Jumat, 03 September 2010

Hijab

Bicara tentang hijab, ternyata hal ini bukan barang baru di Indonesia. Karena ternyata pada abad ke-17, budaya hijab ini sudah dilakukan oleh Ratu Zakiatuddin Inayat Syah dari Aceh.

Jadi, pada 23 Januari 1678, Ratu Zakiatuddin Inayat Syah dilantik. Dalam masa kekuasaannya, datanglah seorang utusan resmi Syarif dan Mufti Makkah di bawah pimpinan Yusuf al Qudsi. Saat menerima tamu tersebut, Ratu Zakiatuddin menerimanya dari balik hijab.

A Hasjmy mengutip naskah Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh karya Muhammad Yunus Jamil, menceritakan panjang lebar pertemuan Ratu beserta segenap petinggi kerajaan dengan rombongan dari Makkah.

“... Tahun 1681 rombongan Syarif Makkah itu sampai di Banda Aceh Darussalam, dimana mereka diterima oleh Ratu dengan segala upacara kebesaran. ,ereka sangat kagum menyaksikan Banda Aceh yang cantik dan permai; segala bangsa berdiam disana, kebanyakan mereka kaum saudagara.

Ketika mendapat kesempatan menghadap Sultanah, keheranan mereka jadi bertambah, dimana mereka dapati tentara pengawal istana terdiri dari prajurit-prajurit perempuan yang semuanya mengendarai kuda. Pakaian dan hiasan kuda-kuda itu dari emas dan perak. Tingkahlaku pasukan kehormatan itu dan pakaian mereka cukup sopan, tidak ada yang menyalahi peraturan agama Islam.

Ketika mereka menghadap Sultanah, mereka dapati Sri Ratu dengan para pembantunya yang terdiri dari kaum perempuan duduk di balik tabir lain sutera dewangga yang berwarna kuning berumbai-rumbai dan berhiaskan emas permata. Ratu berbicara dalam bahasa Arab yang fasih dengan mempergunakan kata-kata yang diplomatis sehingga menimbulkan takjub yang amat sangat bagi para utusan. Dalam pergaulan di Istana tidak ada satu pun yang mereka dapati yang di luar ketentuan ajaran Islam ...”

Rombongan dari Makkah sempat tinggal di Aceh setahun lamanya. Ketika mereka kembali ke Makkah, Ratu Zakiatuddin menghadiahi mereka emas permata. Pada 3 Oktober 1688, Ratu Zakiatuddin wafat dan digantikan Ratu Kamalat Syah.

Jadi, seperti budaya-budaya yang lainnya yang ada di Indonesia, hijab sudah menjadi salah satu hasil akulturasi yang sudah membudaya di Indonesia sudah sejak lama. Karena memang, pada abad ke-7, sekitar tahun 625 M, menurut literatur kuno Tiongkok, telah ada perkampungan Arab Islam di pesisir barat Sumatera, dan yang tertua ada di Barus. Hal ini memungkinkan terjadi akulturasi budaya tersebut.

Sumber:

Habis baca-baca Eramuslim Digest Edisi Koleksi 9; The Untold History: Konspirasi Penggelapan Sejarah di Indonesia (Pra Islam hingga abad 19)

Standar Kompetensi Wartawan

Mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja pernah menyebutkan, imbas reformasi adalah terjadinya booming media massa. Sedikitnya ada 300 media cetak, 800 radio, dan tujuh stasiun televisi, dan kesemuanya meningkat pesat jumlahnya sampai hari ini. Tidak mengherankan, sebab sebelum reformasi, ada Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang telah membatasi pertumbuhan pers.

Atmakusumah melanjutkan, warna dari media massa yang menjamur inipun bermacam-macam. Dari yang benar-benar media massa dengan berpatokan kepada standar-standar jurnalisme profesional, sampai dengan media massa ala kadarnya yang mengandalkan sensasi dalam pemberitaan.

Namun ternyata tak hanya media massanya yang bertumbuh, jumlah wartawan pun makin banyak. Mulai dari yang pendidikannya murni jurnalistik, sampai lintas jurusan. Dunia wartawan dengan jaringan dan akses yang bisa ditembusnya, telah menggoda banyak pihak dari berbagai jenjang pendidikan untuk menekuninya. Sehingga banyak orang ikut-ikutan terjun ke dalam dunia ini dengan mengabaikan profesionalitas, intelektualitas dan kode etik.

Hal inilah yang kemudian menumbuh suburkan apa yang disebut dengan fenomena ‘wartawan bodrex’ alias wartawan gadungan. Wartawan yang tidak memiliki media resmi, yang hanya bermodalkan kartu identitas palsu kemudian melakukan aktivitas wartawan sebagaimana lazimnya; namun diikuti modus yang berlaku dibaliknya, yaitu intimidasi dan teror kepada narasumber atas nama pers.

Melihat fenomena wartawan bodrex, tidak mengherankan jika kemudian Rosihan Anwar pernah menyebutkan dalam Menulis dalam Air (1983); bahwa profesi wartawan menjadi suatu keranjang sampah tempat menampung orang-orang yang putus sekolah, setengah gagal, setengah intelektual, setengah putus asa.

Permasalahan dunia pers pasca reformasi bukan pada tingkat SDM-nya atau wartawannya saja, tetapi juga pada perusahaan pers. Menurut Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, dari 829 perusahaan pers yang ada saat ini hanya 30 persen saja yang sehat bisnis, selebihnya tidak sehat secara bisnis. Masih menurut Leo, perusahaan pers yang baik harus memenuhi standar profesional, seperti; memiliki kompetensi sebagai pebisnis media, mengoperasikan SDM yang memenuhi standar kompetensi, memiliki atau minimal mampu menyewa peralatan yang diperlukan dan memiliki modal yang cukup.

Demi memenuhi standar profesionalisme tersebut, khususnya dalam hal kompetensi wartawan, Dewan Pers saat perayaan Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2010 di Palembang me-launching Standar Kompetensi Wartawan. Standar Kompetensi Wartawan ini berisi rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan.

Kompetensi, menurut Dewan Pers dalam buku "Kompetensi Wartawan", Pedoman Peningkatan Profesionalisme Wartawan dan Kinerja Pers, mencakup beberapa aspek. Yakni aspek penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan kesadaran. Ketiga aspek itu, diperlukan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kesadaran mencakup di dalamnya, etika, hukum dan karir.

Sementara dalam suatu kesempatan, Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Prof DR Moestopo, DR Gati Gayatri, menjelaskan apa yang dimaksud dengan "Kompetensi Wartawan". Menurutnya Kompetensi Wartawan merupakan kemampuan seorang wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan dan tanggung jawab sesuai tuntutan profesionalisme yang dipersyaratkan.

Standar Kompetensi Wartawan ini dianggap penting penerapannya di Indonesia untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan Indonesia, termasuk menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan. Selain itu, Standar Kompetensi Wartawan ini juga dapat digunakan sebagai bahan acuan sistem evalusi kinerja wartawan oleh sebuah perusahaan pers untuk menentukan kualitas awak redaksinya. Sehingga produk jurnalistik dari perusahaan pers tersebut pun bisa dipertanggungjawabkan tidak hanya secara fakta, tapi juga secara profesi.

Anak Mesjid Melek SocMed

Pernah dengar istilah “Socmed”? Yup, benar banget, itu akronim buat social media. Istilah yang kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi: media sosial. Kalau menurut Wikipedia, media sosial adalah media dimana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, forum dalam dunia virtual.

Masih bingung? eL-Ka tanya, punya akun di Friendster, MySpace, Facebook atau Twitter gak Sob? Nah, itu dia yang namanya situs jejaring sosial, dan itu adalah bagian dari media sosial.

Terdapat banyak angka statistik yang menunjukkan penggunaan media sosial dan tingkat keefektifannya bagi bagi banyak orang di seluruh penjuru dunia. Seperti di Amerika, sebuah penelitian yang dilakukan pada akhir Desember 2009 menyebutkan, sebanyak 234 juta orang usia 13 tahun dan lebih tua telah menggunakan mobile device; perangkat yang memudahkan orang untuk mengakses media sosial. Pada Desember 2009 juga, situs jejaring sosial Twitter ternyata telah memproses lebih dari satu milyar tweet. Yang jika dirata-ratakan, per harinya hampir 40 juta tweet yang diproses. Ckckck.

Sejarah

Sebenarnya nih Sob, istilah media sosial tidak terbilang baru juga. Orang-orang sudah menggunakan media digital ini untuk jaringan, pergaulan dan pengumpulan informasi selama 30 tahun lho.

Jadi, kemunculan media sosial ternyata bukan bermula oleh komputer, melainkan oleh telepon. Istilah online jaman dulu itu bukan seperti online pada jaman sekarang yang identik dengan Yahoo Messenger, Google Talk, chat di Facebook dan yang lainnya. Tetapi istilah online jaman dulu identik dengan telepon. Ini terjadi pada awal-awal kemunculan telepon pada medio 1950an.

Kemudian pada 16 Januari 1978, dua anggota Chicago Area Computer Hobbyist Exchange, Ward Christensen dan Randy Suess dalam dua minggu menciptakan jejaring sosial online pertama di dunia yang disebut Bulletin Board System (BBS). BBS pun kemudian dikembangkan dan dibuka untuk umum pada 1979. BBS pada saat itu sudah bisa digunakan untuk berdiskusi online menggunakan papan pesan, membangun komunitas, melakukan proses mengunduh file, bahkan game online. Tampilannya tentu saja tidak seperti situs-situs yang ada saat ini yang penuh warna. BBS tidak berwarna dan tidak memiliki gambar karena hanya menggunakan program MS-DOS 3.0.

Pada tahun 1980an, media sosial sifatnya masih underground. Ada memang perangkat-perangkat yang sah dipergunakan, namun ada pula perangkat-perangkat kembangan yang dikembangkan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan software bajakan juga sudah bermunculan lho. Uniknya lagi, pada medio 1980an ini pun terjadi pernikahan pertama yang calon pengantinnya dipertemukan melalui chatting di dunia maya. Pasangan pengantin inipun ditampilkan dalam acara Phil Donahue. Jadi ingat film You’ve Got Mail!-nya Tom Hanks, he he he.

Internet memang eksis sejak akhir 1960an, tapi nih Sob, ternyata world wide web alias www baru bisa diakses publik tepatnya pada 6 Agustus 1991. Bahkan pada awal 1990an, aksesnya terbatas hanya untuk kalangan kampus, pemerintah, militer dan hacker tentunya. Sejak 1994-1995, internet service providers (ISPs) pun mulai dikembangkan di Amerika. Ini memberikan akses internet tak terbatas bagi para penggunanya. Saking tak terbatasnya, para pengguna internet bisa beropini sebebas-bebasnya di dunia maya. Maka untuk membatasinya, dibuatlah standar etika media sosial online pertama yang lazim disebut netiquette atau netiket.

Media sosial ini semakin berkembang seiring perkembangan teknologi. Sampai akhirnya SixDegrees, situs jejaring sosial pertama muncul pada 1997. Kemudian disusul dengan beberapa jejaring sosial yang fenomenal seperti Friendster (2002), MySpace (2004), Facebook (2004) dan Twitter (2006). Bahkan sekarang juga muncul jejaring sosial berbasis lokasi seperti Foursquare dan Koprol. Nah, sebagai angkatan 2000an, kamu pernah punya akun yang mana? Atau pernah mencoba semuanya?

Remaja Mesjid dan Media Sosial

Bulan Ramadhan kemarin, sambil menunggu buka puasa, Sob ngabuburit dimana? Pasti gak sedikit deh yang ngabuburit pake media sosial alias internetan. Kalau jaman dulu nih, yang addict sama internet pasti dibilang kutu buku, aneh bin kuper. Tapi kalau sekarang, yang gak bisa internetan malah dibilang gak gaul dan gak keren.

Yup, saat ini internet sudah menjadi life style. Maka gak heran kalau sekarang laptop dan netbook sudah bukan lagi barang langka. Bahkan smartphone, ipad dan sejenisnya saja saat ini mudah sekali untuk didapatkan dengan harga terjangkau. Karena kayaknya ada yang kurang tiap kali bepergian tapi gak bisa up date status dan lokasi. Iya kan?

Tapi nih Sob, media sosial gak melulu cuma buat pergaulan lho. Kalangan pebisnis banyak menggunakan media sosial untuk mengembangkan bisnis mereka. Media sosial bisa menjadi tempat promosi gratis bagi mereka yang juga menggeluti bisnis online.

Para politisi dan anggota dewan juga banyak menggunakan media sosial untuk melakukan personal branding atas diri mereka. Misalnya dengan mensosialisasikan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan para konstituennya, atau mensosialisasikan kebijakan yang baru saja dibuatnya.

Bahkan ulama dan ustadz saja sudah banyak yang ikut bergabung di media sosial. Wuih, ustadz gaul dong. Weits, tunggu dulu! Para ustadz itu lagi dakwah kok. Mereka mensosialisasikan fatwa-fatwa melalui media sosial. Bahkan tidak sedikit yang mau melayani untuk menjawab konsultasi agama secara interaktif. Yup, para ustadz ini sedang merambah dunia Dakwah 2.0.

Lalu remaja kayak kita bisa gak sih memanfaatkan sisi-sisi lain dari media sosial? Bisa banget. Misalnya nih Sob, rohis atau organisasi remaja masjid kita punya usaha kecil-kecilan untuk menambah uang kas negara. Nah, media sosial bisa digunakan untuk membantu penjualannya. Siapa tahu, ada rekan kita di Papua yang kepincut sama barang dagangan kita dan order deh. Bahkan, bisa jadi lintas negara. Tapi ya kalau lintas negara, ongkir alias ongkos kirimnya juga mesti diperhatikan ya Sob, he he he.

Media sosial juga bisa dijadikan alat branding kita atau organisasi atau bahkan komunitas kita. Misalnya, Sob punya komunitas pecinta buku. Untuk menyalurkan hobi Sob itu, Sob bisa bergabung dengan salah satu (atau lebih) media sosial untuk berjejaring. Siapa tahu ada saudara kita di pelosok nusantara yang membutuhkan buku dan bisa Sob bantu.

Contoh lain media sosial sebagai alat branding, misalnya, saat ini isu terorisme stigmanya gak lepas dari orang Islam. Sebagai remaja muslim, masa rela sih Islam dicap sebagai agama teroris? Nah, untuk membantu membersihkan citra Islam, media sosial bisa disulap jadi sarana dakwah yang efektif. Kita bisa up load tulisan-tulisan keislaman yang inspiratif dan mencerahkan, bahkan kita bisa memberikan ajakan kepada kebaikan bagi teman-teman kita di jejaring sosial. Jadi, kalau dulu anak-anak mesjid (remaja mesjid atau rohis) dakwahnya cuma lewat buletin dan majalah dinding, sekarang harus sudah bermigrasi ke media sosial.

Saat ini, media sosial yang ada di dunia maya itu sudah menjadi tempat pertarungan ideologi. Kalau gak pintar-pintar memfilter, bisa tersesat juga. Pastinya kita gak mau kan kalau saudara kita ada yang tersesat akidahnya hanya karena keseringan bergaul di dunia maya? Untuk itu, sebagai anak mesjid, yuk kita sama-sama melek socmed! Agar bisa membawa pulang kawan-kawan yang terlanjur “tersesat” di dunia maya, kembali ke pelukan Islam. Wallahu’alam.

Jika MMT Diterapkan

Jika Makkah Mean Time (MMT) diterapkan, dunia, setidaknya dunia Islam harus berbenah. Mengubah dan menyesuaikan berbagai perangkat yang selama ini mengacu pada sistem GMT hanyalah bagian kecil dari pekerjaan rumah kita


Belakangan ini dunia Islam dihebohkan dengan rencana pemerintah Arab Saudi yang sedang merampungkan proyek jam terbesar di dunia. Jam yang berbentuk kubus empat sisi dan memiliki diameter 40 meter ini dipasang di puncak menara Abraj Al-Bait. Tak tanggung-tanggung, pemerintah Arab Saudi sampai menggelontorkan dana miliaran dolar AS untuk jam yang mengalahkan jam terbesar di Turki dengan diameter 35 meter dan menjadi atap Cevahir Mall.

Jam Makkah ini ditemukan oleh Yasin a-Shouk asal Palestina. Ia mengatakan, Jam Makkah bergerak berlawanan dengan arah jarum jam sebagaimana rotasi tawaf keliling Kabah. Penemuannya semakin menguat manakala pada April 2009 dilangsungkan sebuah gelaran konferensi ilmiah “Makkah sebagai Pusat Bumi: Teori dan Praktik” di Dhoha, Qatar yang kemudian menegaskan bahwa Makkah sebagai pusat bumi.

Dengan dipasangnya jam terbesar ini, pemerintah Arab Saudi kemudian juga memiliki ambisi untuk menggeser kedudukan Greenwich Mean Time (GMT) di Inggris yang selama ini menjadi pusat waktu dunia, menjadi Makkah Mean Time (MMT). Dan pro kontra pun dimulai.

Kenapa Makkah? Tahun 1978, Kepala Bagian Ilmu Ukur Bumi di Universitas Riyadh, Saudi Arabia Dr Husain dan kawan-kawannya melakukan studi. Ia menemukan bahwa pada saat ditelaah dari ilmu geografi (ilmu bumi) dan geologi (ilmu tanah), Makkah adalah pusat bumi.

Kemudian pada konferensi di Dhoha-lah hasil penemuan itu dipublikasikan. Konferensi tersebut juga lahir rekomendasi berupa ajakan bagi umat Islam di dunia untuk mengganti acuan waktu, yang tadinya di Greenwich ke Makkah.

Hal ini juga dikuatkan dengan pernyataan Ulama Mesir Yusuf Qaradhawi yang sepakat dengan pendapat Makkah sebagai pusat bumi. Lebih tepatnya sebagai poros bumi, karena menurutnya Makkah berada di titik keselarasan magnetis (utara) sempurna bumi. Selain itu, Qaradhawi juga menyatakan bahwa Makkah merupakan zona nol magnet.

Padahal selama ini, sistim tata waktu masehi (kalender Gregorian) adalah yang digunakan sampai saat ini. Dimana garis tanggal internasional sebagai awal hari harus dimulai dari meridian 180 derajat Greenwich pada pukul 00:00 tengah malam. Sistim GMT ini diperkenalkan oleh Sanford Fleming (Canada) dan Charles F Dowd (Amerika) pada 1883.

Oleh mereka bumi dibelah menjadi dua bagian, yaitu bujur barat dan bujur timur, serta meridian 0 derajat diletakkan di Greenwich. Bujur timur melintasi Eropa, Asia, Australia sampai selat Bosporus. Sedangkan bujur barat melintasi Atlantik, benua Amerika hingga selat Bosporus.

Hal ini membuat Makkah berada di posisi 40 derajat bujur timur dan Indonesia terbentang dari 91-145 derajat bujur timur. Akibatnya, umat Islam di Indonesia beribadah empat jam lebih dulu daripada di Makkah.

Gagasan menjadikan Makkah sebagai pusat waktu dunia ternyata bukan hal baru di Indonesia. Gagasan itu pernah ditulis oleh seorang doktor asal Institut Pertanian Bogor (IPB) yang mengambil master dalam bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, almarhum Bambang E Budhiyono. Meski bukan mengambil bidang spesialisasi astronomi ataupun agama, Bambang mampu melemparkan gagasan ini melalui bukunya Kabah Universal Time (KUT).

Dalam studinya, Bambang menyebutkan bahwa umat Islam selama ini telah terkecoh dengan sistim waktu Barat. Dengan berpedoman pada al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 1, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”; ia menyatakan bahwa selama ini ibadah yang dilakukan umat Islam di Indonesia telah mendahului peribadatan yang dilakukan di Makkah empat jam lebih cepat.

Untuk itu ia melemparkan gagasan ini sebagai upaya untuk mengajak umat Islam kembali ke sistem waktu Islam (Islamic Time System), agar keabsahan ibadahnya terpenuhi. Selain itu, menurutnya, agar umat Islam terbebas dari rasa ragu akan mendahului Allah dan Rasul-Nya, seperti termaktub dalam surat al-Hujurat.

Menanggapi wacana ini, Astronom ITB Moedji Raharto berpendapat bahwa pergeseran ini tidak menggunakan dalil. “Jika perubahan kiblat shalat umat Islam ditentukan oleh wahyu dari Allah, pergeseran ini (pusat waktu dunia, red.) jelas tidak pakai wahyu,” ujarnya pada Sabili.

Moedji juga menyatakan, jika deklarasi GMT sudah berjalan selama beberapa abad lalu melalui konvensi internasional yang dihadiri kurang lebih 25 negara. “Saya kira Arab Saudi tidak hanya melempar gagasan, tetapi harus siap dengan segala konsekuensinya,” ujarnya.

Konsekuensi yang dimaksud Moedji adalah terjadinya perubahan waktu yang bukan saja mencakup aspek ibadah tapi juga seluruh aspek kehidupan manusia di seluruh dunia. Misalnya, aktivitas bisnis, perbankan, sistem komputer, sistem transportasi internasional, dan hampir semua aspek kehidupan lainnya. “Jika MMT digunakan, apakah sistim perbankan di Arab Saudi dan negara Islam akan menyesuaikan diri? Apakah waktu untuk berkomunikasi juga akan disesuaikan dengan MMT?” tanyanya.

Ia melanjutkan, selama ini kita tidak bisa menafikan bahwa teknologi masih dikuasai Barat. Karenanya, untuk mewujudkan perubahan tersebut, tentunya harus didukung dengan infrastruktur teknologi yang masih dikuasai Barat itu. “Pertanyaannya, apakah mereka mau mengubah secara sukarela? Jika pun mau, Barat tentu meminta imbalan yang tidak sedikit? Itulah tantangan utama menerapkan MMT menggantikan GMT,” jelasnya panjang lebar.

Peneliti utama astronomi astrofisika LAPAN yang juga anggota Badan Hisab Rukyat Depag RI Thomas Djamaluddin menanggapi. Menurutnya, tidak ada masalah dengan kalender Gregorian. Ia berpendapat, Islam menghargai dua sistem kalender, karena baik matahari maupun bulan beredar berdasarkan perhitungan. Seperti yang termaktub dalam QS. 10: 5,“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak” dan QS. 55:5, “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”. “Hanya saja untuk keperluan ibadah, Allah dan Rasul-Nya mengajarkan untuk melihat hilal, sebagai cara termudah melihat pergantian tanggal,” tulisnya dalam website-nya.

Ia juga menambahkan, perubahan sistim universal time ke KUT hanyalah mengubah konversi waktu saja dan tidak bermakna hakiki. Karena menurutnya, secara astronomis tidak ada keuntungan mengubah UT menjadi sistim universal lainnya, karena posisi pergantian hari tetap harus diperhitungkan.

Kemudian, mengenai waktu shalat, Thomas juga menyatakan bahwa waktu shalat ditentukan berdasarkan ketampakan matahari. Shalat Jumat pun ditentukan berdasarkan waktu lokal. “Kalau mengikuti waktu shalat Jumat di Makkah, waktu kerja (mencari karunia Allah) bisa-bisa sudah malam hari saat orang beristirahat,” jelasnya.

Salah satu pengurus Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Ustadz Achmad Satori Ismali mengenai MMT ini menyatakan, di dalam al-Qur’an sudah ada, lita’lamu adadas syinin wal hisab. Gunanya matahari, adanya bulan dan bintang, itu sebagai perhitungan dalam menetapkan waktu dan tanggal. Perhitungan waktu dalam al-Qur’an banyak dijelaskan, namun titik awalnya atau titik nolnya mulai darimana belum ada penjelasan,” ujarnya kepada Sabili.

Ia pun menyatakan dukungannya terhadap pergeseran pusat waktu dunia ini, karena merupakan terobosan bagus dan agar senantiasa tidak mengikuti dunia barat. “Sejatinya Islam memiliki sistim penangalan dalam menentukan hari dan tanggalnya dengan menggunakan sistim qomariyah dan syamsiyah. Tinggal disekapati saja, apakah akan berpengaruh terhadap kehidupan umat Islam tersebut, atau tidak? Mulai dari ibadah, sistim, gaji, dan yang lainnya,” pungkasnya.


Laporan: Daniel Handoko

Mendamba Pengelolaan Zakat Ideal

Dalam ‘Mensucikan Jiwa’, Said Hawwa menyebutkan bahwa zakat merupakan sarana terpenting kedua dalam upaya tazkiyatun-nafs. Dimana zakat yang dikeluarkan seyogianya bisa mengeliminir sifat kikir yang fitrah dimiliki manusia (QS. An-Nisa: 128) dengan saling berbagi. Namun bagaimana jika ternyata kekikiran malah tumbuh subur akibat kesalahan pengelolaan zakat?

Diskursus mengenai peran zakat dalam pengentasan kemiskinan telah banyak menjadi tema dalam berbagai forum ilmiah, apalagi sejak Undang-Undang Nomor 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat muncul. Namun meski sudah berusia 11 tahun, UU ini ternyata masih saja dianggap belum maksimal dalam mengatur pengelolaan potensi zakat di Indonesia. Beberapa pasal yang berbicara mengenai mekanisme pengelolaan dan pengawasan dianggap kurang komprehensif. Hal ini membuat wacana amandemen pun digulirkan berbagai pihak yang mendambakan pengelolaan zakat yang ideal dalam bingkai profesionalitas.

Profesionalitas ini seperti apa yang didambakan oleh anggota komisi VIII DPR RI asal Fraksi PKS, Jazuli Juwaini. Menurutnya, pengelolaan zakat haruslah profesional, transparan, akuntabel, dan betul-betul bisa meraih kepercayaan para muhsinin dan muzakki. “Program-programnya juga harus menyentuh dan menjawab persoalan masyarakat,” ujarnya kepada Sabili.

Dalam wacana amandemen ini ternyata bukan saja mengenai profesionalitas, tetapi berhembus pula isu sentralisasi zakat oleh pemerintah. Isu sentralisasi zakat inipun masih multitafsir, baik dari kalangan yang pro maupun yang kontra.

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dalam pernyataannya terkait revisi UU nomor 38/1999, mengakui di satu sisi telah mendorong pertumbuhan pesat organisasi pengelolaan zakat. Namun menjamurnya organisasi pengelola zakat ini dianggap menimbulkan kekhawatiran, khususnya berkaitan dengan sistem pengawasan dan koordinasi terhadap organisasi pengelola zakat yang masih jauh dari efektif. BAZNAS dalam hal ini merasa tidak memiliki legitimasi formal untuk mengkoordinasikan pengelolaan zakat di tanah air.

Hal ini diamini Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Nasaruddin Umar. Menurutnya, BAZNAS belum memposisikan diri sebagai payung dari seluruh Lembaga Amil Zakat (LAZ). Akibatnya, potensi zakat pun belum terkonsentrasi dengan baik. “Setahun minimal 9 trilyun bisa terkumpul. Ada juga angka yang menyebutkan sampai 21 trilyun. Namun, karena belum terkonsentrasi dengan baik, zakat kita belum sampai 1 trilyun. Baznas sendiri selama satu tahun dengan menghimpun dari data-data yang dimiliki baru sekitar 800 milyar,” jelasnya.

Nasaruddin juga mengatakan, idealnya masyarakat percaya kepada BAZNAS. “BAZNAS itu bentukan masyarakat, dan dialah nanti akan bersama-sama dengan komponen masyarakat yang lain sebagai koordinator dan meng-hire profesional yang lain, merangkul semua lembaga-lembaga yang ada. Jadi tidak perlu merasa terancam tidak dipakai atau lainnya,” paparnya.

Ia juga menegaskan perspektif sentralisasi yang diinginkan pemerintah bukanlah dalam pengertian tidak memberikan peran apapun kepada masyarakat. “Sampai pada masyarakat paling bawah pun tetap akan dilibatkan, tapi kita usulkan sebagai Unit Pengumpul Zakat. Jadi terintegrasi, sehingga tidak ada lagi monopoli. Supaya akuntabilitasnya terpelihara dan data-datanya sangat profesional. Mungkin sentralisasinya itu hanya pendataannya, data-datanya dibawah koordinasi BAZNAS,” jelasnya.

Kepala Cabang Rumah Zakat Indonesia (RZI) Jakarta Raya Timur Jaya Saputra menanggapi, bahwa draft amandemen UU Pengelolan Zakat yang diajukan Kementerian Agama yang menghendaki sentralisasi, dianggapnya telah mempersempit peran LAZ. LAZ hanya bertugas mengumpulkan zakat kemudian disetorkan kepada pemerintah. “Kalau ingin mendistribusikan, kita harus mengajukan lagi ke pemerintah. Artinya, penyalurannya terpusat di pemerintah, dan kita hanya sebagai Unit Pengumpul Zakat,” papar Jaya.

Sebelum membuat aturan sentralisasi, Jaya melanjutkan, seharusnya pemerintah melihat sejauh mana kesiapan dalam upaya sentralisasi ini. Karena menurutnya, sebelum sentralisasi, seharusnya pemerintah membuat regulasi bagaimana menyadarkan masyarakat untuk membayar zakat, membuat regulasi tentang aturan zakat, dan melakukan pemberdayaan masyarakat yang terarah serta kontinyu.

Sementara Ketua Umum Forum Zakat Ahmad Juwaini menganggap upya sentralisasi ini sebagai sesuatu yang positif, bahwa idealnya zakat dikelola melalui satu pintu. “Disentralisasi bagi kami bukan sesuatu yang aneh. Tapi kalau dilakukan sekarang ini, yang kami persoalkan adalah, apakah itu sudah dikaji dengan benar?” ujarnya.

Ahmad juga melanjutkan, bukannya Forum Zakat menolak ide sentralisasi itu, hanya menurutnya hal ini belum tepat diterapkan saat ini. Pemerintah menginginkan hanya ada satu lembaga pengelola zakat yaitu Badan Amil Zakat (BAZ). “Ketika ditanya kenapa hanya ada satu, alasannya karena sejarah nabi. Di jaman nabi pengelola zakat cuma satu, di negara-negara Timur Tengah juga satu.”

Namun menurut Ahmad, semua pengelola zakat sudah mendapat mandat dari pemerintah. Karena LAZ yang terlibat dalam pengelolaan zakat di masyarakat ini sebagian sudah disahkan pemerintah dengan dikeluarkan surat pendelegasian. “Menurut kami alasan itu sudah tidak relevan. Tugas pemerintah sudah diserahkan kepada kami melalui surat pendelegasian tadi, dan kami bukanlah lembaga liar. Lagipula kami juga tidak bertentangan secara fiqih. Kalau dinyatakan harus dikelola oleh negara, kami juga ditugaskan negara. Toh di negara manapun dibantu oleh aparat-aparat, sampai tingkat terkecil,” jelasnya panjang lebar.

Ahmad Juwaini juga menyayangkan wacana penghapusan LAZ-LAZ dalam draft amandemen versi Kementerian Agama. Menurutnya yang paling penting sekarang bukanlah menghapus LAZ-LAZ, melainkan mengurusi orang-orang yang belum berzakat, meningkatkan pendapatan zakat, serta menata lembaga zakat agar berjalan tertib dan rapih. Selain itu daripada menghapus LAZ-LAZ, Ahmad menyarankan sebaiknya ditetapkan koordinator. “Yang kami dorong sekarang ini adalah adanya koordinator, bukan penghapusan LAZ,” pungkasnya.

Hal senada juga disampaikan Direktur Pusat Kajian Agama dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Irfan Abu Bakar. Menurutnya LAZ yang ada saat ini sudah memberikan kontribusi melakukan transformasi penting dalam penyadaran masayarakat untuk membayar zakat. Ia melanjutkan, LAZ memberikan penyadaran melalui berbagai iklan dan pendekatan untuk membayar zakat, yang tidak dilakukan pemerintah. “Ini yang justru harus dikembangkan,” ujar Irfan.

Irfan menjelaskan, pemerintah cukup bertugas sebagai penjamin pengelolaan yang dilakukan LAZ. “Pemerintah harus menjamin LAZ agar berjalan sesuai koridor serta menjaga akuntabilitas, transparansi dan profesionalisme dari LAZ-LAZ yang ada. Pemerintah harusnya membuat regulasi yang harus disepakati oleh lembaga-lembaga yang ada. Membuat kebijakan sentralisasi tidak relevan dengan perkembangan jaman. “Pemerintah cukup sebagai regulator dan pengawas saja, bukan pengelola,” pungkas Irfan.