1877 pernah melayangkan memo kepada staf redaksinya. Memo itu berisi larangan kepada para jurnalis Washington Post untuk menjawab kritik publik melalui akun Twitter perusahaan maupun pribadi dengan mengatasnamakan perusahaan.

Ricuh itu bermula ketika Post menerbitkan sebuah artikel dari penulis tamu, Tony Perkins. Dalam artikelnya Perkins menuliskan pendapat pribadinya mengenai sejumlah aksi bunuh diri remaja di Amerika Serikat akibat bullying karena dirinya gay. Menurut Perkins dalam artikelnya, homoseksualitas merupakan masalah kesehatan mental. Tak ayal pendapat tersebut membuat aktivis kelompok pembela kaum gay, GLAAD (The Gay and Lesbian Alliance Against Defamation) melancarkan “serangan” kepada Post melalui jejaring sosial Twitter dan situs mereka.

Merasa protes semakin ramai, staf redaksi Post melakukan upaya pembelaan diri dengan mengatakan bahwa artikel Perkins hanyalah “sisi lain” dari wacana gay itu sendiri. Namun pembelaan ini justru menyulut protes yang lebih besar lagi. Para aktivis GLAAD itu menyatakan: “There are not “both sides” to teen suicide issue” (tidak ada dua sisi dalam masalah bunuh diri remaja ini). Protes dilayangkan masih di media sosial yang sama, Twitter.

Menanggapi kericuhan ini, Redaktur Pelaksana Washington Post Raju Narisetti akhirnya membuat penjelasan khusus:

“Pekan ini, beberapa staf post merespons kritik dari luar melalui akun Twitter perusahaan mengenai isu kontroversial yang kami terbitkan secara online. Keinginan untuk membalas adalah untuk membela keputusan menerbitkan artikel tersebut, tapi itu malah menyesatkan kedua pihak dalam menggambarkan rasionalisasi untuk menerbitkan artikel tersebut dan sebagai bahan praktik. Pernyataan itu tidak seharusnya dikeluarkan.

Bahkan ketika kita mendorong semua orang dalam ruang berita untuk merangkul media sosial dan alat-alat yang relevan, amatlah penting untuk mengingat bahwa tujuan dari akun Post adalah untuk digunakan sebagai platform untuk mempromosikan berita, membawa dan meningkatkan keterlibatan pembaca dengan isi Post. Tidak ada akun Post yang harus digunakan untuk menjawab kritik dan berbicara atas nama Post, sebagaimana Anda harus mengikuti pedoman jurnalistik kami untuk tidak menggunakan akun sosial media pribadi untuk berbicara atas nama Post.

Mungkin akan berguna untuk memikirkan masalah seperti ini: ketika kita menulis cerita, pembaca kita bebas untuk merespon dan kita menyediakan tempat untuk melakukannya. Kita kadang-kadang melibatkan mereka dalam percakapan verbal pribadi, tapi begitu kita memasuki perdebatan pribadi melalui media sosial, ini akan setara dengan memungkinkan pembaca untuk menulis surat kepada editor dan kemudian memberikan bantahan melalui reporter. Ini sesuatu yang tidak kita lakukan.”

Hal serupa juga pernah terjadi sebelumnya, ketika Terry Moran dari ABS dalam Twitternya pernah menyebut Presiden Obama dengan sebutan “jackass”.

Ini adalah sebuah pelajaran tentang bagaimana sebaiknya wartawan dan perusahaan media menggunakan media sosial untuk menunjang tugas jurnalistiknya. Memo yang dikeluarkan Post adalah sebuah kewajaran, dan memang begitulah seharusnya sebuah media memposisikan dirinya. Media massa menggunakan jejaring sosial sebatas untuk mempromosikan berita-beritanya, menggiring khalayak mengunjungi situs serta meningkatkan traffic. Bukan sebagai tempat terjadinya perdebatan pribadi antara wartawan dengan khalayaknya ataupun narasumbernya, apalagi dengan mengatasnamakan perusahaan media tempatnya bekerja.

Tidak heran jika kemudian perusahaan media dewasa ini mulai bersikap keras dan mengeluarkan aturan perusahaan yang membatasi wartawannya untuk “berkicau” di jejaring sosial manapun. Karena sikap wartawan belum tentu sejalan dengan sikap perusahaan medianya. Dan tentu saja, semua aturan ini dibuat semata-mata untuk menjaga integritas produk jurnalistik dari perusahaan media yang bersangkutan.

Ibnu Al-Nafis: Ahli Fisiologi Terhebat

Yang mahasiswa kedokteran, pasti kenal nama Ibnu Al-Nafis? Ibnu Al-Nafis yang punya nama lengkap Ala al-Din Abu al-A’la Ali Ibn Abi Hazm al-Quraishi ini di didaulat sebagai ahli fisiologi terhebat di era keemasan Islam pada abad ke-13 M. Ibnu Al-Nafis yang berasal dari Damaskus ini adalah seorang tabib Arab (1210-1288), yang bahasa kerennya sekarang adalah dokter.

Kenapa ia didaulat sebagai ahli fisiologi terhebat? Ternyata, ia adalah dokter pertama yang mampu menjelaskan prinsip dasar dari teori modern mengenai dasar-dasar sirkulasi lewat temuannya tentang sirkulasi dalam paru-paru, sirkulasi jantung, dan kapiler. Ia menemukan ini 350 tahun lebih dahulu daripada Sir William Harvey dari Kent, Inggris yang selama ini menyandang kredit penemu sistem sirkulasi di paru-paru.

Fakta ini diungkap pada 1957 oleh Professor Dr J B Latham dari Universitas Manchester dalam peringatan 300 tahun wafatnya William Harvey (Sunday Times, 9 Juni 1957). Profesor ini juga menyebutkan, bahwa Ibn Al-Nafis telah memperbaiki kesalahan dari teori Galen's yang menyebutkan adanya saluran tak terlihat di antara dua bilik jantung.

Galen menguraikan bagaimana darah mencapai bagian kanan jantung dan bergerak menuju pori-pori yang tak terlihat di cardiac septum menuju bagian kiri jantung. Di sana darah bertemu dengan udara dan membangun sebuah ‘kekuatan’ sebelum diedarkan ke seluruh tubuh. Menurut Galen, sistem vena merupakan bagian yang terpisah dari sistem arteri saat mereka ‘kontak’ dalam pori-pori tak terlihat itu.

Sementara al-Nafis membantahnya dalam kitabnya yang berjudul Syarah Qanun, “Darah dari kamar kanan jantung harus menuju bagian kiri jantung, namun tak ada bagian apapun yang menjembatani kedua bilik itu. Sekat tipis pada jantung tidak berlubang. Dan bukan seperti apa yang dipikirkan Gallen, tidak ada pori-pori tersembunyi di dalam jantung. Darah dari bilik kanan harus melewati vena arteriosa (arteri paru-paru) menuju paru-paru, menyebar, berbaur dengan udara, lalu menuju arteria venosa (vena paru-paru) dan menuju bilik kiri jantung dan bentuk ini merupakan spirit vital.”

Al-Nafis juga secara tegas mengatakan bahwa jantung hanya memiliki dua kamar. Dan di antara dua bagian itu sungguh tidak saling terbuka. Sekat antara dua bilik jantung lebih tipis dari apapun. Keuntungan yang didapat dengan adanya sekat ini adalah, darah pada bilik kanan dengan mudah menuju paru-paru, bercampur dengan udara di dalam paru-paru, kemudian didorong menuju arteria venosa ke bilik kiri dari dua bilik jantung.

Kemudian Al-Nafis juga menjelaskan, bahwa yang diperlukan paru-paru untuk transportasi darah menuju vena arteriosa adalah keenceran dan kehangatan pada jantung. “Apa yang merembes melewati pori-pori pada cabang-cabang pembuluh menuju alveoli pada paru-paru adalah demi percampurannya dengan udara, berkombinasi dengannya, dan hasilnya menjadi sesuatu yang diperlukan di bilik kiri jantung. Yang mengantar campuran itu ke bilik kiri arteria venosa,” tulisnya.

Sebelum Professor Dr J B Latham mengungkap penemuan Al-Nafis ini, ternyata seorang fisikawan Mesir Dr Muhyo Al-Deen Altawi juga pernah mengungkapnya. Saat ia menyusur kanal-kanal sejarah sejak tahun 1924, ia menemukan sebuah tulisan berjudul Commentary on the Anatomy of Canon of Avicenna di perpustakaan nasional Prussia, Berlin (Jerman). Saat itu, Dr Muhyo tengah belajar mengenai sejarah Kedokteran Arab di Albert Ludwig’s University Jerman.

Dalam dunia kedokteran Al-Nafis tak hanya berkontribusi di bidang fisiologi. Ia juga dikenal sebagai dokter yang menyokong kedokteran ekperimental, postmortem otopsi, serta bedah manusia. Bahkan sejarah juga mencatat Al-Nafis sebagai dokter pertama yang menjelaskan konsep metabolisme. Kemudian ia mengembangkan aliran kedokteran Nafsian tentang sistem anatomi, fisiologi, psikologi, dan pulsologi.

Media Membingkai Perempuan

Apa yang terbersit di dalam kepala kalau kata ‘perempuan’ disebutkan? Cantik, lembut, keibuan, manja, kuat, dan lain sebagainya. Berbagai visualisasi akan muncul manakala kata ini terlontar, bahkan tidak sedikit juga yang seksis. Lalu bagaimana jika pencitraan tadi dilakukan oleh media massa?

Guru Besar Ilmu Komunikasi UI Ibnu Hamad (2007) menyebutkan, media menghadirkan citra dari suatu obyek kepada konsumennya melalui suatu proses yang disebut konstruksi realitas sosial. Media kemudian “mengangkat” obyek tersebut sebagai realitas alamiah (first reality) kedalam bentuk realitas media (second reality), hingga proses tersebut menghasilkan produk media yang disebut discourse (wacana).

Ada citra positif, ada citra negatif. Ada discourse, ada discourteous. Dimana pendapat umum negatif (discourteous) ini mewujud dalam bentuk wacana tidak senonoh dengan motif fitnah, pornografi, penghinaan, dusta, dan sebagainya. Tujuannya adalah melakukan pembunuhan karakter (character assassination).

Visualisasi mengenai perempuan tadi merupakan sebuah citra (image) atau kesan yang ditangkap oleh orang perorang mengenai suatu obyek, dalam hal ini obyek tersebut adalah perempuan. Namun kesan kita terhadap obyek tersebut tergantung kepada kondisi internal kita, seperti suasana hati, motif, dan pemahaman. Hal inilah yang kemudian membuat sebuah obyek bisa bernilai positif ataupun negatif di mata kita, termasuk perempuan.

Banyak yang menyebutkan bahwa perempuan adalah makhluk marjinal sehingga kerap mendapatkan diskriminasi. Seperti halnya yang terjadi di dunia media modern dewasa ini yang masih melakukan praktik diskursif terhadap perempuan melalui berbagai kontennya; baik di dalam konten berita, hiburan, maupun iklan. Melalui sarana efektif ini (media), ideologi patriarki yang (katanya) masih mendominasi publik ini pun melakukan proses stigmatisasi, baik secara halus (dalam diksi) maupun kasar (melalui gambar) terhadap perempuan.

Koordinator Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Rach Alida Bahaweres menyebutkan, media massa dalam pemberitaannya masih mengeksploitasi kaum perempuan, bahkan cenderung melecehkan. “Dari hasil penelitian menunjukkan perempuan masih menjadi objek eksploitasi pemberitaan media massa. Beritanya bernuansa melecehkan, bahkan terkadang menyalahkan keberadaan kaum perempuan," ujarnya dalam sebuah sarasehan bertajuk “Bahasa Media Massa dan Kesetaraan Gender” di Yogyakarta medio April 2010 silam.

Menurutnya, diksi atau pemilihan kata yang digunakan media dalam memberitakan perempuan acapkali memposisikan perempuan sebagai objek eksploitasi. Contohnya seperti penggunaan kalimat pasif dalam berita di surat kabar yang sering memposisikan perempuan sebagai korban yang memang seharusnya menimpa mereka. Seperti kata ‘digarap’ dalam sebuah berita mengenai tindak kriminal perkosaan menjadikan perempuan bermakna sebagai ‘lahan garapan’.

Belum lagi dengan tayangan iklan yang kerap menghiasi layar kaca. Dimana dalam tayangan iklan tubuh perempuan kerap dieksploitasi secara vulgar untuk menjajakan berbagai produk kecantikan dan kesehatan. Bahkan tidak sedikit juga produk yang tidak ada hubungannya dengan perempuan “memanfaatkan” perempuan sebagai modelnya.

Sehingga tidak mengherankan jika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) – sebagai salah satu elemen negara yang mengawasi media massa penyiaran – kemudian mendesak untuk secepatnya melaksanakan revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Beberapa diantaranya adalah pada butir-butir yang mengatur tentang anak, perempuan dan iklan. Revisi ini diharapkan dapat melindungi perempuan (dan anak) dari beragam bentuk eksploitasi yang dikenakan kepadanya, baik yang tersurat maupun tersirat.

Senin, 01 November 2010

PB 2010

Akhirnya jadi juga datang ke Pesta Blogger 2010 yang digelar 30 Oktober lalu. Setelah melalui perjuangan gara-gara bangun kesiangan, alhamdulillah Depok-Kuningan bisa ditempuh satu jam saja ^__^

Ketika baru sampai di lokasi (Epicentrum Walk), blogger disambut oleh panitia (atau mungkin voulenteer panitia) yang dilehernya digantungkan kertas dengan tulisan “Informasi PB 2010”. Manusia-manusia berkalung “Informasi PB 2010” ini bertugas menunjukkan tempat kegiatan yang bertema besar “Merayakan Keberagaman” ini dikarenakan lokasinya agak menjorok ke dalam (kayak paragraf, he he).

Gak gitu fokus juga di acara, karena sibuk lirik kanan-kiri ngeliatin stan siapa tahu dapat gratisan. Di antaranya memang ada yang gratisan dengan syarat mudah banget, yaitu cukup dengan mem-follow Facebook atau Twitter dari intansi yang bersangkutan. Misal kalau mem-follow Facebook US Embassy, dapat tas tangan berisi buku gratis tentang Demokrasi dan semacam peta Amerika. Trus kalau mem-follow Twitter Es Teler 77 bisa gratis Es Teler seharga Rp 10ribu. Sayang saya gak follow Twitter Es Teler 77, gak jadi dapat gratisan deh, he he he. Pastinya di PB 2010 kemarin, doorprize bertebaran dimana-mana. Hal ini tentunya cukup memuaskan hati para blogger pemburu gretongan, termasuk saya :D

Yang cukup mengejutkan, ternyata menteri yang diundang dan didaulat memberikan sambutan bukan Menkominfo, melainkan Mendiknas. “Kan buat anak-anak blogger Menkominfonya masih Pak Nuh, belum Pak Tif,” ujar seorang teman nyeletuk iseng sambil cengar-cengir. Sesudahnya, dia iseng nge-tweet ke Ndorokakung. Trus dijawab Ndorokakung singkat, kalau gak salah isinya, “Kan Pesta Blogger sebelumnya Pak Nuh gak datang :D”.

Padahal, selama ini imej blogger itu “dekat” dengan Menkominfo karena wilayahnya sama. Apalagi dahulu, kalau gak salah waktu diadakan semacam konferensi blogger yang pertama, yang disowani oleh para blogger adalah Menkominfo, pak M. Nuh (yang sekarang Mendiknas :D). Pemilihan pertama kementrian yang disambangi menunjukkan bahwa memang ada wilayah-wilayah yang beririsan antara blogger dan Kemenkominfo.

Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi saya. Apakah benar para presidium blogger (para blogger elit...kalau saya kan cuma blogger rakyat jelata, he he he) sedang sensitif dengan Menkominfo baru karena banyak produk hukumnya yang dianggap “merugikan”? Karena dalam acara dilakukan happening art yang mengkampanyekan penolakan terhadap UU ITE. Tapi kalau gak ada pak Tif (Menkominfo), rasanya sindiran-sindiran yang dilakukan tetap percuma saja. Karena semangat yang didapat bukannya mengkonstruksi dengan protes dan masukan, melainkan sekedar demarketisasi saja. Ini kan interpretasi saya ya. Perkara “motif” dibaliknya sih cuma panitia sama Tuhan saja yang tahu, he he he.

PB 2010 kemarin sebenarnya banyak ilmunya. Ada semacam kelas-kelas pelatihan yang diadakan penyelenggara. Cuma sayang saya sedang malas masuk-masuk ke dalam kelas-kelas pelatihan. Jadinya saya hanya ikutan acara-acara di panggung utama sambil keliling lihat-lihat pameran. Yang sempat saya ikuti sebentar itu talkshow Selamatkan Ibu di panggung utama. Sembari suami ngobrol dengan teman-temannya, saya menyimak saja acara talkshow tersebut. Ilmunya lumayan buat tambahan amunisi kalau sewaktu-waktu ada pe-er tulisan mengenai perempuan ^__^

Saya dan suami gak sampai selesai acara. Inginnya sih sampai selesai, tapi apa daya perut sudah keras. Khawatir terjadi apa-apa dengan kandungan, akhirnya hubby pun ngajak pulang ^__^

Well, meski PB 2010 banyak dapat komentar miring karena dianggap dikomersialisasi, saya pribadi sih masih dalam status asyik-asyik saja. Walaupun, kalau mau dipolitisasi, sebenarnya sih ada banyak yang bisa dikritisi. Tapi sayang, kemarin saya sedang ingin bersenang-senang dan melepaskan kepenatan, jadinya gak gitu peduli dan rada immun dengan “pesan-pesan gaib” dibalik setiap tanda yang bertebaran disana, he he he. Pokoknya, sukses deh buat blogger Indonesia. Keep writing dan tebarkan kebaikan dimana-mana! ;)

-sebuah postingan yang telat, tapi, masa bodo lah..he he-

Senin, 25 Oktober 2010

Minggu atau Bulan?

Melihat perut yang sudah membesar, belakangan mulai banyak yang tanya, “Jadi, lu dah berapa bulan?” Dan tiap kali ditanya sudah berapa bulan, saya cuma bisa nyengir. Bukannya nyengir keki, tapi nyengir gak tau mesti jawab berapa angka yang harus disebut kalau ditanya pake hitungan bulan. Kalau ditanya hitungan minggu, jawabnya sih mantap: “Minggu kesekian....” he he he he.

Abis dokternya gak jelasin pake bulan, tapi pake minggu. Itu jawaban paling gampang dan gak pake tenaga buat mikir, he he he. Tapi kadang penasaran juga, sebenernya menghitung bulan itu gimana caranya sih? Apa tinggal jumlah minggu dibagi empat? Sama seperti seorang teman di kantor yang istrinya juga sedang hamil, dengan polosnya menjawab, istri gue dah lima bulan kayaknya...kan 20 minggu dibagi 4 jadinya 5 kan? :D

Karena penasaran total, akhirnya semua kalender yang ada dijadikan pelampiasan. Coret sana-sini, hitung sana-sini. Mengingat kapan terakhir kali ke dokter untuk periksa dan memberi label pada tanggal periksa sesuai dengan jumlah minggu yang disebutkan sang dokter. Dan hasilnya, ternyata bulan pertama kehamilan jatuh pada Mei-Juni, dan sekarang sudah ada di awal minggu ke-25 tepatnya di akhir bulan kelima. ^_^

Trus, karena penasaran juga, akhirnya saya hitung sendiri saja prediksi kelahirannya. Bekalnya cuma curhatan beberapa sahabat yang kebetulan baru melahirkan. Kata mereka (mengacu ke keterangan dokter-dokter mereka plus pengalaman mereka), kehamilan normal itu 40 minggu. Ada sih yang meleset-meleset sedikit jadi 41 minggu. Dan ada juga yang ditakdirkan lebih cepat dari itu. Ditambah lagi, janin itu bisa dibilang matang pada usia 38 minggu. Karena usia janin dan kehamilan selisih 2 minggu (kalau kehamilan 24 minggu, berarti janinnya usianya 22 minggu), usia kelahiran 40 minggu berarti sang janin sudah berusia 38 minggu dan terkategori normal.

Kalau mengacu kepada hitungan dokter yang mengatakan minggu ini adalah minggu ke-25 saya, maka prediksi kelahiran anak saya seandainya normal akan terjadi pada minggu ke-40 yang jatuh antara tanggal 7-13 Februari 2011. Tapi masalahnya, saya masih belum ngeh saat dokter menyebut angka misal 24 minggu; itu usia janinnya yang 24 minggu atau usia kehamilannya? Dan pertanyaan ini selalu lupa buat ditanyakan tiap kali periksa, he he he. Meski gitu, ternyata enak juga punya dokter yang “gak jawab kalo gak ditanya”, soalnya jadi bikin pinter dengan ngumpulin informasi dan ilmu dari sana-sini. ;)

Rabu, 20 Oktober 2010

Ikut PB 2010

Akhirnya daftar juga buat ikutan Pesta Blogger 2010. Ini juga setelah dikompori suami yang blogger juga, he he he.

Sebenarnya, ini sudah blog saya yang kesekian kalinya. Dulu rumah maya pertama saya ada di http://garis-cakrawala.blogspot.com. Cukup lama juga bermain-main disana, sejak sekitar akhir 2004 sampai akhirnya saya putuskan untuk membumi hanguskan rumah maya itu pada sekitar 2008an. Lama juga ya ternyata. Sayang-sayang sih. Tapi kadang cuma itu satu-satunya cara untuk lepas dari masa lalu dan menatap masa depan; Biar gak ada barbuk buat ungkit-ungkit dosa masa lalu, he he he.

Waktu masih aktif di garis-cakrawala, saya belum pernah bergabung secara resmi ke komunitas blogger. Tapi pernah sekitar dua kali ikutan kopdar sama kawan-kawan blogfam, barengan tante Day dan mbak Kiky. Ikut baksos di salah satu rumah jompo di bilangan Jakarta Timur dan bukber di Plaza Semanggi. Trus pernah juga beberapa kali kopdar sama kawan-kawan kayak almarhum om Bebek, mbak Omith, Kana, pakdhe Funs dan istrinya mbak Ken, mbak Wesy Cici, dll. Beberapa diantaranya masih sering kontak-kontakan sampai sekarang di jejaring sosial juga tentunya.

Blogger favorit saya? Umm...itu tuh, si Malaikat Mata, Rhomayda dan mbak Fitri Mohan. Tulisan-tulisan di blognya kadang unik dan gak jelas. Tapi seru aja bacanya, he he he ^__^

Blog yang sekarang sudah diniatkan isinya gak melulu curhat dan sebagai katarsis (pinjam istilah Kana, he he he). Ada postingan-postingan yang dicomot dari tulisan-tulisan di majalah tempat saya bekerja.

Jadi penasaran Pesta Blogger 2010 nanti kayak apa. Gak sabar pengen datang kesana. Pengen tahu perkembangan komunitas blogger yang ada di Indonesia sudah semaju apa. Can’t wait nih ^__^

Jumat, 03 September 2010

Hijab

Bicara tentang hijab, ternyata hal ini bukan barang baru di Indonesia. Karena ternyata pada abad ke-17, budaya hijab ini sudah dilakukan oleh Ratu Zakiatuddin Inayat Syah dari Aceh.

Jadi, pada 23 Januari 1678, Ratu Zakiatuddin Inayat Syah dilantik. Dalam masa kekuasaannya, datanglah seorang utusan resmi Syarif dan Mufti Makkah di bawah pimpinan Yusuf al Qudsi. Saat menerima tamu tersebut, Ratu Zakiatuddin menerimanya dari balik hijab.

A Hasjmy mengutip naskah Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh karya Muhammad Yunus Jamil, menceritakan panjang lebar pertemuan Ratu beserta segenap petinggi kerajaan dengan rombongan dari Makkah.

“... Tahun 1681 rombongan Syarif Makkah itu sampai di Banda Aceh Darussalam, dimana mereka diterima oleh Ratu dengan segala upacara kebesaran. ,ereka sangat kagum menyaksikan Banda Aceh yang cantik dan permai; segala bangsa berdiam disana, kebanyakan mereka kaum saudagara.

Ketika mendapat kesempatan menghadap Sultanah, keheranan mereka jadi bertambah, dimana mereka dapati tentara pengawal istana terdiri dari prajurit-prajurit perempuan yang semuanya mengendarai kuda. Pakaian dan hiasan kuda-kuda itu dari emas dan perak. Tingkahlaku pasukan kehormatan itu dan pakaian mereka cukup sopan, tidak ada yang menyalahi peraturan agama Islam.

Ketika mereka menghadap Sultanah, mereka dapati Sri Ratu dengan para pembantunya yang terdiri dari kaum perempuan duduk di balik tabir lain sutera dewangga yang berwarna kuning berumbai-rumbai dan berhiaskan emas permata. Ratu berbicara dalam bahasa Arab yang fasih dengan mempergunakan kata-kata yang diplomatis sehingga menimbulkan takjub yang amat sangat bagi para utusan. Dalam pergaulan di Istana tidak ada satu pun yang mereka dapati yang di luar ketentuan ajaran Islam ...”

Rombongan dari Makkah sempat tinggal di Aceh setahun lamanya. Ketika mereka kembali ke Makkah, Ratu Zakiatuddin menghadiahi mereka emas permata. Pada 3 Oktober 1688, Ratu Zakiatuddin wafat dan digantikan Ratu Kamalat Syah.

Jadi, seperti budaya-budaya yang lainnya yang ada di Indonesia, hijab sudah menjadi salah satu hasil akulturasi yang sudah membudaya di Indonesia sudah sejak lama. Karena memang, pada abad ke-7, sekitar tahun 625 M, menurut literatur kuno Tiongkok, telah ada perkampungan Arab Islam di pesisir barat Sumatera, dan yang tertua ada di Barus. Hal ini memungkinkan terjadi akulturasi budaya tersebut.

Sumber:

Habis baca-baca Eramuslim Digest Edisi Koleksi 9; The Untold History: Konspirasi Penggelapan Sejarah di Indonesia (Pra Islam hingga abad 19)

Standar Kompetensi Wartawan

Mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja pernah menyebutkan, imbas reformasi adalah terjadinya booming media massa. Sedikitnya ada 300 media cetak, 800 radio, dan tujuh stasiun televisi, dan kesemuanya meningkat pesat jumlahnya sampai hari ini. Tidak mengherankan, sebab sebelum reformasi, ada Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang telah membatasi pertumbuhan pers.

Atmakusumah melanjutkan, warna dari media massa yang menjamur inipun bermacam-macam. Dari yang benar-benar media massa dengan berpatokan kepada standar-standar jurnalisme profesional, sampai dengan media massa ala kadarnya yang mengandalkan sensasi dalam pemberitaan.

Namun ternyata tak hanya media massanya yang bertumbuh, jumlah wartawan pun makin banyak. Mulai dari yang pendidikannya murni jurnalistik, sampai lintas jurusan. Dunia wartawan dengan jaringan dan akses yang bisa ditembusnya, telah menggoda banyak pihak dari berbagai jenjang pendidikan untuk menekuninya. Sehingga banyak orang ikut-ikutan terjun ke dalam dunia ini dengan mengabaikan profesionalitas, intelektualitas dan kode etik.

Hal inilah yang kemudian menumbuh suburkan apa yang disebut dengan fenomena ‘wartawan bodrex’ alias wartawan gadungan. Wartawan yang tidak memiliki media resmi, yang hanya bermodalkan kartu identitas palsu kemudian melakukan aktivitas wartawan sebagaimana lazimnya; namun diikuti modus yang berlaku dibaliknya, yaitu intimidasi dan teror kepada narasumber atas nama pers.

Melihat fenomena wartawan bodrex, tidak mengherankan jika kemudian Rosihan Anwar pernah menyebutkan dalam Menulis dalam Air (1983); bahwa profesi wartawan menjadi suatu keranjang sampah tempat menampung orang-orang yang putus sekolah, setengah gagal, setengah intelektual, setengah putus asa.

Permasalahan dunia pers pasca reformasi bukan pada tingkat SDM-nya atau wartawannya saja, tetapi juga pada perusahaan pers. Menurut Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, dari 829 perusahaan pers yang ada saat ini hanya 30 persen saja yang sehat bisnis, selebihnya tidak sehat secara bisnis. Masih menurut Leo, perusahaan pers yang baik harus memenuhi standar profesional, seperti; memiliki kompetensi sebagai pebisnis media, mengoperasikan SDM yang memenuhi standar kompetensi, memiliki atau minimal mampu menyewa peralatan yang diperlukan dan memiliki modal yang cukup.

Demi memenuhi standar profesionalisme tersebut, khususnya dalam hal kompetensi wartawan, Dewan Pers saat perayaan Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2010 di Palembang me-launching Standar Kompetensi Wartawan. Standar Kompetensi Wartawan ini berisi rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan.

Kompetensi, menurut Dewan Pers dalam buku "Kompetensi Wartawan", Pedoman Peningkatan Profesionalisme Wartawan dan Kinerja Pers, mencakup beberapa aspek. Yakni aspek penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan kesadaran. Ketiga aspek itu, diperlukan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kesadaran mencakup di dalamnya, etika, hukum dan karir.

Sementara dalam suatu kesempatan, Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Prof DR Moestopo, DR Gati Gayatri, menjelaskan apa yang dimaksud dengan "Kompetensi Wartawan". Menurutnya Kompetensi Wartawan merupakan kemampuan seorang wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan dan tanggung jawab sesuai tuntutan profesionalisme yang dipersyaratkan.

Standar Kompetensi Wartawan ini dianggap penting penerapannya di Indonesia untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan Indonesia, termasuk menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan. Selain itu, Standar Kompetensi Wartawan ini juga dapat digunakan sebagai bahan acuan sistem evalusi kinerja wartawan oleh sebuah perusahaan pers untuk menentukan kualitas awak redaksinya. Sehingga produk jurnalistik dari perusahaan pers tersebut pun bisa dipertanggungjawabkan tidak hanya secara fakta, tapi juga secara profesi.

Anak Mesjid Melek SocMed

Pernah dengar istilah “Socmed”? Yup, benar banget, itu akronim buat social media. Istilah yang kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi: media sosial. Kalau menurut Wikipedia, media sosial adalah media dimana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, forum dalam dunia virtual.

Masih bingung? eL-Ka tanya, punya akun di Friendster, MySpace, Facebook atau Twitter gak Sob? Nah, itu dia yang namanya situs jejaring sosial, dan itu adalah bagian dari media sosial.

Terdapat banyak angka statistik yang menunjukkan penggunaan media sosial dan tingkat keefektifannya bagi bagi banyak orang di seluruh penjuru dunia. Seperti di Amerika, sebuah penelitian yang dilakukan pada akhir Desember 2009 menyebutkan, sebanyak 234 juta orang usia 13 tahun dan lebih tua telah menggunakan mobile device; perangkat yang memudahkan orang untuk mengakses media sosial. Pada Desember 2009 juga, situs jejaring sosial Twitter ternyata telah memproses lebih dari satu milyar tweet. Yang jika dirata-ratakan, per harinya hampir 40 juta tweet yang diproses. Ckckck.

Sejarah

Sebenarnya nih Sob, istilah media sosial tidak terbilang baru juga. Orang-orang sudah menggunakan media digital ini untuk jaringan, pergaulan dan pengumpulan informasi selama 30 tahun lho.

Jadi, kemunculan media sosial ternyata bukan bermula oleh komputer, melainkan oleh telepon. Istilah online jaman dulu itu bukan seperti online pada jaman sekarang yang identik dengan Yahoo Messenger, Google Talk, chat di Facebook dan yang lainnya. Tetapi istilah online jaman dulu identik dengan telepon. Ini terjadi pada awal-awal kemunculan telepon pada medio 1950an.

Kemudian pada 16 Januari 1978, dua anggota Chicago Area Computer Hobbyist Exchange, Ward Christensen dan Randy Suess dalam dua minggu menciptakan jejaring sosial online pertama di dunia yang disebut Bulletin Board System (BBS). BBS pun kemudian dikembangkan dan dibuka untuk umum pada 1979. BBS pada saat itu sudah bisa digunakan untuk berdiskusi online menggunakan papan pesan, membangun komunitas, melakukan proses mengunduh file, bahkan game online. Tampilannya tentu saja tidak seperti situs-situs yang ada saat ini yang penuh warna. BBS tidak berwarna dan tidak memiliki gambar karena hanya menggunakan program MS-DOS 3.0.

Pada tahun 1980an, media sosial sifatnya masih underground. Ada memang perangkat-perangkat yang sah dipergunakan, namun ada pula perangkat-perangkat kembangan yang dikembangkan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan software bajakan juga sudah bermunculan lho. Uniknya lagi, pada medio 1980an ini pun terjadi pernikahan pertama yang calon pengantinnya dipertemukan melalui chatting di dunia maya. Pasangan pengantin inipun ditampilkan dalam acara Phil Donahue. Jadi ingat film You’ve Got Mail!-nya Tom Hanks, he he he.

Internet memang eksis sejak akhir 1960an, tapi nih Sob, ternyata world wide web alias www baru bisa diakses publik tepatnya pada 6 Agustus 1991. Bahkan pada awal 1990an, aksesnya terbatas hanya untuk kalangan kampus, pemerintah, militer dan hacker tentunya. Sejak 1994-1995, internet service providers (ISPs) pun mulai dikembangkan di Amerika. Ini memberikan akses internet tak terbatas bagi para penggunanya. Saking tak terbatasnya, para pengguna internet bisa beropini sebebas-bebasnya di dunia maya. Maka untuk membatasinya, dibuatlah standar etika media sosial online pertama yang lazim disebut netiquette atau netiket.

Media sosial ini semakin berkembang seiring perkembangan teknologi. Sampai akhirnya SixDegrees, situs jejaring sosial pertama muncul pada 1997. Kemudian disusul dengan beberapa jejaring sosial yang fenomenal seperti Friendster (2002), MySpace (2004), Facebook (2004) dan Twitter (2006). Bahkan sekarang juga muncul jejaring sosial berbasis lokasi seperti Foursquare dan Koprol. Nah, sebagai angkatan 2000an, kamu pernah punya akun yang mana? Atau pernah mencoba semuanya?

Remaja Mesjid dan Media Sosial

Bulan Ramadhan kemarin, sambil menunggu buka puasa, Sob ngabuburit dimana? Pasti gak sedikit deh yang ngabuburit pake media sosial alias internetan. Kalau jaman dulu nih, yang addict sama internet pasti dibilang kutu buku, aneh bin kuper. Tapi kalau sekarang, yang gak bisa internetan malah dibilang gak gaul dan gak keren.

Yup, saat ini internet sudah menjadi life style. Maka gak heran kalau sekarang laptop dan netbook sudah bukan lagi barang langka. Bahkan smartphone, ipad dan sejenisnya saja saat ini mudah sekali untuk didapatkan dengan harga terjangkau. Karena kayaknya ada yang kurang tiap kali bepergian tapi gak bisa up date status dan lokasi. Iya kan?

Tapi nih Sob, media sosial gak melulu cuma buat pergaulan lho. Kalangan pebisnis banyak menggunakan media sosial untuk mengembangkan bisnis mereka. Media sosial bisa menjadi tempat promosi gratis bagi mereka yang juga menggeluti bisnis online.

Para politisi dan anggota dewan juga banyak menggunakan media sosial untuk melakukan personal branding atas diri mereka. Misalnya dengan mensosialisasikan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan para konstituennya, atau mensosialisasikan kebijakan yang baru saja dibuatnya.

Bahkan ulama dan ustadz saja sudah banyak yang ikut bergabung di media sosial. Wuih, ustadz gaul dong. Weits, tunggu dulu! Para ustadz itu lagi dakwah kok. Mereka mensosialisasikan fatwa-fatwa melalui media sosial. Bahkan tidak sedikit yang mau melayani untuk menjawab konsultasi agama secara interaktif. Yup, para ustadz ini sedang merambah dunia Dakwah 2.0.

Lalu remaja kayak kita bisa gak sih memanfaatkan sisi-sisi lain dari media sosial? Bisa banget. Misalnya nih Sob, rohis atau organisasi remaja masjid kita punya usaha kecil-kecilan untuk menambah uang kas negara. Nah, media sosial bisa digunakan untuk membantu penjualannya. Siapa tahu, ada rekan kita di Papua yang kepincut sama barang dagangan kita dan order deh. Bahkan, bisa jadi lintas negara. Tapi ya kalau lintas negara, ongkir alias ongkos kirimnya juga mesti diperhatikan ya Sob, he he he.

Media sosial juga bisa dijadikan alat branding kita atau organisasi atau bahkan komunitas kita. Misalnya, Sob punya komunitas pecinta buku. Untuk menyalurkan hobi Sob itu, Sob bisa bergabung dengan salah satu (atau lebih) media sosial untuk berjejaring. Siapa tahu ada saudara kita di pelosok nusantara yang membutuhkan buku dan bisa Sob bantu.

Contoh lain media sosial sebagai alat branding, misalnya, saat ini isu terorisme stigmanya gak lepas dari orang Islam. Sebagai remaja muslim, masa rela sih Islam dicap sebagai agama teroris? Nah, untuk membantu membersihkan citra Islam, media sosial bisa disulap jadi sarana dakwah yang efektif. Kita bisa up load tulisan-tulisan keislaman yang inspiratif dan mencerahkan, bahkan kita bisa memberikan ajakan kepada kebaikan bagi teman-teman kita di jejaring sosial. Jadi, kalau dulu anak-anak mesjid (remaja mesjid atau rohis) dakwahnya cuma lewat buletin dan majalah dinding, sekarang harus sudah bermigrasi ke media sosial.

Saat ini, media sosial yang ada di dunia maya itu sudah menjadi tempat pertarungan ideologi. Kalau gak pintar-pintar memfilter, bisa tersesat juga. Pastinya kita gak mau kan kalau saudara kita ada yang tersesat akidahnya hanya karena keseringan bergaul di dunia maya? Untuk itu, sebagai anak mesjid, yuk kita sama-sama melek socmed! Agar bisa membawa pulang kawan-kawan yang terlanjur “tersesat” di dunia maya, kembali ke pelukan Islam. Wallahu’alam.

Jika MMT Diterapkan

Jika Makkah Mean Time (MMT) diterapkan, dunia, setidaknya dunia Islam harus berbenah. Mengubah dan menyesuaikan berbagai perangkat yang selama ini mengacu pada sistem GMT hanyalah bagian kecil dari pekerjaan rumah kita


Belakangan ini dunia Islam dihebohkan dengan rencana pemerintah Arab Saudi yang sedang merampungkan proyek jam terbesar di dunia. Jam yang berbentuk kubus empat sisi dan memiliki diameter 40 meter ini dipasang di puncak menara Abraj Al-Bait. Tak tanggung-tanggung, pemerintah Arab Saudi sampai menggelontorkan dana miliaran dolar AS untuk jam yang mengalahkan jam terbesar di Turki dengan diameter 35 meter dan menjadi atap Cevahir Mall.

Jam Makkah ini ditemukan oleh Yasin a-Shouk asal Palestina. Ia mengatakan, Jam Makkah bergerak berlawanan dengan arah jarum jam sebagaimana rotasi tawaf keliling Kabah. Penemuannya semakin menguat manakala pada April 2009 dilangsungkan sebuah gelaran konferensi ilmiah “Makkah sebagai Pusat Bumi: Teori dan Praktik” di Dhoha, Qatar yang kemudian menegaskan bahwa Makkah sebagai pusat bumi.

Dengan dipasangnya jam terbesar ini, pemerintah Arab Saudi kemudian juga memiliki ambisi untuk menggeser kedudukan Greenwich Mean Time (GMT) di Inggris yang selama ini menjadi pusat waktu dunia, menjadi Makkah Mean Time (MMT). Dan pro kontra pun dimulai.

Kenapa Makkah? Tahun 1978, Kepala Bagian Ilmu Ukur Bumi di Universitas Riyadh, Saudi Arabia Dr Husain dan kawan-kawannya melakukan studi. Ia menemukan bahwa pada saat ditelaah dari ilmu geografi (ilmu bumi) dan geologi (ilmu tanah), Makkah adalah pusat bumi.

Kemudian pada konferensi di Dhoha-lah hasil penemuan itu dipublikasikan. Konferensi tersebut juga lahir rekomendasi berupa ajakan bagi umat Islam di dunia untuk mengganti acuan waktu, yang tadinya di Greenwich ke Makkah.

Hal ini juga dikuatkan dengan pernyataan Ulama Mesir Yusuf Qaradhawi yang sepakat dengan pendapat Makkah sebagai pusat bumi. Lebih tepatnya sebagai poros bumi, karena menurutnya Makkah berada di titik keselarasan magnetis (utara) sempurna bumi. Selain itu, Qaradhawi juga menyatakan bahwa Makkah merupakan zona nol magnet.

Padahal selama ini, sistim tata waktu masehi (kalender Gregorian) adalah yang digunakan sampai saat ini. Dimana garis tanggal internasional sebagai awal hari harus dimulai dari meridian 180 derajat Greenwich pada pukul 00:00 tengah malam. Sistim GMT ini diperkenalkan oleh Sanford Fleming (Canada) dan Charles F Dowd (Amerika) pada 1883.

Oleh mereka bumi dibelah menjadi dua bagian, yaitu bujur barat dan bujur timur, serta meridian 0 derajat diletakkan di Greenwich. Bujur timur melintasi Eropa, Asia, Australia sampai selat Bosporus. Sedangkan bujur barat melintasi Atlantik, benua Amerika hingga selat Bosporus.

Hal ini membuat Makkah berada di posisi 40 derajat bujur timur dan Indonesia terbentang dari 91-145 derajat bujur timur. Akibatnya, umat Islam di Indonesia beribadah empat jam lebih dulu daripada di Makkah.

Gagasan menjadikan Makkah sebagai pusat waktu dunia ternyata bukan hal baru di Indonesia. Gagasan itu pernah ditulis oleh seorang doktor asal Institut Pertanian Bogor (IPB) yang mengambil master dalam bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, almarhum Bambang E Budhiyono. Meski bukan mengambil bidang spesialisasi astronomi ataupun agama, Bambang mampu melemparkan gagasan ini melalui bukunya Kabah Universal Time (KUT).

Dalam studinya, Bambang menyebutkan bahwa umat Islam selama ini telah terkecoh dengan sistim waktu Barat. Dengan berpedoman pada al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 1, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”; ia menyatakan bahwa selama ini ibadah yang dilakukan umat Islam di Indonesia telah mendahului peribadatan yang dilakukan di Makkah empat jam lebih cepat.

Untuk itu ia melemparkan gagasan ini sebagai upaya untuk mengajak umat Islam kembali ke sistem waktu Islam (Islamic Time System), agar keabsahan ibadahnya terpenuhi. Selain itu, menurutnya, agar umat Islam terbebas dari rasa ragu akan mendahului Allah dan Rasul-Nya, seperti termaktub dalam surat al-Hujurat.

Menanggapi wacana ini, Astronom ITB Moedji Raharto berpendapat bahwa pergeseran ini tidak menggunakan dalil. “Jika perubahan kiblat shalat umat Islam ditentukan oleh wahyu dari Allah, pergeseran ini (pusat waktu dunia, red.) jelas tidak pakai wahyu,” ujarnya pada Sabili.

Moedji juga menyatakan, jika deklarasi GMT sudah berjalan selama beberapa abad lalu melalui konvensi internasional yang dihadiri kurang lebih 25 negara. “Saya kira Arab Saudi tidak hanya melempar gagasan, tetapi harus siap dengan segala konsekuensinya,” ujarnya.

Konsekuensi yang dimaksud Moedji adalah terjadinya perubahan waktu yang bukan saja mencakup aspek ibadah tapi juga seluruh aspek kehidupan manusia di seluruh dunia. Misalnya, aktivitas bisnis, perbankan, sistem komputer, sistem transportasi internasional, dan hampir semua aspek kehidupan lainnya. “Jika MMT digunakan, apakah sistim perbankan di Arab Saudi dan negara Islam akan menyesuaikan diri? Apakah waktu untuk berkomunikasi juga akan disesuaikan dengan MMT?” tanyanya.

Ia melanjutkan, selama ini kita tidak bisa menafikan bahwa teknologi masih dikuasai Barat. Karenanya, untuk mewujudkan perubahan tersebut, tentunya harus didukung dengan infrastruktur teknologi yang masih dikuasai Barat itu. “Pertanyaannya, apakah mereka mau mengubah secara sukarela? Jika pun mau, Barat tentu meminta imbalan yang tidak sedikit? Itulah tantangan utama menerapkan MMT menggantikan GMT,” jelasnya panjang lebar.

Peneliti utama astronomi astrofisika LAPAN yang juga anggota Badan Hisab Rukyat Depag RI Thomas Djamaluddin menanggapi. Menurutnya, tidak ada masalah dengan kalender Gregorian. Ia berpendapat, Islam menghargai dua sistem kalender, karena baik matahari maupun bulan beredar berdasarkan perhitungan. Seperti yang termaktub dalam QS. 10: 5,“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak” dan QS. 55:5, “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”. “Hanya saja untuk keperluan ibadah, Allah dan Rasul-Nya mengajarkan untuk melihat hilal, sebagai cara termudah melihat pergantian tanggal,” tulisnya dalam website-nya.

Ia juga menambahkan, perubahan sistim universal time ke KUT hanyalah mengubah konversi waktu saja dan tidak bermakna hakiki. Karena menurutnya, secara astronomis tidak ada keuntungan mengubah UT menjadi sistim universal lainnya, karena posisi pergantian hari tetap harus diperhitungkan.

Kemudian, mengenai waktu shalat, Thomas juga menyatakan bahwa waktu shalat ditentukan berdasarkan ketampakan matahari. Shalat Jumat pun ditentukan berdasarkan waktu lokal. “Kalau mengikuti waktu shalat Jumat di Makkah, waktu kerja (mencari karunia Allah) bisa-bisa sudah malam hari saat orang beristirahat,” jelasnya.

Salah satu pengurus Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Ustadz Achmad Satori Ismali mengenai MMT ini menyatakan, di dalam al-Qur’an sudah ada, lita’lamu adadas syinin wal hisab. Gunanya matahari, adanya bulan dan bintang, itu sebagai perhitungan dalam menetapkan waktu dan tanggal. Perhitungan waktu dalam al-Qur’an banyak dijelaskan, namun titik awalnya atau titik nolnya mulai darimana belum ada penjelasan,” ujarnya kepada Sabili.

Ia pun menyatakan dukungannya terhadap pergeseran pusat waktu dunia ini, karena merupakan terobosan bagus dan agar senantiasa tidak mengikuti dunia barat. “Sejatinya Islam memiliki sistim penangalan dalam menentukan hari dan tanggalnya dengan menggunakan sistim qomariyah dan syamsiyah. Tinggal disekapati saja, apakah akan berpengaruh terhadap kehidupan umat Islam tersebut, atau tidak? Mulai dari ibadah, sistim, gaji, dan yang lainnya,” pungkasnya.


Laporan: Daniel Handoko