Tampilkan postingan dengan label Hasan al Banna. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hasan al Banna. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 Juli 2010

Seri Kisah Hasan al Banna

Teringat, dulu pernah diminta seorang teman jadi ghostwriternya untuk tema Hasan al Banna, yang diringkas dari buku tentang biografi Hasan al Banna buatannya dan diminta mengembangkannya. Draft-nya sudah jadi, tapi pihak penerbit gak kasih kejelasan gimana-gimananya. Berhubung gak dapat kejelasan, jadi saya pikir naskah itu ditolak, he he he. Namanya juga ghostwriter pemula. Selain memang saat itu belum menguasai tema, kesibukan sebagai jurnalis juga bikin gak fokus *alasan, he he he.

Dan akhirnya, daripada nganggur, naskahnya diposting saja diblog dengan label: Hasan al Banna. Saya posting dari halaman paling terakhir ke yang paling pertama. Ini daftar isinya dan sekalian ada link-nya. Selamat membaca ^__^


Suara Azan di Tepi Nil

· Islam Adalah Ayahku

· Sepucuk Surat Untuk Imam Musala

· Suara Azan di Tepi Nil

· Khutbah di Mimbar Kosong

Organisasi Pemberantas Kemunkaran

· Terbaik ke-5 di Mesir

· Organisasi Pemberantas Kemunkaran

· Patung Perempuan Telanjang

· Perjanjian Dengan Allah

· Gaya Berpakaian dan Sunnah Rasul

· Topi Torbusy

· Hobi Menulis

· Nonton di Bioskop? Haram!

Revolusi Kedai Kopi

· Revolusi Kedai Kopi

· Hasan al Banna dan Pan Islamisme

· Bersama Thaha Husein

· Malam-Malam di Ismailiyah

· Dakwah yang ‘Immun’

· Dibenci Pemeluk Agama yang ‘Sakit’

· al Hijari dan al Banna

· Khatib Paling Digemari

· Atifatuts Tsulatsa

· Melawan Israel

· Arkanul Baiat

Zuhud dan Sederhana

· Konseptor dan Praktisi

· Buah Kejujuran

· Tegas Menegakkan Kebenaran

· Zuhud dan Sederhana

Mendidik Dengan Cinta

· Prinsip dan Kaidah Pembinaan Rumah Tangga

· Wanita Hebat di Belakang Hasan al Banna

· Perempuan Pilihan Sang Ibu

· Kurikulum Buatan Sang Ayah

· Perpustakaan Warisan

· Mendidik Dengan Cinta

Selamat Jalan Syuhada

Islam Adalah Ayahku

Hasan al Banna lahir di Mahmudiyah, yang terletak 90 kilometer dari Kairo, Mesir. Tepatnya pada 17 Oktober 1906. Ia lahir di tengah-tengah keluarga yang kental nilai keislamannya.

Ayah Hasan al Banna adalah seorang ahli fiqh dan pakar hadis. Ia adalah Syekh Abdurrahman al Banna al Sa’ati. Ia jugalah yang memberikan nama Hasan Al Banna yang memiliki arti Sang Pembangun Kebaikan.

Syekh Abdurrahman al Banna al Sa’ati bukan hanya seorang ulama. Ia juga seorang jurnalis, tepatnya seorang redaktur yang membidangi subyek sirah dalam majalah al Urwat al Wustqa yang dipimpin oleh Syaikh Jamaluddin al Afghani.

Rumah Hasan al Banna dilengkapi dengan sebuah perpustakaan pribadi. Hal ini membuktikan bahwa sang ayah menumbuh suburkan tradisi intelektual di dalam keluarganya. Karena Hasan al Banna adalah sorang anak yang sangat haus akan ilmu, maka hal yang paling disenanginya saat masih kecil salah satunya adalah membaca buku di perpustakaan ayahnya yang besar itu.

Tradisi intelektual inilah yang memotivasi Hasan al Banna untuk menghafal al Qur’an. Syekh Abdurrahman al Banna al Sa’ati juga tidak lelah memotivasi Hasan al Banna kecil untuk menuntaskan hafalannya. Sang ayah selalu mengatakan bahwa hafalan Quran ia sebut sebagai hutang yang harus ditunaikan oleh orang-orang besar. Akhirnya, pada usianya yang ke-14 Hasan al Banna berhasil menjadi hafidz Quran.

Selain itu, di bawah bimbingan sang ayah pula akhirnya membuat Hasan al Banna memiliki jadwal harian yang selalu dipatuhinya. Siang hari selalu dipergunakannya untuk belajar di sekolah. Sepulang sekolah, ia kemudian belajar membuat dan memperbaiki jam dengan orang tuanya hingga sore. Selanjutnya, waktu sore hingga menjelang tidur selalu digunakannya untuk mengulang pelajaran sekolah. Sementara membaca dan mengulang-ulang hafalan al Qur'an ia lakukan selesai shalat Shubuh.

Keberhasilan Imam Hasan al Banna dalam berdakwah tidak lepas dari pendidikan masa kecil beliau di bawah bimbingan ayahanda tercinta. Namun uniknya, Hasan al Banna justru tidak memanggil ‘ayah’ kepada Syekh Abdurrahman al Banna al Sa’ati. Karena baginya, Islam adalah ayahnya. “Islam adalah ayahku satu-satunya,” ucap Hasan al Banna. Hal ini dilakukan karena rasa cintanya terhadap ajaran Islam. Islam-lah yang telah membentuk watak dan kepribadiannya.

Sepucuk Surat untuk Imam Musala

“Dan janganlah kamu mengusir orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.” (QS. al An’aam: 52)

Itulah ayat yang dikutip Hasan al Banna kecil dalam suratnya kepada seorang imam musala. Surat itu ditulisnya setelah kejadian pengusiran yang dilakukan sang imam kepadanya dan teman-teman madrasahnya yang hendak mengambil wudhu di kolam air musala.

Suatu hari Hasan al Banna kecil dan kawan-kawannya saling berlari menuju kolam untuk mengambil wudhu. Sang imam menghalau anak-anak yang berebutan mengambil wudhu dari kolam. Mendengar halauan sang imam sebagian anak menyingkir, meski ada sebagian yang tetap bertahan dengan harapan bisa mengambil wudhu setelah sang imam selesai.

Kecewa dengan pengusiran yang dilakukan sang imam musala, Hasan al Banna menulis surat dan mengutip Surat al An’aam ayat 52 itu. Setelah membacanya, sang imam musala yang bernama Syaikh Muhammad Sa'id, terketuk hatinya. Iapun tidak lagi menghalau anak-anak untuk mengambil air wudhu dari kolam.

Sebagai balasannya, anak-anak pun bekerjasama mengisi air kolam agar sang imam tak kehabisan. Bahkan mereka patungan mengumpulkan uang untuk membeli tikar untuk digunakan di musala.

Suara Azan di Tepi Nil

Semangat keislamannya tak seperti rata-rata anak-anak di usianya. Hasan al Banna kecil gemar puasa sebulan penuh di bulan Rajab dan Sya’ban, selain Ramadhan.

Di usianya yang belia itu pula ia telah memimpin shalat sebagai imam. Selain itu, ia memiliki kesenangan ketika naik ke puncak menara dan meneriakkan azan dengan lantang.

Hasan al Banna kecil juga punya kebiasaan unik. Ia membagi-bagi wilayah Mahmudiyah dan menentukan siapa yang akan menjadi orang yang membangunkan orang-orang untuk Shalat Subuh. Kemudian ia berkeliling mengetuk pintu-pintu rumah tetangganya agar bangun dan menunaikan Shalat Subuh berjamaah.

Tak hanya para tetangga yang ia bangunkan, kadang muazin pun ia yang membangunkannya. Dibenaknya, ia mengatakan, bahwa ia telah berperan membangunkan para muazin yang kini menyeru manusia untuk menunaikan shalat dan menyembah Tuhannya.

Setelah semua orang terbangun, ia pun pergi menyendiri di tepi sungai Nil. Ia duduk di tepiannya sambil mendengar suara azan yang saling bersahut-sahutan dari satu masjid ke masjid lain.

Sungai Nil yang mengalir menjadi saksi tentang rasa bangga dan bahagia yang menyelimuti dada Hasan al Banna. Kebahagiaannya itu semakin bertambah ketika kakinya melangkah ke dalam masjid dan mendapat dirinya sebagai satu-satunya jamaah terkecil yang ada untuk menyembah Allah, Tuhan semesta alam.

Khutbah di Mimbar Kosong

Ahmad Saiful Islam adalah anak kedua Hasan al Banna dan satu-satunya anak laki-laki di antara saudari-saudarinya. Ahmad Saiful Islam adalah seorang advokat sekaligus sekjen sebuah organisasi yang bernama Aliansi Advokat Mesir, serta mantan anggota parlemen Mesir. Ia pernah juga dipenjara selama dua puluh lima tahun oleh penguasa Mesir Gamal Abdul Naser.

Dalam wawancara yang disiarkan di sebuah situs bertajuk ikhwanonline.com, ia menceritakan bahwa ayahnya ketika masih kecil pernah diduga hilang selepas sholat Jumat. Keluarga mencari Hasan al Banna tapi upaya itu tak berhasil. Ayahku Hasan al Banna tetap tidak bisa ditemukan.

Akhirnya, ada salah seorang keluarga yang menyarankan agar mencoba membuka pintu masjid dan melihat-lihat ruangan masjid, siapa tahu Hasan al Banna ada disana. Ternyata benar, mereka mendapatkan Hasan al Banna ada di mimbar masjid. Saat ditemukan, ia sedang khutbah di mimbar masjid yang kosong dari jamaah shalat setelah usai shalat jum’at. Hasan al Banna rupanya ketika itu meniru sang ayah Syaikh Ahmad Abdurrahman al Banna, yang sebelumnya menjadi khatib di masjid itu saat shalat jum’at.

Peristiwa ini dianggap Ahmad Saiful Islam seolah menjadi bagian dari persiapan Allah swt, kepada sang ayah, untuk menjadi orang yang memperjuangkan dakwah Islamiyah. Ahmad Saiful Islam juga ingat, suatu saat ayahnya menyampaikan khutbah di tahun 1946, dalam rangka memperingati wafatnya sosok pemimpin Musthtafa Kamil yang juga sebagai kader al Ikhwan al Muslimun.

Ahmad Saiful Islam menceritakan, saat itu sang ayah mengatakan, “Pemimpin itu ada tiga kategori: Pemimpin yang mencetak dirinya, pemimpin yang diciptakan oleh zuruuf (kondisi), dan pemimpin yang diciptakan oleh Allah swt.” Dan Menurut Ahmad Saiful Islam, ia adalah kategori pemimpin yang ketiga. Hasan al Banna adalah pemimpin yang diciptakan Allah swt.

Terbaik ke-5 di Mesir

Hasan al Banna kecil sangat cerdas. Meski sibuk dengan urusan dakwah, ia tak pernah ketinggalan dalam pelajaran. Buktinya, pada usia yang ke-16, ia telah lulus dari jenjang setingkat SMU dengan predikat luas biasa. Ia menjadi siswa lulusan terbaik pertama di sekolahnya dan terbaik kelima dari seluruh Mesir.

Organisasi Pemberantas Kemunkaran

Hasan al Banna masih duduk dibangku sekolah i’dadiyah, atau setingkat Sekolah Menengah Pertama di Indonesia. Pada usia yang masih belia itu, Hasan al Banna sudah memulai karirnya sebagai seorang juru dakwah yang menyerukan amar ma’ruf nahi munkar. Ia mendirikan sebuah organisasi yang ia beri nama Muharabah al Munkarat atau Organisasi Pemberantas Kemunkaran.

Sulung dari lima bersaudara yang kelimanya laki-laki ini menulis naskah proklamasi. Ia menulis dengan tangannya sendiri. Naskah proklamasi ini diantaranya berisi seruannya yang melarang laki-laki memakai cincin emas di jarinya dan juga tidak memakai sutra.

Naskah proklamasi itu diperbanyak dengan tulisan tangan dan dibagi-bagikannya kepada orang-orang di seluruh penjuru kota. Ia juga menempelkannya di pintu-pintu rumah besar.

Ia juga tidak ragu untuk menyuarakan kebenaran kepada para pejabat negara. Bahkan dengan menggunakan nama samaran, ia kerap menulis surat ke pejabat-pejabat terkenal. Ia menyerukan kebaikan dan melarang perbuatan munkar.

Di sekolah ini, Hasan al Banna bersama teman-temannya juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan yang dinamakan Perkumpulan Akhlaq Mulia. Ide ini diusulkan oleh guru matematikanya yang bernama Muhammad Afandi Abdul Khaliq. Dari namanya saja kita sudah tahu kalau perkumpulan ini menghendaki kemuliaan akhlaq dari para anggotanya. Salah satu aturan klub yang ada di antaranya adalah memberi denda kepada siapapun yang melakukan akhlaq yang tercela, dengan nominal denda dari yang teringan sampai yang terberat. Tergantung seberat apa pelanggaran yang dilakukannya.

Seperti diakui Hasan al Banna, ketekunannya untuk membuat organisasi selalu diilhami oleh cara kerja jam. Setiap komponen saling bekerja sama, saling terikat, saling menentukan. Kalau rusak salah satu komponen, rusaklah jam itu. Komponen jam ada yang terlihat yaitu jarum, itulah pemimpin ataupun humas. Ada juga yang tidak terlihat. Yang tidak terlihat itu umumnya anggota dan kelompok think tank (pemikir). “Organisasi Islam harusnya seperti itu,” menurut Hasan al Banna.

Saat itu Mesir juga sedang berada di bawah penjajahan Inggris. Kerusakan imbas dari sebuah penjajahan telah meninggalkan jejaknya dimana-mana. Keadaan ini membuat seluruh penduduk Mesir gelisah.

Begitu juga dengan Hasan al Banna kecil. Iapun berpikir untuk ikut melakukan perlawanan. Maka pada 1919 – yang saat itu ia baru berusia 13 tahun – iapun ikut bergabung dalam sebuah demonstrasi besar untuk menentang penjajahan Inggris.

Patung Perempuan Telanjang

Suatu hari di Mahmudiah, Hasan al Banna berjalan-jalan di tepi sungai Nil. Di sepanjang sungai, khususnya di perlintasan Mahmudiah, ditemukan banyak sekali pembuat kapal layar.

Tiba-tiba ia melihat seorang pembuat kapal yang menggantung patung perempuan telanjang yang terbuat dari kayu di atas tiang kapalnya. Hal itu melukai perasaannya. “Hal ini jelas melanggar moral dan etika. Apalagi di tempat itu banyak sekali perempuan yang pulang dan pergi mengambil air di sungai,” kenangnya.

Jika pemuda lain biasanya akan membiarkan peristiwa itu berlalu begitu saja. maka tidak dengan Hasan al Banna. Ia pun pergi menemui pegawai pemerintahan setempat dan melaporkan hal tersebut pada aparat. Laporannya ditanggapi serius. Bersama seorang aparat keamanan ia pergi menemui pemilik kapal, menegur, dan memintanya untuk menurunkan patung telanjang tersebut saat itu juga.

Keesokan harinya, karena aparat itu merasa kagum kepada Hasan al Banna muda, ia pergi ke sekolah dan menemui kepala sekolahnya. Ia menceritakan dengan penuh kekaguman dan takjub pada sang Hasan al Banna.

Perjanjian dengan Allah

“Aku ingin menjadi seorang penyuluh dan guru, sekaligus. Bahkan, seandainya seluruh waktuku, setiap harinya lebih banyak disita untuk mengajar, aku masih akan menyempatkan diri untuk mengajak para wali murid pada tujuan-tujuan Islam. Sekali-kali menulis, dan dalam kesempatan lain memberikan ceramah serta berbincang-bincang. Dan tentu saja melakukan satu perjalanan atau bertamasya. Untuk memenuhi tugas yang pertama, sebagai penyuluh, aku telah mempersiapkan diri dengan jiwa penuh rasa syukur dan optimisme. Sedangkan untuk tugas kedua, sebagai guru, dengan penuh ketekunan dan pengorbanan. Semuanya ini penting bagi seorang pembaru dan menjadi rahasia keberhasilannya. Alat-alat praktis yang hendaknya dimiliki seorang pembaru adalah masa belajar yang tidak sebentar, pengetahuan tentang mereka yang memiliki idealisme Islam dan mereka yang bersimpati kepadanya. Tubuh yang biasa menghadapi kekasaran walaupun kecil dan tidak asing lagi menghadapi kekerasan meski begitu lembut tubuh itu. Dan seluruh jiwa yang kuserahkan kepada Allah. Inilah perjanjian yang kubuat antara Allah dan diriku yang kutuangkan di sini, yang kuminta agar disaksikan oleh guruku, yang tak dapat dipengaruhi oleh apapun juga, kecuali hati nuraniku, dan yang bersifat gaib kecuali di hadapan Allah. Dan barangsiapa menepati janjinya di depan Allah, maka pahala yang besar akan menjadi miliknya.”

Itulah yang ditulis Hasan al Banna ketika menjelang kelulusan para mahasiswa diminta menuliskan rencana mereka selepas kuliah. Ia memiliki konsep sendiri yang jauh lebih matang dari teman-temannya. Ia ingin bermanfaat bagi manusia lain.

Perjanjian dengan Allah ini dibuat oleh Hasan al Banna, di depan dan disaksikan para gurunya. Perjanjian yang jelas tidak ringan untuk seorang pemuda yang baru berusia 21 tahun. Dan setelah itu, ia pun berangkat memenuhi janjinya, menjadi guru dan penyuluh di wilayah Ismailiyah.

Gaya Berpakaian dan Sunnah Rasul

Hasan al Banna kecil masih duduk di bangku sekolah mu’alimin. Namun secara sadar Hasan al Banna memilih cara berpakaian yang tidak lazim untuk anak seumurannya. Ia mengenakan baju panjang jubah, bersurban putih dan hanya memakai sandal seperti sandal yang dipakai orang-orang saat berhaji dalam balutan ihram. Dengan bangga ia mengatakan, hendak mengikut sunnah, ingin seperti nabi.

Suatu pagi, ada seorang penilik sekolah yang juga kepala bidang pengajaran, hadir di kantor kepala sekolah. Melihat Hasan al Banna masuk ruangan, ia menatap Hasan al Banna dari ujung kepala sampai ke kaki, lalu naik lagi dari kaki sampai ke surban Hasan al Banna yang putih.

Lalu, ia bertanya, mengapa Hasan al Banna berpakaian seperti itu. Dengan yakin, Hasan al Banna menjawab bahwa dirinya ingin mengamalkan sunnah cara berpakaian seperti nabi. Tetapi, jawaban itu justru melahirkan debat dari keduanya.

Penilik Sekolah: “Apakah kamu sudah mengamalkan semua sunnah nabi sehingga tidak ada lagi amalan sunnah yang tersisa kecuali cara berpakaian seperti ini?”

Hasan al Banna: “Belum, bahkan saya adalah orang sangat miskin dalam personalan amalan sunnah. Tapi pak, apa yang bisa saya kerjakan, maka akan saya kerjakan.”

Hasan al Banna dituduh, dengan cara berpakaian seperti ini, berarti ia telah melanggar aturan sekolah. Ia pun menolak dirinya disebut telah melanggar peraturan sekolah.

Hasan al Banna: “Mengapa, pak? Peraturan sekolah menyangkut masalah ketekunan dan kedisiplinan. Saya belum pernah absen dan belum pernah menyimpang dari peraturan sekolah.”

Sang guru tetap kukuh dengan pandangannya dan tak bisa menerima cara berpakaian Hasan al Banna. Ia mengatakan, jika departemen pendidikan mengetahui cara berpakaian Hasan al Banna, niscaya departemen pendidikan tidak akan mengangkatnya menjadi guru karena murid-murid akan merasa aneh dengan cara berpakaian gurunya. Hasan al Banna pun menjawabnya dengan tegas.

Hasan al Banna: “Itu urusan nanti, toh waktunya belum tiba. Ketika waktunya nanti tiba, direktorat mempunyai kebebasan, saya juga mempunyai kebebasan. Dan rezeki bukan di tangan direktorat pendidikan, tapi di tangan Allah.”

Akhirnya kepala sekolah pun turun tangan mendamaikan situasi pagi yang memberikan kemenangan pada Hasan al Banna. Cara berpakaian seperti itu, terus digunakannya sampai menjelang ia lulus dari Universitas Darul Ulum di Kairo, Mesir.

Topi Torbusy

Ujian praktik di Universitas Darul Ulum pun tiba. Seluruh siswa menggunakan topi torbusy, penutup kepala khas Mesir. Sedangkan yang menggunakan surban imamah, tinggal dua orang. Mereka adalah bukan Hasan al Banna dan seorang temannya, bernama Ibrahim al Wara.

Kemudian, mereka dipanggil oleh kepala universitas, Muhammad Bek asy Syahid. Ia menyarankan agar keduanya pergi ke madrasah untuk praktik mengajar tidak mengenakan pakaian yang berbeda dengan yang lainnya. Karena rasa hormat kepada sang guru, atas kebaikan dan kesalehannya, Hasan al Banna dan Ibrahim al Wara akhirnya menukar pakaian jubah mereka dengan setelan dan mengganti surban imamah mereka dengan topi torbusy yang tinggi di kepala.

Hobi Menulis

Seandainya saya menjadi selain manusia

Saya memilih menjadi bulan

Yang bersinar di saat malam purnama

Begitulah Hasan al Banna menumpahkan keinginannya dalam baik-bait puisi. Sifat lembutnya sangat terlihat lewat untaian kata-kata yang dipilihnya dalam setiap tulisan yang dihasilkannya.

Menulis adalah salah satu dunianya. Maka tak heran jika ia mampu menumpahkan perasaannya lewat bait-bait syair, lewat kata-kata yang disusun indah, esai-esai panjang yang menggambarkan pikiran dan rencananya, juga catatan-catatan kecil yang menggugah.

Pikiran dan perasaannya dapat ia tuangkan dengan sangat kuat pada tulisan. Suatu ketika, ia pernah kehilangan seorang sahabat karib yang bernama Farid Bek. Mendengar kematian sang sahabat, Hasan al Banna menangis dan melelehkan air mata cinta. Iapun mencipta puisi bagi Farid Bek. Katanya:

Hai Farid,

tidurlah dengan aman dan iman

Hai Farid,

janganlah kau khawatir tentang negeri ini

Hai Farid,

seluruh negeri akan menebusmu nanti

“Apapun alasan yang ada, saya memang suka menulis dan saya akan tetap memenuhi keinginan saya untuk tetap menulis. Jika apa yang saya tulis adalah sesuatu yang benar, Alhamdulillah. Namun jika tidak, maka astaghfirullah. Tetapi, saya yakin bahwa kalaupun tulisan ini tidak bermanfaat, insya Allah tetap tidak mendatangkan mudharat. Namun, kebaikanlah yang saya inginkan, dan Allah sajalah yang dapat memberi taufiq,” ujar Hasan al Banna mengenai kegemaran menulisnya.

Adalah Syekh Ahmad Jusuf Najati, guru mengarang yang sering memotivasi Hasan al Banna untuk mengarang dan mempelajari sastra. Tapi kadang sang guru juga mengalami kerepotan karenanya. Saking termotivasinya mereka, mereka menulis karangan dengan sangat panjang.

Suatu waktu sang guru mengeluhkan tulisan-tulisan yang terlampau panjang buatan murid-muridnya itu. “Kalian harus efisien, karena sastra itu simpel. Demi Allah saya tidak mengagung-agungkan karang mengarang, namun juga tidak membuangnya,” ujar sang guru yang disambut tawa para murid, termasuk Hasan al Banna yang suka menulis berpanjang ria.

Tulisan-tulisan Hasan al Banna termasuk yang mudah dipahami oleh banyak kalangan pembaca. Seluruh buku-buku yang ditulisnya mudah dipahami oleh pembaca awam, karena bahasa yang dipilihnya tidaklah melangit karena terlalu ilmiahnya. Tulisan-tulisan Hasan al Banna juga menarik banyak peneliti untuk dibedah isi pemikiran di dalamnya. Namun ketika ditanya mengapa orang dengan ilmu seluas dia sedikit sekali menulis buku, ia menjawab, “Cita-cita saya bukan membuat buku, tapi mencetak manusia.”

Nonton di Bioskop? Haram!

Tsana adalah putri ketiga Hasan al Banna. Ia adalah seorang Dosen Urusan Pengaturan Rumah Tangga, dan mengajar di sejumlah universitas di Saudi Arabia. Saat Hasan al Banna meninggal, Tsana masih berusia 11 tahun.

Ia berkisah tentang betapa sang kakek dari ibunya yang begitu mencintai ayahnya (Hasan al Banna). Waktu itu ibunya belum menikah dengan Hasan al Banna, dan ada laki-laki lain yang tertarik kepada ibunya. Laki-laki itupun mengajak ibunya pergi ke bioskop.

Khawatir dengan sang putri yang diajak nonton ke bioskop, sang kakek langsung menemui Hasan al Banna. Ia meminta Hasan al Banna untuk menyertai putrinya ke bioskop. Bioskop dengan segala fasilitas modern yang diberikan di dalamnya, dimana-mana tetap saja akan meninggalkan imej negatif bagi sepasang insan yang bukan muhrimnya ketika melangkahkan kaki-kakinya kesana.

Tsana kemudian menceritakan, sang kakek lantas menanyakan hukum pergi menonton film ke bioskop kepada ayahnya. “Ayahku menerangkan bahwa itu haram. Setelah kakek mengetahui orang tersebut meminta sesuatu yang dilarang, maka kakek meminta orang itu pergi dan mengatakan, ‘Aku tidak punya putri untuk dinikahkan olehmu’.”

Revolusi Kedai Kopi

Geliatnya dimulai dari kedai kopi. Ia memulai perjuangannya dengan mengumpulkan beberapa sahabat. Awalnya hanya terkumpul lima sampai enam orang saja. Menganalisa keadaan, berdakwah dari pintu ke pintu, dari kedai minum, dan tempat makan.

Mulanya, ajakan Hasan al Banna pada sahabat-sahabatnya untuk berceramah di kedai-kedai kopi dipandang aneh. Kepada Hasan al Banna, mereka berkata, “Para pemilik kedai kopi tentu tidak akan mengizinkan dan menolaknya. Mereka pasti menolaknya karena mengganggu pekerjaan mereka. Di samping itu, kebanyak pengunjung kedai kopi adalah orang-orang yang memikirkan apa yang mereka nikmati saja. Bagaimana kita bisa berbicara tentang agama pada orang-orang yang hanya memikirkan kesenangan duniawi seperti mereka?!”

Namun Hasan al Banna memiliki pemikiran lain. Menurutnya, para pengunjung kedai kopi itu dalam kondisi siap mendengarkan ceramah dari para aktivis masjid sekalipun. Perdebatan pun terjadi di antara mereka, sampai Hasan al Banna mengatakan, “Bagaimana kalau hasil dari percobaan ini kita jadikan hakim dari perdebatan yang kita lakukan.”

Tidak ada yang tidak mungkin. Karena percobaan tersebut berhasil. Bayangan kegagalan yang menghantui hanyalah ketakutan sementara ketika sebuah inovasi sedang diujikan kemampuannya. Namun dibalik ini semua, sudah tentu ada Allah dibelakangnya. Sejak itu, gerakan yang ia beri nama Ikhwanul Muslimin ini mulai mendapat tempat dalam masyarakat yang memang haus akan sentuhan Islam. Mereka menggeliat. Pelan tapi pasti.

Kegiatan-kegiatan Ikhwanul Muslimin antara lain meningkatkan kualitas akhlak dan ibadah anggotanya. Juga banyak kegiatan-kegiatan sosial yang dilaksanakannya. Kegiatan-kegiatannya paling tidak sudah membuahkan hasil. Ikhwanul Muslimin lama kelamaan mempunyai 100 anggota yang dipilih sendiri oleh Hasan al Banna.

Pada tahun 1930 cabang-cabang Ikhwanul Muslimin berdiri di tiap wilayah di Mesir. Satu dekade kemudian Ikhwanul Muslimin mempunyai 500.000 anggota aktif dan banyak simpatisan tersebar di seluruh Mesir. Ikhwanul Muslimin makin berkembang setelah pusatnya dipindahkan Hasan al Banna ke Kairo pada 1932.

Cara Hasan al Banna dalam mengembangkan organisasi yang terinspirasi oleh sebuah alat penunjuk waktu yang bernama jam semakin memajukan Ikhwanul Muslimin. Oleh rakyat Mesir anggota-anggota Ikhwanul Muslimin dijuluki sufi di malam hari dan singa di siang hari. Keberadaan Ikhwanul Muslimin dirasakan betul manfaatnya oleh rakyat Mesir. Pengusaha-pengusaha asal Ikhwanul Muslimin banyak membuka lapangan kerja. Klinik-klinik murah bahkan disediakan untuk rakyat miskin. Sekolah-sekolah berkualitas juga didirikan.

Isu-isu yang diangkat Hasan al Banna melalui Ikhwanul Muslimin adalah penentangan terhadap penjajahan, kesehatan masyarakat, kebijakan pendidikan, pengurusan sumber daya alam, ketidakadilan sosial, dan penentangan terhadap Marxisme. Ikhwanul Muslimin juga menyuarakan tentang kebangkitan nasionalisme Arab, dan mengusahakan penyelesaian mengenai kelemahan dunia Islam. Bahkan Ikhwanul Muslimin juga termasuk yang concern terhadap berkembangnya konflik di Palestina.

Dakwah Hasan al Banna juga bersifat internasional. Bahkan segera setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Hasan al Banna dan Ikhwanul Muslimin termasuk yang segera menyatakan dukungannya. Kontak dengan tokoh ulama Indonesia pun dijalin oleh Hasan al Banna. Tercatat M. Natsir pernah berpidato didepan rapat Ikhwanul Muslimin. Di kemudian hari M. Natsir menjadi PM Indonesia ketika RIS berubah kembali menjadi negara kesatuan.

Hasan al Banna dan Pan Islamisme

Hasan al Banna remaja sudah berusia 16 tahun, dan menjadi mahasiswa di Universitas Darul Ulum. Saat itu kekuasaan Inggris di Mesir pun kian memuncak. Kerusakan moral pun mulai terjadi dimana-mana. Apalagi saat ia menginjakkan kaki di Kairo. Ia terkejut ketika disana ia menemukan bahwa keburukan moral dan akhlak adalah suatu hal wajar yang biasa dilakukan.

Tiba-tiba semuanya berkiblat ke Barat. Pada saat yang sama, terbitlah sebuah buku karangan Syekh Ali Abdurraziq berjudul Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan. Sebuah buku yang mendorong Kaum Muslim untuk terjun dan menjalankan kehidupan sekuler, baik secara sosial dan juga pemerintahan. Itu semua membuat Hasan al Banna terluka.

Di akhir-akhir masa kuliahnya, iapun bergabung dengan jamaah pengajian Rasyid Ridha yang mengobarkan semangat Pan Islamisme milik Jamaluddin al Afghani. Pan Islamisme di Mesir sendiri idenya ditangkap oleh seorang ulama besar bernama Muhammad Abduh. Muhammad Abduh – yang juga guru dari Rasyid Ridha – berusaha menyampaikan sebab utama kemunduran negeri-negeri Muslim adalah penjajahan yang dilakukan oleh orang-orang Barat. Karenanya, Kaum Muslim harus bersatu dan melawan penjajahan.

Muhammad Abduh tidak saja menerima dan memperjuangkan pikiran Jamaluddin al Afghani, tapi ia juga melengkapi dan memperbaiki. Menurut Muhammad Abduh perjuangan di jalur politik saja, tidaklah cukup dan memadai. Ia harus ditopang penuh dengan perbaikan dan pendidikan di kalangan umat. Maka Muhammad Abduh pun melakukan usaha pendidikan dan pencerdasan umat Islam, khususnya di kalangan muda.

Didalam gerakan inilah Hasan al Banna bergabung menjadi salah satu murid Rasyid Ridha. Menggali ilmu, sekaligus mempersiapkan cikal bakal Ikhwanul Muslimin.

Bersama Thaha Husein

Saat itu Islam sedang diserang oleh orang-orang yang mengatakan dirinya berilmu. Salah satunya adalah Thaha Husein. Ia menulis syair-syair zaman pra Islam yang berisi gugatan-gugatan yang meragukan kemuliaan Islam.

Suatu ketika saat Hasan al Banna sudah menjadi pemimpin Ikhwanul Muslimin, sebuah bedah buku diselenggarakan untuk mengupas karya-karya Thaha Husein. Hasan al Banna tampil ke depan untuk menjadi pembedahnya.

Mendengar dan mengetahui Hasan al Banna yang membedah bukunya, Thaha Husein meminta agar panitia memberikan tempat khusus untuk dirinya agar ia bisa mengikuti dengan cermat acara tersebut. Ia juga meminta agar panitia memberikan waktu khusus agar ia bisa menemui Hasan al Banna di kantor Ikhwanul Muslimin atau di rumahnya.

Kesempatan itu pun tiba. Thaha Husein bertemu dengan Hasan al Banna. Hal pertama kali yang dilakukan Thaha Husein pada orang yang mengritik dan membedah bukunya adalah, ia merangkul Hasan al Banna dengan perasaan penuh cinta yang tulus ikhlas.

“Saya banyak mendengar orang-orang yang membedah buku saya. Namun, mereka tidak membicarakan secara ilmiah dan obyektif, tapi mereka malah membicarakan cacat kehidupan pribadi saya. Andalah orang yang telah membawa amanah ilmu dengan jujur, obyektif dan tajam dan berakhlak mulia. Kalau ada manusia besar di abad ini, Andalah salah seorang di antaranya.” Ujar Thaha Husein memuji Hasan al Banna.

Malam-Malam di Ismailiyah

Umat Islam tak bisa tinggal diam dan berpangku tangan, begitu tekad Hasan al Banna ketika memulai karirnya sebagai guru dan penyuluh di Ismailiyah. Kota dagang yang dipenuhi dengan kedai makanan, minuman, tempat hiburan malam dan banyak lagi simbol-simbol keburukan yang mencuat.

Masa-masa ini membuat jiwanya tercabik-cabik memikirkan Islam dan kaum Muslimin. “Hanya Allah yang tahu tentang malam-malam yang kami habiskan untuk mengkaji kondisi dan permasalahan umat, tentang apa yang menimpa pada setiap aspek kehidupannya, dan kami berusaha mengetahui penyakit-penyakit itu dan mencoba mencari obatnya. Memikirkan cara pencegahannya. Sehingga kami semua terhanyut dalam mengkaji semua peristiwa yang terjadi. Renungan dan kajian itu akhirnya membawa kami pada tangisan yang pedih,” ujar Hasan al Banna saat mengenang awal mula perjuangannya di Ismailiyah.

Dakwah yang ‘Immun’

Dakwah yang ‘immun’, bukan yang ‘steril’. Begitulah kurang lebih yang ingin disampaikan oleh Hasan al Banna kepada para mahasiswa ikhwan pada Fakultas Hukum dan Ekonomi.

Salah satu tokoh penting ikhwan, Syekh Muhammad al Ghazali yang menuturkan kisah ini. Menurutnya, suatu ketika ada seseorang yang menasehati para mahasiswa tersebut untuk keluar dari perkuliahan. Karena materi-materi yang disampaikan dalam perkuliahan di kedua fakultas tersebut dianggap hanyalah teori buatan manusia dan hanya mengajarkan praktik-praktik riba.

Hasan al Banna pun mempertanyakan kenapa mereka meninggalkan perkuliahan. Menurutnya, meninggalkan perkuliahan sama saja dengan memudharatkan Islam dan umatnya. “Niatkanlah dalam mempelajarinya untuk menegakkan hukum Allah dan membangun fondasi perekonomian yang benar,” ujar Hasan al Banna, seperti dikisahkan Syekh Muhammad al Ghazali.

Dibenci Pemeluk Agama yang ‘Sakit’

Salah satu tokoh penting ikhwan, Syekh Muhammad al Ghazali mengisahkan, Hasan al Banna dibenci oleh para pemeluk agama yang ‘sakit’.Sampai-sampai Syekh Muhammad al Ghazali menyebut mereka sebagai orang yang kurang cerdas, keras hati, cepat menuduh, dan keras permusuhannya.

“Sesungguhnya, mereka itu belum mengenal Allah dengan hujjah yang nyata, yang dapat mentadabburi tanda-tanda kekuasan-Nya pada diri mereka dan di segenap ufuk. Mereka belum memahami shalat sebagai ibadah yang mendatangkan rahmat dari Sang Penegak langit dan bumi. Mereka itu hanya beriman, shalat, dan membaca al Qur’an sebatas taklid saja. Sedangkan, taklid itu tidak memecahkan masalah, juga tidak membukakan ide.” Demikian Syekh Muhammad al Ghazali menggambarkan orang-orang yang membenci dakwah Hasan al Banna.

al Hijari dan al Banna

Namanya banna, yang artinya tukang bangunan (beberapa menterjemahkannya sebagai pembangunan). Pernah suatu ketika Hasan al Banna mengisi ceramah di Ikhwanul Muslimin Cabang Muharam Bek. Kemudian datanglah ikhwan dari Cabang al Hijari di daerah Ra’su at-Tin dalam jumlah yang banyak. Mereka meneriakkan yel-yel, “al Hijari alam kepadamu, ya al Banna.” Di tengah ceramahnya, ia berhenti dan menjawabnya dengan berkata, “Siapa lagi bagi al Hijari selain al Banna?” Yang artinya, siapa lagi yang akan menggunakan alat potong batu kecuali tukang bangunan.