Selasa, 29 Juni 2010

Moral Televisi

Belakangan dunia selebrita kita sedang dimarakkan oleh berita video porno mirip artis. Isu yang biasanya hanya marak di segmen infotainment ini nyatanya malah mengambil alih arus utama pemberitaan nasional. Berita penyerbuan tentara Israel ke kapal Mavi Marmara yang melibatkan relawan dan wartawan Indonesia, Bibit-Chandra, bahkan isu dana aspirasi DPR pun tergeser oleh isu ini.

Apapun latar belakang dari kasus beredarnya video porno mirip artis ini, bukan saja menjadi ujian besar bagi implementasi Undang-Undang Pornografi, tetapi juga bagi dunia media di Indonesia. Ini mungkin bukan yang kali pertama media di Indonesia dihebohkan dengan isu video atau foto porno. Tapi mungkin karena video tersebut disinyalir dibintangi artis papan atas yang sedang melejit ketenarannya, pencetak rating dan digandrungi banyak anak muda, maka semua media pun berlomba-lomba memberitakannya.

Video porno mirip artis ini dikabarkan beredar pertama kali di sebuah milis wartawan, lalu berkembang ke situs jejaring sosial, dan berubah menjadi isu nasional yang menembus media massa cetak dan elektronik nasional. Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Azimah Soebagijo dalam wawancaranya dengan Sabili menyatakan bahwa sebenarnya pengguna internet di Indonesia bisa dibilang masih lebih sedikit ketimbang jumlah penduduknya. Namun karena terjadi pengulangan berita pada media massa cetak dan elektronik, akhirnya membuat yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Apalagi ditambah dengan pemutaran adegan tersebut berulang-ulang pada tiap kali tayangannya dengan kualitas blur yang kurang baik. Belum lagi narasi yang sarat dengan opini dan wacana, sehingga tidak mengherankan terjadinya penjungkir-balikkan fakta, bahwa para pelaku adegan adalah "korban".

Untuk mengantisipasi agar tidak terlalu meluas, KPI akhirnya mengeluarkan edaran peringatan bagi televisi Indonesia terkait tayangannya. KPI menganggap pemberitaan yang terdapat di media massa televisi dinilai berpotensi melanggar sejumlah aturan yang ada di UU nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) KPI tahun 2009.

Adapun poin-poin peringatan itu adalah program siaran dilarang menonjolkan muatan cabul (UU Penyiaran Pasal 36 ayat 5b), program siaran wajib memberikan perlindungan kepada khalayak khusus yaitu anak-anak dan remaja (UU Penyiaran Pasal 36 ayat 3 dan SPS Pasal 13), program siaran wajib menghormati privasi sebagai hak atas kehidupan pribadi dan ruang pribadi dari subjek dan objek berita (SPS Pasal 11).

KPI kemudian menyarankan agar sebaiknya program siaran tidak menampilkan adegan seks (SPS Pasal 17). Namun pelarangan ini, menurut Ketua KPI Dadang Rahmat Hidayat, bukan berarti melarang informasi tersebut diberitakan. Menurutnya, informasi bisa tetap disampaikan, selama informasi tersebut dikemas dalam bentuk berita yang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang ada, seperti Kode Etik Jurnalistik misalnya.

Kemudian KPI juga mengingatkan agar para pelaku media televisi harus melakukan pemberitaan yang akurat, adil, berimbang, tidak beritikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukan fakta dan opini pribadi serta tidak cabul (SPS Pasal 42 ayat 1b).

Imbas terbesar dari tayangan dengan konten pornografi ini sudah barang tentu adalah moral remaja dan anak-anak. Sehingga tidak mengherankan jika ada orangtua yang sengaja menyembunyikan televisinya selama isu ini beredar di layar kaca, khawatir sang anak terlepas dari pengawasannya dan menonton tayangan mengenai video porno mirip artis tadi di salah satu segmen acara televisi, baik infotainment maupun program beritanya.

Sejak awal kemunculannya, kotak tabung bernama televisi ini memang telah membuat resah para pemirsanya. Televisi seperti pedang bermata dua, di satu sisi ia menuai manfaat bagi tersebarnya akses informasi dan pendidikan. Namun di sisi lain, jika tidak dikelola dengan baik akan berubah wujud menjadi sebuah alat pengikis moral. Dan meski kampanye “TV Turnoff” yang telah dilakukan sejak 1983 di Connecticut telah merambah Indonesia, tetap saja permasalahan moral yang seringkali muncul akibat media televisi yang menyajikan gambar bergerak ini belum bisa seratus persen dituntaskan.

Perkembangan media seperti televisi pun tak bisa dibendung, namun tetap saja ada cara untuk membentengi diri dari gempurannya. Mengamini Neil Postman, bahwa masalahnya bukan terletak pada apa yang kita tonton atau jenis tontonannya, melainkan pada pilihan kita untuk menonton televisi. Sehingga penyelesaiannya bukan saja dengan mengabaikan jenis tontonan yang negatif dan berbau pornografi misalnya, tetapi juga diiringi dengan usaha memperbaiki cara kita menonton televisi.

Kamis, 17 Juni 2010

“Berita” Sang Pencari Berita

Black Monday. Ini bukanlah Black Monday yang terjadi pada 19 Oktober 1987, dimana stok pasar-pasar di seluruh dunia jatuh, yang menyebabkan kenaikan harga dalam waktu singkat. Tapi Black Monday yang ini adalah peringatan atas penyerbuan tentara Israel ke kapal Mavi Marmara; yang mengangkut ratusan relawan kemanusiaan dari berbagai belahan dunia berlayar menuju Gaza. Di antara 600 orang aktivis pro-Palestina tersebut, selain dokter dan perawat, juga terdapat sastrawan, sutradara film, politisi dan tentunya jurnalis.

Turutnya jurnalis dalam misi kemanusiaan bukanlah hal baru dalam proses pencarian berita. Apalagi jika misi kemanusiaan tersebut menawarkan akses untuk para jurnalis untuk mendapatkan sisi lain dari sebuah peristiwa. Seperti halnya konflik Palestina-Israel yang bertahun-tahun mengalami diskriminasi pemberitaan, disebabkan mayoritas media massa internasional hanya menayangkan sisi Israel-nya saja. Apalagi jika ditambah dengan fakta bahwa mayoritas media tersebut telah berada dalam kungkungan jaringan lobi Zionis.

Dengan demikian, bergabung dengan misi kemanusiaan menjadi salah satu jalan untuk mengungkap fakta lain yang bisa jadi selama ini ditutupi dan direkayasa. Seperti yang dilakukan oleh Surya Fachrizal, M Yasin, Santi WE Soekanto, Wisnu Pramudya, para jurnalis asal Indonesia yang bergabung di dalam armada Flotilla.

Cara lain untuk mendapatkan sisi lain peristiwa dalam wilayah konflik adalah dengan menjadikan dirinya tameng hidup. Ini seperti yang dilakukan Faruk Zabci, koresponden perang surat kabar terbesar di Turki, Hurriyet Gazetesi. Ketika perang hampir berkecamuk di Irak pada 2003, Zabci tahu ia harus berada disana.

Namun Zabci tidak mendapatkan visa wartawan sehingga harus mencari cara lain untuk masuk Irak. Hingga akhirnya ia memutuskan berangkat ke Irak sebagai tameng hidup. Hal ini sudah barang tentu membahayakan dirinya. Namun kebutuhan akan fakta telah membuatnya harus melakukan berbagai cara.

Saat itu, tameng hidup merupakan kumpulan orang sipil dari seluruh dunia yang menentang serangan AS ke Irak. Atas izin pemerintah Irak, mereka pergi ke tempat-tempat potensial target pemboman di Irak dan berkemah disana dengan harapan keberadaan mereka akan mencegah serangan AS ke tempat-tempat tersebut.

Dengan statusnya sebagai tameng hidup, Zabci mendapatkan akses berita lebih daripada dengan rekan sesama jurnalis yang menggunakan visa wartawan. Iapun menjadi wartawan pertama yang mengambil gambar pemboman di jembatan sekitar 300-400 meter dari pembangkit listrik di mana ia dan rombongan tameng hidupnya berada.

Membahayakan diri demi eksklusifitas pemberitaan memang risiko profesi seorang jurnalis, apalagi para jurnalis yang bertugas di wilayah konflik bersenjata internasional. Namun apa yang terjadi pada kebanyakan kasus, jurnalis sering menjadi korban dalam konflik tersebut. Kasus penyerangan kapal Mavi Marmara adalah salah satu contoh di mana jurnalis sering diabaikan hak perlindungannya dari mereka yang bertikai, meski aturan pemberian perlindungan terhadap jurnalis sudah ada.

Hal ini termaktub dalam Artikel 79 tentang “Measures of Protection for Journalist” (Standardisasi Perlindungan Kepada Jurnalis) yang terdapat dalam Protokol I yang diadopsi oleh Konferensi Diplomatik PBB, 8 Juni 1977. Dimana aturan tersebut menerangkan seorang jurnalis yang sedang melaksanakan misi profesional dalam area konflik militer memiliki hak sebagai rakyat sipil, mereka mendapatkan jaminan perlindungan oleh hukum kemanusiaan sebagai masyarakat sipil.

Tapi sepertinya kenyataan di lapangan sering menunjukkan hal lain. Mereka yang bertikai sering menjadikan jurnalis sebagai sasaran dengan berbagai dalih alasan. Maka sepantasnya hal ini kembali menjadi renungan, agar jurnalis yang tugasnya mencari dan mengabarkan berita tidak malah menjadi berita.

Perempuan Disabilitas

Hari itu bisa dibilang hari yang membanggakan bagi Ningsih, perempuan disabilitas asal Bandung. Ia mendapatkan penghargaan Kartini Award Dewan Pers pada 23 April 2010 silam.

Ningsih mempunyai ide membuat program "zakat sampah". Metodenya mudah dan sangat sederhana. Bagi siapa saja yang memiliki barang bekas, hibahkan saja kepada Ningsih dan kawan-kawan. Setelahnya, barang-barang bekas itu akan didaur ulang menjadi barang bermanfaat bagi Ningsih dan kawan-kawan.

Dalam proses produksinya, Ningsih melibatkan kaum perempuan dan anak-anak yang ada di lingkungannya lho. Karena ia tidak hanya ingin mengajarkan untuk peduli kepada lingkungan, tapi juga menumbuhkan kreatifitas di kelompok karyanya. Ningsih yang berusia 32 tahun dan sudah menderita polio sejak kecil ini juga berhasil mendirikan “sekolah hijau” sebagai bentuk kepeduliannya kepada lingkungan hidup.

Pernah dengar kata 'disabilitas' gak sob? Disabilitas itu sebelumnya disebut dengan ‘difabel’, yang merupakan akronim dari different ability. Itu adalah istilah bagi orang yang memiliki perbedaan kemampuan, atau yang dulu lebih dikenal sebagai ‘penyandang cacat’.

Menurut WHO nih sob, rata-rata 10% dari jumlah penduduk di negara-negara berkembang termasuk Indonesia mengalami disabilitas. Misalnya saja Indonesia yang berpenduduk sebanyak 200 juta, maka sekitar 20 jutanya itu mengalami disabilitas. Nah, kalau mengacu kepada perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang 1:3, maka akan didapat angka 13,7 juta orang perempuan yang mengalami disabilitas.

Sementara itu, Ben Lindqvist yang banyak melaporkan mengenai masalah-masalah disabilitas, memprediksi hanya sekitar 5% kaum disabilitas di dunia yang mendapatkan rehabilitasi dan 5% yang melek huruf. Berarti, dari 13,7 juta perempuan disabilitas, hanya kira-kira baru sekitar 2.740.000 perempuan disabilitas yang dapat rehabilitasi dan kira-kira hanya 685.000 orang saja yang bisa membaca. Hmm..

Banyak forum-forum kajian yang digelar aktivis gender yang memaparkan, bahwa kendala yang paling sering dihadapi perempuan disabilitas justru berasal dari sikap negatif keluarga. Seperti yang diungkapkan Ariani dari Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI), keluarga kerap malu dan cenderung menyembunyikan putrinya yang disabilitas. Ironinya lagi, keluarga kadang menganggap kekurangan putrinya tersebut sebagai beban. “idealnya keluarga dapat memberikan kesamaan kesempatan, hak, dan perlakuan kepada anggota keluarganya yang disabilitas,” ujarnya. (Jurnalperempuan.com, 2010)

Menurut para aktivis gender ini, para perempuan disabilitas mengalami tiga diskriminasi. Yaitu diskriminasi kultur karena keperempuanannya dia, diskriminasi struktur yang tidak memihak, dan diskriminasi karena disabilitisnya. Dalam deklarasi BIWAKO (Kerangka Aksi Dekade Penyandang Cacat Dunia ke II) disebutkan bahwa hak-hak dasar perempuan disabilitas untuk menikah, membina keluarga dan memiliki keturunan cenderung dilanggar. Hal ini sangat disayangkan, karena bisa membuka peluang untuk terjadinya pelecehan serta kekerasan fisik dan seksual yang menimpa perempuan disabilitas.

Masalah disabilitas ini terus terang belum begitu mendapat perhatian ekstra, Sob. Karena seringnya di Indonesia, penyelesaiannya hanya ditekankan kepada pemenuhan kebutuhan praktis semacam pemberian keterampilan, modal usaha dan alat-alat bantu. Sementara pemenuhan kebutuhan strategis semacam pemberdayaan kaum disabilitas di segala lini dan pemenuhan hak-hak sipilnya masih belum banyak dilakukan.

Padahal, sesuai standar HAM universal, setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia, dan ini adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights); termasuk dalam keadaan disabilitas.

Menurut Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Amin Abdullah, dalam diskusi publik bertema Menggugat Perspektif 'Normalisme' dan Keadilan Bagi Difabel (Perspektif Kajian Agama), kaum difabel seharusnya diperlakukan sama. Mereka seharusnya bukan lagi dianggap orang yang tidak beruntung, perlu disantuni dan dipelihara dengan sekolah khusus. Namun, sejalan dengan pandangan dunia modern, mereka (apapun gendernya) berhak diperlakukan sebagai individu-individu yang mandiri, memutuskan sendiri dan berhak mendapatkan hak-hak sipilnya. Ia juga mencontohkan bagaimana bentuk sensitifitas kampus-kampus di Eropa dan Australia yang menyediakan laptop magnifier dan printer braille. “Saya mikir, apa yang menyebabkan mereka begitu, iman atau ilmu pengetahuan?” ujarnya.

Pada diskusi yang diadakan di Kantor PP Muhammadiyah, Kamis (08/04/2010) ini ia juga menyampaikan, baiknya orang Islam masuk ke dalam pengarusutamaan isu disabilitas ini. Karena menurutnya, di Indonesia kaum disabilitas kebanyakan beragama Islam.

Kisah Ningsih di atas tentunya menginspirasi kita. Meskipun banyak yang memandang Ningsih sebelah mata dengan kecacatan yang dimilikinya, namun itu bukanlah kendala baginya. Ia justru dijadikan lecutan bagi dirinya untuk terus berkarya. Perempuan yang tidak lulus jenjang Sekolah Dasar ini tidak pernah putus asa. Ia bahkan mempunyai komitmen untuk terus belajar, belajar dan belajar. Dan memang Sob, kunci itu semua bukan terletak pada keimanan saja, tetapi juga pada pendidikan yang adil dan merata bagi semua perempuan tanpa pandang ia normal atau disabilitas.

Rabu, 09 Juni 2010

106

Lima bulan kurang dua hari, alhamdulillah, akhirnya dua garis itu muncul. Awalnya hanya bengong, karena memang sebelum-sebelumnya sudah terbiasa dengan satu garis tiap kali terlambat, hehe.

Akhirnya human chorionic gonadotrophin (hCG) itu terdeteksi di dalam tubuh saya. Meski mbak bidan sendiri bingung, kenapa sudah terdeteksi padahal jadwal menstruasi terakhir adalah tanggal 6 Mei. Well, saya gak akan periksa mbak kalo hasilnya gak dua garis, i said to her sambil senyum-senyum geli.

Berhubung dokternya cowok, saya akhirnya cuma bisa berpasrah diri dengan mbak bidan deh. Sambil menunggu bulan depan periksa dengan dokter perempuan, mbak bidan memberi saya Folaplus. Saya browsing sana-sini juga untuk tahu kegunaannya, yang ternyata vitamin penambah darah buat ibu-ibu hamil dan menyusui. Mengandung asam folat juga lho.

Mbak bidannya cukup bersahabat. Jadi saya gak malu buat tanya-tanya. Saya juga no USG dulu. Karena khawatir percuma karena gak terlihat. Yang sudah hamil enam minggu saja belum keliatan mbak, mbak bidan said. Saya menurut saja. Karena saya yakin janin ini pasti masih berumur beberapa minggu saja.

Dan perubahan pun muncul pada si abang. Berubah jadi superduper cerewet. Ngakunya sih nothing to lose, karena umur kehamilan yang masih muda. Tapi waktu tahu ada flek yang muncul, si abang langsung superduper panik dan manyun. Nanti gak jadi deh, katanya sambil menyembunyikan wajahnya dibalik bantal. Si abang pun kembali senyam-senyum lagi setelah mbak bidan bilang: fleknya wajar, gak boleh capek-capek, gak boleh PP kantor motoran. Bukan hanya senyum manisnya yang balik lagi, cerewetnya pun balik lagi, hehehehe.

Untuk sementara waktu gak bisa jadi anak motor deh. Terpaksa berangkat jauh lebih pagi ke kantor. Gak papa lah, demi si makhluk kecil ini. Lagipula, di angkot dan bis saya malah bisa melanjutkan tidur pagi, hehe.

Dan si abang pun gak bosen-bosennya mengingatkan; Pokoknya kalo jalan pelan-pelan! Naik tangga juga jangan gubrak-gabruk! Susu udah diminum belom? Obatnya sudah beluuum?! Dan si abang pun berubah dari yang cuek banget menjadi perhatian, hihihihi.

Tuhan, bantu kami melalui ini semua. Semoga semuanya berjalan dengan baik-baik dan lancar-lancar saja. Amin J

-di satu saat tiga menuju lima pada yang keenam-