Selasa, 27 Juli 2010

Penutup Kepala pun Masih Dilarang di Turki

Sekitar akhir Januari 2010. saya dan beberapa kawan di kru Lembar Khazanah (eL-Ka) diundang kawan-kawan aktivis mahasiswa yang kebetulan jadi eo acara International Youth Gathering (IYG) ketiga untuk meliput kegiatannya. Berhubung acara ini bertaraf internasional, kami tentunya gak mau ketinggalan moment dan “jaringan” tentunya, he he he.

Kebetulan kami disodorkan aktivis muslimah asal Turki untuk digarap jadi figur di salah satu rubrik muda bernama Teman Kita. Berdiskusi dengan mereka cukup menarik, meski dengan bahasa Inggris seadanya. Gelar Advanced IV sembilan tahun lalu pun sedang dipertaruhkan, he he he. Tapi kita kan tim yang keren, jadinya, meski wawancara gado-gado (setengah bahasa Inggris – saya dan Arief, setengah bahasa Arab – jatah Daniel), wawancara tetap berjalan lancar. Dan hasilnya, inilah potret tentang anak muda Turki berdasarkan kacamata dua muslimah ini. Selamat membaca ^__^

Senanur Avci dan Nagehan

Peserta IYG Asal Turki

Penutup Kepala pun Masih Dilarang di Turki

Bagaimana jadinya jika perwakilan pemuda Islam dari beberapa negara di dunia berkumpul di Jakarta? Yup, beberapa waktu lalu di Jakarta dilaksanakan International Youth Gathering (IYG) ketiga. Kegiatannya tidak jauh dari berdiskusi dan saling bertukar informasi serta solusi permasalahan dunia Islam dari perspektif anak muda tentunya. Nah, Teman Kita kali ini adalah perwakilan kontingen Turki, Senanur Avci dan Nagehan. Di sela-sela acara jamuan makan siang oleh Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, pada Kamis (21/01/2010) di Candi Bentar, Ancol, kru eL-Ka sempat menculik kedua teman kita ini untuk bincang-bincang ringan. Mau tahu apa bocorannya? Yuk ikuti obrolan kru eL-Ka Arief Kamaluddin, Daniel Handoko dan Diyah Kusumawardhani dengan para aktivis Turki ini.

eL-Ka: Setelah beberapa hari mengikuti IYG, pengalaman apa sih yang kalian dapatkan?

Nagehan: Kami datang kesini melalui NGO. Kami membicarakan wajah-wajah ummat. NGO memberikan jaringan kepada kami. Sehingga kami bisa mengenal satu sama lain, dan menghabiskan waktu bersama.

Senanur: Saat kami datang kesini, kami bertemu saudara se-iman dari seluruh negara. Kami bertukar informasi, dan informasi-informasi ini bisa berguna untuk pendidikan saya. Saya mengambil jurusan Hubungan Internasional di Istanbul Bilgi University.

eL-Ka: Nama NGO kalian?

Senanur: Hayat Health and Social Services Foundation

Nagehan: Bogazici (Bosphorous) University Reunion Association

eL-Ka: Selain NGO, aktifitas kalian apa saja?

Senanur: Kami juga aktif di organisasi mahasiswa. Kadang kalau ada masalah Palestina, kami sering mengumpulkan bantuan berupa uang untuk Palestina. Kami mengumpulkan uang dari sumbangan mahasiswa.

Nagehan: Kami membangun sebuah laboratorium komputer di Palestina dengan uang-uang sumbangan mahasiswa tadi.

eL-Ka: Bagaimana dengan sistem pendidikan kalian di Turki?

Nagehan: Sekolah kami menggunakan pendidikan sekuler. Sistem pendidikan kami dari sekolah dasar sampai universitas juga sekuler, bukan pendidikan Islam. Ada semacam kursus agama di sekolah, tapi itu sifatnya pilihan dan tidak diwajibkan. Kita hanya bisa mendapatkan pendidikan Islam melalui NGO dan pendidikan alternatif lainnya.

Senanur: Seperti orang Nasrani, mereka bisa mengabaikan kursus ini.

eL-Ka: Selain sistem pendidikan yang masih sekuler, tantangan apa lagi yang kalian hadapi?

Senanur: di Turki kami tidak bisa menggunakan jilbab ke wilayah publik. Saat ini kebijakannya sedang diupayakan untuk berubah, supaya minimal bisa menggunakan headscarf (penutup kepala, eL-Ka.) bagi muslimahnya. Dan itu cukup membuat reaksi.

Nagehan: Turki, mayoritasnya memeluk Islam. Mereka memiliki iman. Mereka mempraktekkan Islam. Contohnya saya. Saya tidak menggunakan jilbab, tapi saya berusaha untuk tetap menjalankan agama saya, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Banyak orang di Turki yang seperti saya (tidak berjilbab, eL-Ka.). Inilah produk dari sistem sekuler. Tapi saya berharap bisa lebih baik lagi, insya Allah.

eL-Ka: Seberapa kuat sih NGO yang kalian ikuti mempengaruhi kebijakan di negaramu?

Nagehan: Sulit untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah di Turki. Contohnya, di Indonesia yang 20 tahun lalu jilbab menjadi permasalahan, kemudian timbul reaksi masyarakat, dan masalah jilbab pun menemukan jalan keluar. Sedangkan di Turki, kami bereaksi tapi hal ini tidak bisa diselesaikan. Karena aturannya sangat ketat dan kejam. Militer punya kekuatan besar dalam isu-isu pemerintahan. Jadi sangat sulit untuk mengubah dan melawan sekulerisme.

Senanur: Dan sistem sekuler pun akhirnya mempengaruhi sistem pendidikan kami.

eL-Ka: Bagaimana cara kalian mengajak teman-teman kalian untuk bergabung dalam gerakan kalian?

Nagehan: Biasanya kami menggunakan jalur-jalur informal. Kami berdiskusi satu sama lain, lalu saling berkirim e-mail. Kadang kita menggunakan web-pages. Kami menggunakan akses internet untuk berhubungan satu sama lain, dan masing-masing sangat aktif satu sama lain untuk memberikan informasi, dan berbagi banyak hal menggunakan internet.

Senanur: kami memiliki banyak e-mail group. NGO dapat mempublikasikan program dan kegiatannya disana. Kami juga memiliki koran atau majalah Islam yang terbit harian atau mingguan. NGO juga mempublikasikan program-programnya melalui koran atau majalah tadi.

eL-Ka: Gerakan kalian bukan gerakan underground yang tidak legal kan?

Nagehan: Kami legal. Cuma memang institusi publik kami saja yang buruk. Kami bisa beribadah, kami memiliki banyak masjid, kami belajar Islam, kami juga bisa belajar Quran. Tidak ada masalah dengan itu semua. Tapi, kita tidak bisa memasuki kampus menggunakan jilbab, juga tidak bisa bekerja sebagai dokter, guru dengan jilbab.

Senanur: Ada beberapa sekolah Islam swasta yang memperbolehkan muslimah menggunakan jilbab, juga di beberapa rumah sakit swasta. Tapi di wilayah publik, beberapa pekerja yang awalnya bekerja secara legal namun mereka menjadi tidak legal karena hanya menggunakan jilbab.

eL-Ka: Bagaimana orang-orang memandang aktivitas kalian ini?

Nagehan: Menurut pendapat saya, setelah kudeta militer pada 1980, atmosfir di Turki berubah drastis. Orang-orang mulai bersikap simpati satu sama lain. Karena dalam kudeta militer ini setiap orang terluka. Baik itu muslim, maupun non muslim. Jadi, mereka mulai membangun hubungan yang kuat.

Senanur: Beberapa orang berprasangka. Beberapa menerima kami apa adanya, beberapa melihat jilbab kita, dan beberapa ada yang bersikap tidak baik. Tapi atmosfir menjadi berubah dengan pendidikan masyarakat. Contohnya, sepuluh tahun lalu di Turki tidak banyak ditemukan perempuan menggunakan jilbab. Namun sekarang alhamdulillah sudah banyak peningkatan. Dan sekarang, orang-orang tidak berreaksi seperti 20 tahun lalu, sebelum kudeta. Kita menjadi familiar dengan jilbab sekarang. Saya pikir, NGO Islam sudah bekerja keras untuk mengubah cara berpikir rakyat Turki.

eL-Ka: Bagaimana dengan generasi muda di Turki?

Nagehan: Generasi muda kami memahami Islam seperti melakukan shalat, mengaji al-Quran, tapi tidak bisa melaksanakannya di kehidupan sehari-hari. Contohnya, saya tidak bisa menggunakan jilbab, karena di wilayah publik hal ini dilarang. Melalui pendidikan sekuler, perlahan mereka berusaha mengubah mindset, nilai-nilai, dan kebiasaan kami sehari-hari.

Namun kondisi generasi muda sekarang sudah jauh lebih baik. Mereka mulai melaksanakan praktek-praktek keislaman di wilayah publik. Misalnya, mereka tidak melakukan shalat di rumah mereka, tetapi di masjid. Mereka tidak mengatakan, “Ya, saya menggunakan aturan Islam dalam kehidupan saya.” Tapi mereka menunjukkannya. Dan ini tidak pernah dilakukan sebelumnya. Contohnya, tidak pernah ada presiden sebelumnya di Turki yang mengerjakan shalat meski mereka semua muslim. Tentu saja mereka menyatakan dirinya muslim. Di Turki, muslim adalah mayoritas, mungkin 99%. Tapi kebanyakan mereka tidak melakukan shalat.

Infotainment

Empat tahun silam, tepatnya saat Musyawarah Nasional (Munas Alim Ulama) di Surabaya pada 27-30 Juli 2010, para kiai NU mengeluarkan fatwa larangan menonton tayangan infotainment. Apa sebab? Para kiai dari beberapa pesantren ternyata gelisah dengan pemberitaan infotainment yang berisikan gosip serta persoalan pribadi dan keluarga para artis. Dorongan inilah yang menurut Hasyim Muzadi yang menjabat sebagai Ketua Umum PBNU saat itu menjadi stimulan agar tayangan infotainment diangkat sebagai tema penting dalam munas tersebut.

Salah satu Ketua PBNU saat itu Said Aqil Siradj juga merisaukan tayangan infotainment ini. Iapun berkisah pernah menyaksikan berita infotainment tentang seorang artis yang diberitakan suaminya berselingkuh. “Ini kan sudah tidak benar, mencampuri urusan keluarga orang lain,” ujarnya seperti dikutip dari website NU Online.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga pernah menyatakan dukungannya terhadap fatwa haram tayangan infotainment yang dikeluarkan PBNU ini; meski MUI tidak akan mengeluarkan fatwa serupa. Karena menurut Ketua MUI Pusat Amidhan seperti dinukil dari Okezone, tanpa dikeluarkannya fatwa, gosip atau ghibah itu memang sudah haram.

Konten dalam tayangan infotainment memang tidak jauh dari aktivitas bergunjing. Hampir mayoritas kontennya menyampaikan aib orang lain, fitnah, adu domba, perselingkuhan sampai skandal seks seperti yang banyak termuat dalam infotainment pun akhirnya dikategorikan para kiai dan ulama sebagai ghibah. Bukan saja narasi yang dibacakan presenternya yang penuh opini, gambarnya pun kerap menunjukkan hal yang sama.

Faris Khoirul Anam dalam bukunya Fikih Jurnalistik mengutip sebuah hadits shahih Muslim. Rasulullah Saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah kalian tahu apa ghibah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasulnya lebih tahu.” Lalu dijelaskan oleh nabi, “(Ghibah adalah) menyebut sesuatu yang ada pada saudaramu, yang bisa membuat ia tidak suka.” Seorang sahabat bertanya, “Bagaimana kalau yang aku sebut memang ada benar dalam saudaraku?” Nabi menjawab, “Kalau memang ada, berarti kau telah menggunjingnya. Kalau tidak ada, berarti kau telah memfitnahnya.”

Atas dasar hadits inilah Faris – yang mengambil skripsi berjudul Fiqhu al-Shahafah (Fikih Jurnalistik) di Fakultas Syari’ah al-Ahgaff University, Hadhramaut, Yaman – mengkategorikan infotainment sebagai tayangan ghibah. Karena menurutnya, menggunjing dalam praktik tidak hanya terbatas dengan menggunakan lisan. Menggunjing dengan lisan diharamkan karena mengandung unsur ‘memahamkan’ orang tentang kekurangan orang lain. Karena itu, ghibah bisa berupa ucapan, isyarat, tulisan, gerakan, dan setiap perbuatan yang bisa diketahui maksudnya.

Beberapa waktu lalu digelar juga rapat dengar pendapat (RDP) Komisi I DPR RI dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers yang salah satu bahasannya, apakah infotainment pas dikategorikan sebagai tayangan faktual dan sejajar dengan program jurnalistik. Karena menurut KPI, ada 400 aduan masyarakat ke KPI dan 31%-nya soal infotainment. Bahkan pada Juni 2010, 90% aduan yang masuk ke KPI adalah komplain atas tayangan infotainment.

RDP tersebut dibuka TB Hasanudin yang mengutip disertasi doktor berjudul “Relasi Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia: Studi Budaya Televisi pada Program Infotainment” oleh Mulharnetti Syas. Kesimpulan dari penelitian ilmiah tersebut menyebutkan bahwa infotainment bukan produk jurnalistik, karena dalam prosesnya pekerja infotainment tidak menjalankan kaidah jurnalistik. "Program infotainment menjadi produk budaya populer dan berbentuk program gosip yang tidak mematuhi kode etik jurnalistik," ujar Ketua Jurusan Ilmu Jurnalistik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta itu.

Selain itu, infotainment disinyalir juga tidak sesuai dengan beberapa poin dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) keluaran KPI dan beberapa pasal di Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Dewan Pers (Pasal 1, 2, 3, 4, 6, 9). Inilah yang kemudian membuat Dewan Pers akhirnya bersepakat dengan KPI dan Komisi I DPR RI untuk me-non faktual-kan tayangan infotainment.

Secara jenis tayangan, infotainment hanyalah sebuah gaya penyajian berita atau informasi yang menggunakan metode hiburan (entertainment). Hal ini hanyalah sebuah cara untuk mengemas informasi agar lebih mudah dipahami masyarakat dengan melepaskan imej formal dan kaku dari sebuah berita atau informasi. Namun yang selalu menjadi kontroversi adalah konten dari infotainment yang berjaya diatas aib dan keburukan orang lain. Demi rating dan iklan, kehidupan orang lain pun diumbar. Wallahua’lam.

Kamis, 22 Juli 2010

Mereduksi Kriminalisasi Pers

Cover majalah itu terpampang gambar polisi yang agak gemuk sedang menggeret celengan berbentuk binatang babi. Sontak saja kemunculannya mengundang kontroversi.

Adalah Majalah Tempo yang dimaksudkan diatas. Majalah bertanggal terbit 28 Juni–4 Juli ini membuat gerah pihak kepolisian. Kabarnya terjadi kelangkaan majalah edisi Rekening Gendut Perwira Polisi ini di pasaran. Diduga ada aksi borong yang melibatkan oknum kepolisian.

Mabes Polri yang “tersinggung” pun berencana untuk melakukan gugatan terhadap majalah ini, dengan sebelumnya sempat mengirimkan surat teguran yang ditembuskan kepada Dewan Pers, Kamis (1/7/2010). Dalam surat teguran yang dilayangkan ke majalah tersebut, disebutkan cover celengan babi yang dimuat dianggap merugikan intitusi Polri.

Gugatan seperti yang dilayangkan Mabes Polri pun dianggap sebagai salah satu contoh upaya kriminalisasi pers. Dimana ketersinggungan subyektif terhadap sebuah pemberitaan media massa, disikapi dengan langkah hukum.

Maraknya gugatan kepada pers sendiri pun mempengaruhi angka indeks kebebasan pers di Indonesia yang pasca 2002 menurut situs Lembaga Reporters Sans Frontiers (RSF) - yang berpusat di Paris – naik turun tak menentu. Seperti pada 2002, Indonesia berada di urutan 57 dari 139 negara yang disurvei. Lalu drastis menurun menjadi urutan 110 dari 166 negara yang disurvei. Terakhir pada 2009, Indonesia menempati posisi 100 dari 175 negara yang disurvei.

Contoh lain bentuk kriminalisasi pers ini adalah ketika Raymond Teddy memperkarakan tujuh media massa nasional terkait pemberitaan kasus perjudian di Hotel Sultan yang menyebutnya sebagai bandar judi. Ketujuh media tergugat tersebut adalah Kompas, RCTI, Republika, Detik.Com, Seputar Indonesia,Warta Kota, dan Suara Pembaruan.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia periode 2005-2008 Heru Hendratmoko menyatakan langkah kriminalisasi pers bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Karena perlindungan atas kebebasan memperoleh dan menyampaikan informasi kepada publik sudah mendapatkan perlindungan yang eksplisit di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen.

Mengapa sering terjadi kriminalisasi pers? Heru Hendratmoko mensinyalir salah satunya karena masih diberlakukannya pasal-pasal karet tentang penghinaan dan pencemaran nama baik sebagaimana termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XVI tentang Penghinaan.

Pasal karet ini seperti misalnya pada pasal 310 yang menyebutkan, (1) barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Namun sepertinya pihak penggugat sering melupakan bunyi ayat ketiga pasal 310 ini yang berbunyi, tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Mereka lupa kalau pers sejatinya bertanggung jawab kepada publik, sehingga segala bentuk informasi yang dimilikinya pun milik publik dan diolah untuk kepentingan publik.

Pada dasarnya kriminalisasi pers yang marak terjadi tidaklah harus selalu berakhir dengan bentuk perlawanan, melainkan direduksi. Jika insan pers senantiasa berkiblat kepada UU Pers nomor 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik, hal ini tentunya dapat meminimalisir berbagai bentuk kriminalisasi terhadap pers. Agar pers tidak sekadar berhati-hati dengan pemaparan fakta dan “kreatif” dalam memproduksi serta menyajikan berita, tetapi juga tetap profesional dalam menjalankan perannya.

Rabu, 21 Juli 2010

Seri Kisah Hasan al Banna

Teringat, dulu pernah diminta seorang teman jadi ghostwriternya untuk tema Hasan al Banna, yang diringkas dari buku tentang biografi Hasan al Banna buatannya dan diminta mengembangkannya. Draft-nya sudah jadi, tapi pihak penerbit gak kasih kejelasan gimana-gimananya. Berhubung gak dapat kejelasan, jadi saya pikir naskah itu ditolak, he he he. Namanya juga ghostwriter pemula. Selain memang saat itu belum menguasai tema, kesibukan sebagai jurnalis juga bikin gak fokus *alasan, he he he.

Dan akhirnya, daripada nganggur, naskahnya diposting saja diblog dengan label: Hasan al Banna. Saya posting dari halaman paling terakhir ke yang paling pertama. Ini daftar isinya dan sekalian ada link-nya. Selamat membaca ^__^


Suara Azan di Tepi Nil

· Islam Adalah Ayahku

· Sepucuk Surat Untuk Imam Musala

· Suara Azan di Tepi Nil

· Khutbah di Mimbar Kosong

Organisasi Pemberantas Kemunkaran

· Terbaik ke-5 di Mesir

· Organisasi Pemberantas Kemunkaran

· Patung Perempuan Telanjang

· Perjanjian Dengan Allah

· Gaya Berpakaian dan Sunnah Rasul

· Topi Torbusy

· Hobi Menulis

· Nonton di Bioskop? Haram!

Revolusi Kedai Kopi

· Revolusi Kedai Kopi

· Hasan al Banna dan Pan Islamisme

· Bersama Thaha Husein

· Malam-Malam di Ismailiyah

· Dakwah yang ‘Immun’

· Dibenci Pemeluk Agama yang ‘Sakit’

· al Hijari dan al Banna

· Khatib Paling Digemari

· Atifatuts Tsulatsa

· Melawan Israel

· Arkanul Baiat

Zuhud dan Sederhana

· Konseptor dan Praktisi

· Buah Kejujuran

· Tegas Menegakkan Kebenaran

· Zuhud dan Sederhana

Mendidik Dengan Cinta

· Prinsip dan Kaidah Pembinaan Rumah Tangga

· Wanita Hebat di Belakang Hasan al Banna

· Perempuan Pilihan Sang Ibu

· Kurikulum Buatan Sang Ayah

· Perpustakaan Warisan

· Mendidik Dengan Cinta

Selamat Jalan Syuhada

Islam Adalah Ayahku

Hasan al Banna lahir di Mahmudiyah, yang terletak 90 kilometer dari Kairo, Mesir. Tepatnya pada 17 Oktober 1906. Ia lahir di tengah-tengah keluarga yang kental nilai keislamannya.

Ayah Hasan al Banna adalah seorang ahli fiqh dan pakar hadis. Ia adalah Syekh Abdurrahman al Banna al Sa’ati. Ia jugalah yang memberikan nama Hasan Al Banna yang memiliki arti Sang Pembangun Kebaikan.

Syekh Abdurrahman al Banna al Sa’ati bukan hanya seorang ulama. Ia juga seorang jurnalis, tepatnya seorang redaktur yang membidangi subyek sirah dalam majalah al Urwat al Wustqa yang dipimpin oleh Syaikh Jamaluddin al Afghani.

Rumah Hasan al Banna dilengkapi dengan sebuah perpustakaan pribadi. Hal ini membuktikan bahwa sang ayah menumbuh suburkan tradisi intelektual di dalam keluarganya. Karena Hasan al Banna adalah sorang anak yang sangat haus akan ilmu, maka hal yang paling disenanginya saat masih kecil salah satunya adalah membaca buku di perpustakaan ayahnya yang besar itu.

Tradisi intelektual inilah yang memotivasi Hasan al Banna untuk menghafal al Qur’an. Syekh Abdurrahman al Banna al Sa’ati juga tidak lelah memotivasi Hasan al Banna kecil untuk menuntaskan hafalannya. Sang ayah selalu mengatakan bahwa hafalan Quran ia sebut sebagai hutang yang harus ditunaikan oleh orang-orang besar. Akhirnya, pada usianya yang ke-14 Hasan al Banna berhasil menjadi hafidz Quran.

Selain itu, di bawah bimbingan sang ayah pula akhirnya membuat Hasan al Banna memiliki jadwal harian yang selalu dipatuhinya. Siang hari selalu dipergunakannya untuk belajar di sekolah. Sepulang sekolah, ia kemudian belajar membuat dan memperbaiki jam dengan orang tuanya hingga sore. Selanjutnya, waktu sore hingga menjelang tidur selalu digunakannya untuk mengulang pelajaran sekolah. Sementara membaca dan mengulang-ulang hafalan al Qur'an ia lakukan selesai shalat Shubuh.

Keberhasilan Imam Hasan al Banna dalam berdakwah tidak lepas dari pendidikan masa kecil beliau di bawah bimbingan ayahanda tercinta. Namun uniknya, Hasan al Banna justru tidak memanggil ‘ayah’ kepada Syekh Abdurrahman al Banna al Sa’ati. Karena baginya, Islam adalah ayahnya. “Islam adalah ayahku satu-satunya,” ucap Hasan al Banna. Hal ini dilakukan karena rasa cintanya terhadap ajaran Islam. Islam-lah yang telah membentuk watak dan kepribadiannya.

Sepucuk Surat untuk Imam Musala

“Dan janganlah kamu mengusir orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.” (QS. al An’aam: 52)

Itulah ayat yang dikutip Hasan al Banna kecil dalam suratnya kepada seorang imam musala. Surat itu ditulisnya setelah kejadian pengusiran yang dilakukan sang imam kepadanya dan teman-teman madrasahnya yang hendak mengambil wudhu di kolam air musala.

Suatu hari Hasan al Banna kecil dan kawan-kawannya saling berlari menuju kolam untuk mengambil wudhu. Sang imam menghalau anak-anak yang berebutan mengambil wudhu dari kolam. Mendengar halauan sang imam sebagian anak menyingkir, meski ada sebagian yang tetap bertahan dengan harapan bisa mengambil wudhu setelah sang imam selesai.

Kecewa dengan pengusiran yang dilakukan sang imam musala, Hasan al Banna menulis surat dan mengutip Surat al An’aam ayat 52 itu. Setelah membacanya, sang imam musala yang bernama Syaikh Muhammad Sa'id, terketuk hatinya. Iapun tidak lagi menghalau anak-anak untuk mengambil air wudhu dari kolam.

Sebagai balasannya, anak-anak pun bekerjasama mengisi air kolam agar sang imam tak kehabisan. Bahkan mereka patungan mengumpulkan uang untuk membeli tikar untuk digunakan di musala.

Suara Azan di Tepi Nil

Semangat keislamannya tak seperti rata-rata anak-anak di usianya. Hasan al Banna kecil gemar puasa sebulan penuh di bulan Rajab dan Sya’ban, selain Ramadhan.

Di usianya yang belia itu pula ia telah memimpin shalat sebagai imam. Selain itu, ia memiliki kesenangan ketika naik ke puncak menara dan meneriakkan azan dengan lantang.

Hasan al Banna kecil juga punya kebiasaan unik. Ia membagi-bagi wilayah Mahmudiyah dan menentukan siapa yang akan menjadi orang yang membangunkan orang-orang untuk Shalat Subuh. Kemudian ia berkeliling mengetuk pintu-pintu rumah tetangganya agar bangun dan menunaikan Shalat Subuh berjamaah.

Tak hanya para tetangga yang ia bangunkan, kadang muazin pun ia yang membangunkannya. Dibenaknya, ia mengatakan, bahwa ia telah berperan membangunkan para muazin yang kini menyeru manusia untuk menunaikan shalat dan menyembah Tuhannya.

Setelah semua orang terbangun, ia pun pergi menyendiri di tepi sungai Nil. Ia duduk di tepiannya sambil mendengar suara azan yang saling bersahut-sahutan dari satu masjid ke masjid lain.

Sungai Nil yang mengalir menjadi saksi tentang rasa bangga dan bahagia yang menyelimuti dada Hasan al Banna. Kebahagiaannya itu semakin bertambah ketika kakinya melangkah ke dalam masjid dan mendapat dirinya sebagai satu-satunya jamaah terkecil yang ada untuk menyembah Allah, Tuhan semesta alam.

Khutbah di Mimbar Kosong

Ahmad Saiful Islam adalah anak kedua Hasan al Banna dan satu-satunya anak laki-laki di antara saudari-saudarinya. Ahmad Saiful Islam adalah seorang advokat sekaligus sekjen sebuah organisasi yang bernama Aliansi Advokat Mesir, serta mantan anggota parlemen Mesir. Ia pernah juga dipenjara selama dua puluh lima tahun oleh penguasa Mesir Gamal Abdul Naser.

Dalam wawancara yang disiarkan di sebuah situs bertajuk ikhwanonline.com, ia menceritakan bahwa ayahnya ketika masih kecil pernah diduga hilang selepas sholat Jumat. Keluarga mencari Hasan al Banna tapi upaya itu tak berhasil. Ayahku Hasan al Banna tetap tidak bisa ditemukan.

Akhirnya, ada salah seorang keluarga yang menyarankan agar mencoba membuka pintu masjid dan melihat-lihat ruangan masjid, siapa tahu Hasan al Banna ada disana. Ternyata benar, mereka mendapatkan Hasan al Banna ada di mimbar masjid. Saat ditemukan, ia sedang khutbah di mimbar masjid yang kosong dari jamaah shalat setelah usai shalat jum’at. Hasan al Banna rupanya ketika itu meniru sang ayah Syaikh Ahmad Abdurrahman al Banna, yang sebelumnya menjadi khatib di masjid itu saat shalat jum’at.

Peristiwa ini dianggap Ahmad Saiful Islam seolah menjadi bagian dari persiapan Allah swt, kepada sang ayah, untuk menjadi orang yang memperjuangkan dakwah Islamiyah. Ahmad Saiful Islam juga ingat, suatu saat ayahnya menyampaikan khutbah di tahun 1946, dalam rangka memperingati wafatnya sosok pemimpin Musthtafa Kamil yang juga sebagai kader al Ikhwan al Muslimun.

Ahmad Saiful Islam menceritakan, saat itu sang ayah mengatakan, “Pemimpin itu ada tiga kategori: Pemimpin yang mencetak dirinya, pemimpin yang diciptakan oleh zuruuf (kondisi), dan pemimpin yang diciptakan oleh Allah swt.” Dan Menurut Ahmad Saiful Islam, ia adalah kategori pemimpin yang ketiga. Hasan al Banna adalah pemimpin yang diciptakan Allah swt.

Terbaik ke-5 di Mesir

Hasan al Banna kecil sangat cerdas. Meski sibuk dengan urusan dakwah, ia tak pernah ketinggalan dalam pelajaran. Buktinya, pada usia yang ke-16, ia telah lulus dari jenjang setingkat SMU dengan predikat luas biasa. Ia menjadi siswa lulusan terbaik pertama di sekolahnya dan terbaik kelima dari seluruh Mesir.

Organisasi Pemberantas Kemunkaran

Hasan al Banna masih duduk dibangku sekolah i’dadiyah, atau setingkat Sekolah Menengah Pertama di Indonesia. Pada usia yang masih belia itu, Hasan al Banna sudah memulai karirnya sebagai seorang juru dakwah yang menyerukan amar ma’ruf nahi munkar. Ia mendirikan sebuah organisasi yang ia beri nama Muharabah al Munkarat atau Organisasi Pemberantas Kemunkaran.

Sulung dari lima bersaudara yang kelimanya laki-laki ini menulis naskah proklamasi. Ia menulis dengan tangannya sendiri. Naskah proklamasi ini diantaranya berisi seruannya yang melarang laki-laki memakai cincin emas di jarinya dan juga tidak memakai sutra.

Naskah proklamasi itu diperbanyak dengan tulisan tangan dan dibagi-bagikannya kepada orang-orang di seluruh penjuru kota. Ia juga menempelkannya di pintu-pintu rumah besar.

Ia juga tidak ragu untuk menyuarakan kebenaran kepada para pejabat negara. Bahkan dengan menggunakan nama samaran, ia kerap menulis surat ke pejabat-pejabat terkenal. Ia menyerukan kebaikan dan melarang perbuatan munkar.

Di sekolah ini, Hasan al Banna bersama teman-temannya juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan yang dinamakan Perkumpulan Akhlaq Mulia. Ide ini diusulkan oleh guru matematikanya yang bernama Muhammad Afandi Abdul Khaliq. Dari namanya saja kita sudah tahu kalau perkumpulan ini menghendaki kemuliaan akhlaq dari para anggotanya. Salah satu aturan klub yang ada di antaranya adalah memberi denda kepada siapapun yang melakukan akhlaq yang tercela, dengan nominal denda dari yang teringan sampai yang terberat. Tergantung seberat apa pelanggaran yang dilakukannya.

Seperti diakui Hasan al Banna, ketekunannya untuk membuat organisasi selalu diilhami oleh cara kerja jam. Setiap komponen saling bekerja sama, saling terikat, saling menentukan. Kalau rusak salah satu komponen, rusaklah jam itu. Komponen jam ada yang terlihat yaitu jarum, itulah pemimpin ataupun humas. Ada juga yang tidak terlihat. Yang tidak terlihat itu umumnya anggota dan kelompok think tank (pemikir). “Organisasi Islam harusnya seperti itu,” menurut Hasan al Banna.

Saat itu Mesir juga sedang berada di bawah penjajahan Inggris. Kerusakan imbas dari sebuah penjajahan telah meninggalkan jejaknya dimana-mana. Keadaan ini membuat seluruh penduduk Mesir gelisah.

Begitu juga dengan Hasan al Banna kecil. Iapun berpikir untuk ikut melakukan perlawanan. Maka pada 1919 – yang saat itu ia baru berusia 13 tahun – iapun ikut bergabung dalam sebuah demonstrasi besar untuk menentang penjajahan Inggris.

Patung Perempuan Telanjang

Suatu hari di Mahmudiah, Hasan al Banna berjalan-jalan di tepi sungai Nil. Di sepanjang sungai, khususnya di perlintasan Mahmudiah, ditemukan banyak sekali pembuat kapal layar.

Tiba-tiba ia melihat seorang pembuat kapal yang menggantung patung perempuan telanjang yang terbuat dari kayu di atas tiang kapalnya. Hal itu melukai perasaannya. “Hal ini jelas melanggar moral dan etika. Apalagi di tempat itu banyak sekali perempuan yang pulang dan pergi mengambil air di sungai,” kenangnya.

Jika pemuda lain biasanya akan membiarkan peristiwa itu berlalu begitu saja. maka tidak dengan Hasan al Banna. Ia pun pergi menemui pegawai pemerintahan setempat dan melaporkan hal tersebut pada aparat. Laporannya ditanggapi serius. Bersama seorang aparat keamanan ia pergi menemui pemilik kapal, menegur, dan memintanya untuk menurunkan patung telanjang tersebut saat itu juga.

Keesokan harinya, karena aparat itu merasa kagum kepada Hasan al Banna muda, ia pergi ke sekolah dan menemui kepala sekolahnya. Ia menceritakan dengan penuh kekaguman dan takjub pada sang Hasan al Banna.

Perjanjian dengan Allah

“Aku ingin menjadi seorang penyuluh dan guru, sekaligus. Bahkan, seandainya seluruh waktuku, setiap harinya lebih banyak disita untuk mengajar, aku masih akan menyempatkan diri untuk mengajak para wali murid pada tujuan-tujuan Islam. Sekali-kali menulis, dan dalam kesempatan lain memberikan ceramah serta berbincang-bincang. Dan tentu saja melakukan satu perjalanan atau bertamasya. Untuk memenuhi tugas yang pertama, sebagai penyuluh, aku telah mempersiapkan diri dengan jiwa penuh rasa syukur dan optimisme. Sedangkan untuk tugas kedua, sebagai guru, dengan penuh ketekunan dan pengorbanan. Semuanya ini penting bagi seorang pembaru dan menjadi rahasia keberhasilannya. Alat-alat praktis yang hendaknya dimiliki seorang pembaru adalah masa belajar yang tidak sebentar, pengetahuan tentang mereka yang memiliki idealisme Islam dan mereka yang bersimpati kepadanya. Tubuh yang biasa menghadapi kekasaran walaupun kecil dan tidak asing lagi menghadapi kekerasan meski begitu lembut tubuh itu. Dan seluruh jiwa yang kuserahkan kepada Allah. Inilah perjanjian yang kubuat antara Allah dan diriku yang kutuangkan di sini, yang kuminta agar disaksikan oleh guruku, yang tak dapat dipengaruhi oleh apapun juga, kecuali hati nuraniku, dan yang bersifat gaib kecuali di hadapan Allah. Dan barangsiapa menepati janjinya di depan Allah, maka pahala yang besar akan menjadi miliknya.”

Itulah yang ditulis Hasan al Banna ketika menjelang kelulusan para mahasiswa diminta menuliskan rencana mereka selepas kuliah. Ia memiliki konsep sendiri yang jauh lebih matang dari teman-temannya. Ia ingin bermanfaat bagi manusia lain.

Perjanjian dengan Allah ini dibuat oleh Hasan al Banna, di depan dan disaksikan para gurunya. Perjanjian yang jelas tidak ringan untuk seorang pemuda yang baru berusia 21 tahun. Dan setelah itu, ia pun berangkat memenuhi janjinya, menjadi guru dan penyuluh di wilayah Ismailiyah.

Gaya Berpakaian dan Sunnah Rasul

Hasan al Banna kecil masih duduk di bangku sekolah mu’alimin. Namun secara sadar Hasan al Banna memilih cara berpakaian yang tidak lazim untuk anak seumurannya. Ia mengenakan baju panjang jubah, bersurban putih dan hanya memakai sandal seperti sandal yang dipakai orang-orang saat berhaji dalam balutan ihram. Dengan bangga ia mengatakan, hendak mengikut sunnah, ingin seperti nabi.

Suatu pagi, ada seorang penilik sekolah yang juga kepala bidang pengajaran, hadir di kantor kepala sekolah. Melihat Hasan al Banna masuk ruangan, ia menatap Hasan al Banna dari ujung kepala sampai ke kaki, lalu naik lagi dari kaki sampai ke surban Hasan al Banna yang putih.

Lalu, ia bertanya, mengapa Hasan al Banna berpakaian seperti itu. Dengan yakin, Hasan al Banna menjawab bahwa dirinya ingin mengamalkan sunnah cara berpakaian seperti nabi. Tetapi, jawaban itu justru melahirkan debat dari keduanya.

Penilik Sekolah: “Apakah kamu sudah mengamalkan semua sunnah nabi sehingga tidak ada lagi amalan sunnah yang tersisa kecuali cara berpakaian seperti ini?”

Hasan al Banna: “Belum, bahkan saya adalah orang sangat miskin dalam personalan amalan sunnah. Tapi pak, apa yang bisa saya kerjakan, maka akan saya kerjakan.”

Hasan al Banna dituduh, dengan cara berpakaian seperti ini, berarti ia telah melanggar aturan sekolah. Ia pun menolak dirinya disebut telah melanggar peraturan sekolah.

Hasan al Banna: “Mengapa, pak? Peraturan sekolah menyangkut masalah ketekunan dan kedisiplinan. Saya belum pernah absen dan belum pernah menyimpang dari peraturan sekolah.”

Sang guru tetap kukuh dengan pandangannya dan tak bisa menerima cara berpakaian Hasan al Banna. Ia mengatakan, jika departemen pendidikan mengetahui cara berpakaian Hasan al Banna, niscaya departemen pendidikan tidak akan mengangkatnya menjadi guru karena murid-murid akan merasa aneh dengan cara berpakaian gurunya. Hasan al Banna pun menjawabnya dengan tegas.

Hasan al Banna: “Itu urusan nanti, toh waktunya belum tiba. Ketika waktunya nanti tiba, direktorat mempunyai kebebasan, saya juga mempunyai kebebasan. Dan rezeki bukan di tangan direktorat pendidikan, tapi di tangan Allah.”

Akhirnya kepala sekolah pun turun tangan mendamaikan situasi pagi yang memberikan kemenangan pada Hasan al Banna. Cara berpakaian seperti itu, terus digunakannya sampai menjelang ia lulus dari Universitas Darul Ulum di Kairo, Mesir.

Topi Torbusy

Ujian praktik di Universitas Darul Ulum pun tiba. Seluruh siswa menggunakan topi torbusy, penutup kepala khas Mesir. Sedangkan yang menggunakan surban imamah, tinggal dua orang. Mereka adalah bukan Hasan al Banna dan seorang temannya, bernama Ibrahim al Wara.

Kemudian, mereka dipanggil oleh kepala universitas, Muhammad Bek asy Syahid. Ia menyarankan agar keduanya pergi ke madrasah untuk praktik mengajar tidak mengenakan pakaian yang berbeda dengan yang lainnya. Karena rasa hormat kepada sang guru, atas kebaikan dan kesalehannya, Hasan al Banna dan Ibrahim al Wara akhirnya menukar pakaian jubah mereka dengan setelan dan mengganti surban imamah mereka dengan topi torbusy yang tinggi di kepala.

Hobi Menulis

Seandainya saya menjadi selain manusia

Saya memilih menjadi bulan

Yang bersinar di saat malam purnama

Begitulah Hasan al Banna menumpahkan keinginannya dalam baik-bait puisi. Sifat lembutnya sangat terlihat lewat untaian kata-kata yang dipilihnya dalam setiap tulisan yang dihasilkannya.

Menulis adalah salah satu dunianya. Maka tak heran jika ia mampu menumpahkan perasaannya lewat bait-bait syair, lewat kata-kata yang disusun indah, esai-esai panjang yang menggambarkan pikiran dan rencananya, juga catatan-catatan kecil yang menggugah.

Pikiran dan perasaannya dapat ia tuangkan dengan sangat kuat pada tulisan. Suatu ketika, ia pernah kehilangan seorang sahabat karib yang bernama Farid Bek. Mendengar kematian sang sahabat, Hasan al Banna menangis dan melelehkan air mata cinta. Iapun mencipta puisi bagi Farid Bek. Katanya:

Hai Farid,

tidurlah dengan aman dan iman

Hai Farid,

janganlah kau khawatir tentang negeri ini

Hai Farid,

seluruh negeri akan menebusmu nanti

“Apapun alasan yang ada, saya memang suka menulis dan saya akan tetap memenuhi keinginan saya untuk tetap menulis. Jika apa yang saya tulis adalah sesuatu yang benar, Alhamdulillah. Namun jika tidak, maka astaghfirullah. Tetapi, saya yakin bahwa kalaupun tulisan ini tidak bermanfaat, insya Allah tetap tidak mendatangkan mudharat. Namun, kebaikanlah yang saya inginkan, dan Allah sajalah yang dapat memberi taufiq,” ujar Hasan al Banna mengenai kegemaran menulisnya.

Adalah Syekh Ahmad Jusuf Najati, guru mengarang yang sering memotivasi Hasan al Banna untuk mengarang dan mempelajari sastra. Tapi kadang sang guru juga mengalami kerepotan karenanya. Saking termotivasinya mereka, mereka menulis karangan dengan sangat panjang.

Suatu waktu sang guru mengeluhkan tulisan-tulisan yang terlampau panjang buatan murid-muridnya itu. “Kalian harus efisien, karena sastra itu simpel. Demi Allah saya tidak mengagung-agungkan karang mengarang, namun juga tidak membuangnya,” ujar sang guru yang disambut tawa para murid, termasuk Hasan al Banna yang suka menulis berpanjang ria.

Tulisan-tulisan Hasan al Banna termasuk yang mudah dipahami oleh banyak kalangan pembaca. Seluruh buku-buku yang ditulisnya mudah dipahami oleh pembaca awam, karena bahasa yang dipilihnya tidaklah melangit karena terlalu ilmiahnya. Tulisan-tulisan Hasan al Banna juga menarik banyak peneliti untuk dibedah isi pemikiran di dalamnya. Namun ketika ditanya mengapa orang dengan ilmu seluas dia sedikit sekali menulis buku, ia menjawab, “Cita-cita saya bukan membuat buku, tapi mencetak manusia.”

Nonton di Bioskop? Haram!

Tsana adalah putri ketiga Hasan al Banna. Ia adalah seorang Dosen Urusan Pengaturan Rumah Tangga, dan mengajar di sejumlah universitas di Saudi Arabia. Saat Hasan al Banna meninggal, Tsana masih berusia 11 tahun.

Ia berkisah tentang betapa sang kakek dari ibunya yang begitu mencintai ayahnya (Hasan al Banna). Waktu itu ibunya belum menikah dengan Hasan al Banna, dan ada laki-laki lain yang tertarik kepada ibunya. Laki-laki itupun mengajak ibunya pergi ke bioskop.

Khawatir dengan sang putri yang diajak nonton ke bioskop, sang kakek langsung menemui Hasan al Banna. Ia meminta Hasan al Banna untuk menyertai putrinya ke bioskop. Bioskop dengan segala fasilitas modern yang diberikan di dalamnya, dimana-mana tetap saja akan meninggalkan imej negatif bagi sepasang insan yang bukan muhrimnya ketika melangkahkan kaki-kakinya kesana.

Tsana kemudian menceritakan, sang kakek lantas menanyakan hukum pergi menonton film ke bioskop kepada ayahnya. “Ayahku menerangkan bahwa itu haram. Setelah kakek mengetahui orang tersebut meminta sesuatu yang dilarang, maka kakek meminta orang itu pergi dan mengatakan, ‘Aku tidak punya putri untuk dinikahkan olehmu’.”