Senin, 31 Mei 2010

Jurnalisme Jejaring Sosial

Siapa yang tak tahu Twitter? Situs jejaring sosial dan microblogging yang dibuat Jack Dorsey pada 2006 silam dan hanya memiliki 140 karakter saja pada pesan-pesannya ini marak digunakan berbagai kalangan. Mulai dari yang bukan siapa-siapa sampai Presiden memiliki akun di Twitter.

Begitu pula dengan para politisi, public figure, bahkan petinggi media massa nasional pun ramai memenuhi jagad Twitter. Perang pemikiran dan opini pun setiap hari memenuhi timeline orang-orang yang menjadi follower-nya. Ini adalah kredit bagi mereka. Sekali tweet (melansir pesan), maka pesan akan menyebar ke ratusan sampai puluhan ribu pengikutnya. Baik hanya pesan biasa, maupun pesan ideologi.

Perkembangan social media seperti Twitter ini tidak serta merta diabaikan oleh para jurnalis dan pebisnis media. Karena kehadirannya, selain bisa digunakan untuk meningkatkan hits pada website-nya dengan mentautkan alamat website di tweet-nya, juga bisa digunakan sebagai sarana jurnalistik.

Seorang blogger Amerika, Robert Scoble pernah menulis pada 2007 tentang bagaimana pengguna Twitter melakukan reportase singkat (breaking news) mengenai gempa bumi di Mexico City beberapa menit sebelum dilakukan USGS (United State Geological Survey). Begitu juga dengan blogger Zoli Erdos menyebutkan bagaimana pada Maret 2008, pengguna Twitter telah berhasil memimpin isu organisasi media internasional dalam melaporkan gempa bumi di Cina dan Jepang.

Perdebatan mengenai apakah Twitter bisa digunakan sebagai alat jurnalistik atau tidak sudah mengemuka sejak 2008. Karena pada saat itu, banyak pihak yang memprediksi bahwa kebangkitan Twitter merupakan diskursus yang serius dan bisa dijadikan alat bagi perkembangan jurnalistik mainstream. Seperti alat untuk breaking news, melakukan wawancara, quality assurance (jaminan kualitas) dan mempromosikan berita (Marshall Kirkpatrick, How We Use Twitter for Journalism, 2008).

Sedangkan Vadim Lavrusik dari Universitas Columbia, melengkapi kegunaan Twitter tadi dengan beberapa hal. Yaitu, sebagai alat untuk riset berita, mencari dan mendaftar narasumber, mengintegrasikan blog dan situs, membangun komunitas, dan personal brand. Mungkin hal-hal inilah yang akhirnya membuat The New York Times menunjuk Jennifer Preston sebagai social media editor (redaktur media sosial). Bahkan pada 2008 istilah Jurnalisme Twitter pun muncul ke permukaan.

Di tengah maraknya jejaring sosial yang digunakan sebagai alat jurnalistik, kantor berita raksasa Reuters malah membuat kebijakan berbeda. Awal Maret 2010, Reuters mengeluarkan kebijakan social media bagi para jurnalisnya. Kebijakan tersebut dikeluarkan dalam rangka menjaga akurasi berita agar bebas dari bias, independen, serta menjaga integritas perusahaan. Kesemuanya dirangkum dalam Handbook of Journalism: Reporting From The Internet yang dirilis Reuters melalui internet.

Dalam handbook-nya, Reuters mendukung perkembangan jurnalisme dengan berbagai bentuknya, termasuk dalam ranah pelaporan menggunakan teknologi komputer. Namun, mereka menggaris-bawahi masalah sikap ilegal yang mungkin dilakukan oleh para jurnalisnya.

Jurnalis Reuters wajib menunjukkan identitasnya sebagai wartawan Reuters dan berlaku sebagaimana wartawan Reuters yang menjaga etika jurnalistik dan etika perusahaan tempat. Ada integralitas antara sikap para jurnalis dengan citra perusahaan. Inilah mengapa Reuters menyarankan para jurnalis untuk memiliki dua akun social media yang berbeda sesuai penggunaannya; akun profesional dan akun pribadi.

Untuk membuka akun profesional pun, para jurnalis diwajibkan untuk meminta ijin dan arahan dari para manajernya. Maka tidak mengherankan bila di Twitter, para jurnalisnya mencantumkan ‘Reuters’ pada namanya. Seperti: Leah_Reuters, kevinfreuters, FranklinReuters, ReutersSteve dan FelixReuters. Perlu dicatat, para jurnalis Reuters yang memiliki akun di social media tidak dibenarkan untuk beropini dan bersikap sesukanya, serta harus sejalan dengan kebijakan Reuters.

Reuters juga mengatur jurnalisnya, agar lebih berhati-hati ketika menggunakan social media dalam melakukan tugas jurnalistiknya. Mereka tidak melarang para jurnalisnya melakukan wawancara ataupun berinteraksi dengan para nara sumbernya melalui social media, namun syarat proses cek dan ricek harus tetap dilakukan, agar tidak terjadi bias.

Hubungan antara breaking news, social media dan penyajian berita konvensional memang sulit untuk ditentukan. Karena di satu sisi, media massa tidak mungkin membatasi kemampuan awak redaksinya untuk mengumpulkan dan melaporkan berita dengan media apapun. Namun di sisi lain, integritas dari berita itu sendiri harus tetap dijaga.

Social media memungkinkan seseorang mendapatkan berita secepat hitungan detik. Namun, tetap ada resikonya. Sebab berita yang mungkin beredar di social media bersifat one-sided (satu sisi) dan harus dilakukan cek dan ricek, meski yang berkomentar adalah seorang tokoh nasional atau pejabat negara. Karena, keterlibatan mereka secara langsung dalam event apapun dan melansirnya melalui social media hanyalah sebagian kecil dari kebenaran dan bisa jadi bukanlah sesuatu yang merepresentasi kondisi yang sebenarnya terjadi. Sehingga tidak cukup kuat kebenarannya untuk dikutip dalam sebuah laporan pemberitaan. Mungkin inilah yang dikhawatirkan Reuters.

Senin, 17 Mei 2010

Independensi

Tiga Mei lalu adalah World Press Freedom Day (Hari Kebebasan Pers Dunia). Penetapan tanggal ini bertepatan juga dengan peringatan Deklarasi Windhoek di Namibia pada 3 Mei 1991. Sebuah gerakan yang dilakukan sejumlah jurnalis surat kabar di Afrika yang menginginkan prinsip pers bebas diterapkan.

Peringatan hari kemerdekaan pers dunia ini ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam rangka meningkatkan kepedulian akan pentingnya kebebasan pers. Serta mengingatkan negara-negara akan tugas mereka untuk menghormati prinsip kebebasan berekspresi pers seperti yang tertuang dalam Article 19 Universal Declaration of Human Rights, yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa batas.”

Namun kebebasan pers itu sendiri belumlah seperti apa yang diidamkan banyak orang. Karena pada kenyataannya, pers sendiri banyak ditunggangi berbagai kepentingan. Yang paling mencolok adalah perihal penunggangan pers oleh berbagai bisnis yang dimiliki si stake holder dari media yang bersangkutan. Hingga tidak mengherankan jika Altschull (1984) berpendapat bahwa isi media selalu merefleksikan ideologi (kepentingan) orang yang mendanainya.

Altschull mengkategorisasi ini menjadi empat. Pertama, di dalam pola formal media dikendalikan oleh negara (negara-negara komunis). Kedua, di dalam pola komersial media merefleksikan ideologi para pengiklan dan pemilik media. Ketiga, di bawah pola kepentingan isi media merefleksikan ideologi kelompok finansial yang membiayai media (partai politik atau kelompok keagamaan). Keempat, di dalam pola informal isi media merefleksikan tujuan para individu kontributor yang ingin mempromosikan pandangan-pandangan mereka.

Kebutuhan sebuah media akan dana agar media yang bersangkutan tetap bisa bernafas memang tidak bisa dinafikkan. Namun yang kemudian menjadi persoalan klasiknya adalah bagaimana menyelaraskan antara semangat independensi jurnalisme dengan para penyandang dana.

Ide pemisahan ini pernah disampaikan Henry Luce saat memimpin Time. Menurutnya, diperlukan pemisahan antara gereja (redaksi) dan negara (bisnis) untuk menciptakan sebenar-benarnya independensi. Upaya sterilisasi redaksi ini pun dilakukan Robert R McCormick. Pada awal abad ke-20 ia membangun dua elevator di sisi gedung yang terpisah di bagian dalam Tribune Tower. Ekstremnya, ia tidak ingin para pencari iklan berada satu elevator dengan para reporternya.

Namun nyatanya ide pemisahan redaksi dari bisnis yang diistilahkan Bill Kovach dengan pagar api (firewall) ini tidak selamanya baik, apalagi tidak ditangani dengan manajemen yang baik pula. Seperti skandal yang terjadi antara Los Angeles Times dengan gelanggang olahraga Staples Center (1999). Surat kabar terbesar keempat di Amerika pada masa itu merencanakan membagi keuntungan dari penjualan iklannya dengan gelanggang tersebut dalam sebuah edisi yang menurunkan laporan utama pembukaan gelanggang tersebut. Ini dilakukan sebagai imbalan karena pihak Staples telah membantu proses penjualannya. Pihak redaksi tidak mengetahui hal ini.

Setelah bisnis ini akhirnya tercium, berpuluh telepon masuk ke dapur redaksi. Pihak redaksi kecewa atas bisnis yang berlaku ini, di sisi lain, kepercayaan masyarakat kepada media ini mulai goyah. “Orang-orang mempertanyakan banyak hal. Mereka bertanya apakah para pengiklan bisa mempengaruhi tulisan kami. Mereka mempertanyakan integritas kami. Yang merisaukan saya adalah pertanyaan apakah laporan kami jujur: ‘Apakah perusahaan ini dan itu punya kaitan?’” ujar penjaga rubrik surat pembaca LA Times Narda Zacchino saat diwawancarai Sharon Waxman dari Washington Post seperti dikutip dari Kovach (2001).

Sedangkan di Indonesia, pernah terjadi pada sebuah majalah berita berskala nasional pada medio 2006. Tanggal 23 April 2006, majalah tersebut memuat hasil investigasi tentang kejanggalan sebuah megaproyek di Kemayoran, Jakarta. Namun pada edisi 30 April 2006, liputan tersebut dimentahkan melalui pemuatan iklan terkait berita investigasi tersebut. Penganuliran pemberitaan melalui iklan ini dianggap tidak lazim oleh berbagai pihak. Karena menurut seorang praktisi hukum pers, Hinca Panjaitan, informasi pada liputan pertama itulah yang menjadi pegangan publik dan majalah yang bersangkutan mestinya memuat uraian redaksi tentang duduk perkara iklan masalah tersebut.

Perdebatan mengenai independensi antara media dengan stake holder-nya dan para pengiklannya memang bukanlah isu baru. Di saat media mulai memasuki ranah kapitalisme, maka tak urung ideologi media pun menjadi taruhannya. Karena tidak menutup kemungkinan berbagai kekuatan kepentingan menunggangi ideologi media yang bersangkutan.

Apapun perdebatannya, Bill Kovach dalam Sembilan Elemen Jurnalisme-nya meyakini, “kerukunan” antara redaksi dan bisnis akan tercipta jika kedua belah pihak setia kepada nilai-nilai profesi jurnalisme sebagai prioritas utama. Meski pada kenyataanya, ini semua ibarat “pertarungan abadi” antara redaksi dan stake holder serta para pengiklannya. Namun, akankah epos kekalahan akan selalu berada di pihak redaksi?

Rabu, 12 Mei 2010

Resensi: Fikih Jurnalistik

Fikih Jurnalistik; Etika dan Kebebasan Pers Menurut Islam


Penulis : Faris Khoirul Anam
Editor : M Nurkholis Ridwan
Cetakan : Pertama, Februari 2009
Penerbit : Pustaka Al-Kautsar
Jalan Cipinang Muara Raya 63, Jakarta Timur, 13420
Telp (021) 8507590, 8506702 Fax. 85912403
e-mail : kautsar@centrin.net.id – redaksi@kautsar.co.id
web : http://kautsar.co.id

Selama ini, dunia jurnalistik selalu dipenuhi teori-teori Eropa dan Barat, sehingga tidak heran kalau jurnalistik di Indonesia juga berkiblat ke sana. Jurnalistik yang menjadi turunan dari Ilmu Komunikasi ini menurut Littlejohn bisa dibilang sebagai disiplin ilmu baru. Namun tidak dalam jurnalistik Islam yang sudah eksis sejak tradisi Iqra diturunkan Allah melalui Jibril kepada rasul.

Begitu pula dengan etika-etikanya yang kemudian berkembang melalui contoh-contoh kasus dalam masa nabi dulu. Misalnya aturan berghibah, hukum menghina nabi dan istri nabi, hukum menghina agama, hukum menghina pemimpin, yang kesemuanya kadang diabaikan dalam dunia jurnalistik dewasa ini.

Beberapa waktu lalu juga ada buku karya Suf Kasman yang bertajuk Jurnalisme Universal. Di dalamnya membahas tentang penelusuran prinsip-prinsip dakwah bil qalam (dakwah dengan pena) dalam al Quran. Meski di dalamnya juga membandingkan antara kode etik jurnalistik dengan kode etik jurnalistik islami, namun buku ini lebih cenderung memaparkan secara teori. Perbedaannya dengan Fikih Jurnalistik karya Faris sahabat saya ini (hehe), lebih menonjolkan sisi praktis yang bisa digunakan sebagai pegangan bagi para jurnalis muslim.

Buku Fikih Jurnalistik yang dieditori oleh mantan pemimpin redaksi Sabili M Nurkholis Ridwan (yang juga mantan pemred saya dan Faris ketika masih di Sabili dulu, hehe), selain memaparkan pentingnya dakwah bil qalam bagi muslimin juga memberitahu batasan ‘halal-haram’ dalam dunia jurnalistik. Setidaknya itu inti endorsement yang diberikan Hepi Andi Bastoni (mantan redaktur pelaksana di Sabili yang sekarang pemred di al-Mujtama’ Indonesia) di covernya.

Faris lahir di Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur 6 Juni 1981. Ia meraih gelar S1 di bidang Syari’ah wa al-Qnun (Syariah dan Hukum) dari Universitas Al-Ahgaff Tarim, Hadhramaut, Yaman. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi majalah kampus Al-Fath dan An-Nadwa, majalah milik mahasiswa dan pelajar Indonesia di seluruh Yaman. Pernah juga menjadi penulis lepas di Jawa Pos, Republika, Hidayatullah dan al-Mujtama’. Ia juga pernah menjadi kontributor majalah Forum Keadilan dan menjadi jurnalis di Majalah Sabili sejak November 2006 – Maret 2008. Selain pernah aktif di Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (HIPMI) Yaman sebagai Sekretaris Jenderal, Faris juga pernah Ketua Departemen Pengembangan Nalar Pengurus Cabang Istimewa Nahdhatul Ulama (PCI-NU) Yaman.

Selamatkan Bumi dari Sampah Elektronik

Ketika semua kehidupan berpindah ke sebuah pesawat ruang angkasa dan bumi sudah ditinggalkan manusia selama 700 tahun lamanya, ada sebuah robot yang lupa dimatikan. Ia adalah WALL-E (Waste Allocation Load Loader-Earth Class), sebuah robot pemadat sampah yang mengumpulkan dan memadatkankan sampah lalu menyusunnya. Ia menjadi satu-satunya penghuni bumi yang dengan setia membersihkan bumi dari sampah.

Dalam film animasi buatan Pixar ini, bumi digambarkan penuh dengan sampah yang tidak bisa didaur ulang. Mulai dari pakaian, makanan, besi-besi, beton bangunan sampai alat elektronik menggunung di mana-mana.

Bisa jadi, ini adalah gambaran bumi dalam waktu beberapa ratus tahun lagi. Bahwa electronic waste (sampah elektronik) yang saat ini sedang dipikirkan bagaimana penyelesaiannya sudah mulai memenuhi bumi. Bahkan menurut berbagai hasil penelitian lingkungan hidup, sampah elektronik ini telah menyebabkan polusi dan berbagai masalah kesehatan.

Sampah elektronik ini juga merupakan bentuk ketidakadilan yang dilakukan negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Negara-negara maju mengirimkan sampah-sampah elektronik ke negara dunia berkembang. Karena melakukan ekspor sampah elektronik dikategorikan sebagai tindakan ilegal, maka negara maju menggunakan dalih mengirimkan barang elektronik yang sudah usang sebagai barang re-use.

Dalam sebuah dokumen yang berjudul “cyber-age nightmare” – dilaporkan, ditemukan komputer-komputer yang masih menggunakan label dari pemiliknya di Amerika berhamburan dan hanyut disepanjang sungai dan ladang di Cina bagian Tenggara.

Daerah itu bernama Guiyu, sebuah distrik di Provinsi Guangdong, Cina. Di sana ditemukan para pekerja yang terdiri dari orang-orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan anak-anak yang sedang memisahkan kabel-kabel dari komputer dan alat eletronik lainnya. Dan pada malam harinya, mereka membakarnya dan mengotori udara dengan asap carcinogenic penyebab kanker yang dihasilkan dari pembakaran tersebut.

Para pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung untuk dirinya, tidak hanya memisahkan kabel dari alat-alat elektronik. Mereka menuangkan asam di atas alat-alat elektronik untuk mendapatkan perak dan emas. Mereka juga mencungkil banyak cartridge printer dan menghancurkan tabung-tabung sinar katoda dari monitor komputer. Untuk itu, pekerja-pekerja tersebut dibayar 1,50 dolar per hari.

Kebanyakan sampah elektronik dari Amerika dikirimkan ke Cina, India, dan negara Asia lainnya. Jika di Cina terkenal dengan Guiyu-nya, di India terkenal dengan distrik Mayapuri dan Buradi-nya. Dua wilayah ini juga terkenal sebagai tempat pembongkaran barang elektronik AS untuk mendapatkan logam berharga seperti emas, platina, dan perak.

Polusi yang dihasilkan karena limbah elektronik ini juga ditemukan di Ghana. Bagaimana sampah elektronik ini bisa sampai di Ghana? Menurut laporan Greenpeace, kontainer berisi komputer rusak, monitor dan TV dari merek Philips, Canon, Dell, Microsoft, Nokia, Siemens dan Sony sampai di Ghana dari Jerman, Korea, Swiss, dan Belanda. Sampah elektronik tersebut berakhir di tempat pembuangan sampah di Ghana, menanti untuk dihancurkan dan dibakar oleh para pekerja, yang lagi-lagi tidak dilindungi dengan alat pengaman.

Bukan rahasia lagi bahwa materi berbahaya (limbah, red) dari negara-negara ekonomi maju sering berakhir sebagai kerugian di negara-negara dunia ketiga. Pakta 1989 yang terkenal dengan Konvensi Basel melarang transfer limbah tersebut, tapi AS tidak meratifikasinya. AS menolak mengadaptasi Konvensi Basel. Hasilnya, sampai 80 persen limbah elektronik Amerika dikirim ke Guiyu, Cina.

Cina, sebagai salah satu penanda tangan Konvensi Basel, termasuk yang mendukung pelarangan internasional untuk mengekspor limbah beracun. Meskipun demikian, pemerintah Cina ternyata juga tidak efektif dalam menjaga agar limbah beracun dari Barat tidak masuk ke negaranya. Masalahnya berubah menjadi rumit. Dengan fakta bahwa industri e-waste, bukan hanya merusak lingkungan Guiyu. Namun juga telah menjadi tumpuan ekonomi warga Guiyu. Hal ini telah membuat penduduk lokal mau melakukan apa saja untuk mendapatkan penghasilan dari industri sampah elektronik ini.

Masalah Kesehatan dan Lingkungan Hidup
Sampah komputer, televisi, dan peralatan elektronik lainnya yang digunakan AS telah menyebabkan polusi lingkungan dan menjangkiti pekerja dengan zat kimia beracun di beberapa wilayah di Cina, India, dan negara-negara dunia ketiga lainnya. Karena di negara-negara inilah, di mana barang-barang elektronik ekspor dari Amerika dibuang dan dibongkar.

Berdasarkan laporan Greenpeace, dari kurang lebih 70 sampel yang dikumpulkan pada Maret 2005 yang berasal dari limbah industri, endapan di sungai, tanah, dan air tanah di sekitar Guiyu, Cina dan New Delhi, India, disimpulkan mengandung kontaminan level tinggi. Sampel dikumpulkan dari area yang mengandung logam berat yang digunakan untuk membuat alat elektronik termasuk timah, tembaga, cadmium, dan antimony (logam keputih-putihan yang rapuh untuk membuat obat dan untuk pengeras campuran logam).

Para peneliti Greenpeace juga mendeteksi kehadiran polybrominated diphenyl ethers atau PBDEs, sebuah penghambat api, sebaik polychlorinated biphenyls atau PCBs, sekelas kimia yang biasa digunakan dalam menyaring cairan.

Kontaminan logam berat ini telah menyebabkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari kanker sampai kerusakan sistem saraf. “Kontaminasi tingkat tinggi ini terjadi karena ketidak-amanan pembuangan alat eletronik yang mengancam kesehatan pekerja dan kesehatan masyarakat sekitar,” ujar Arnold Schecter, profesor ilmu lingkungan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Texas.

Sebuah penelitian dilakukan di Cina, yang menjadi tujuan dari 70 persen dari komputer, TV, telepon selular, dan limbah elektronik dunia lainnya. Penelitian tersebut menyimpulkan, metode daur ulang Cina telah menaikkan level dioxin pada perempuan menyusui. Dioxin ini bisa menyebabkan penyakit kanker, menyebabkan cacat, dan masalah kesehatan lainnya.

Ming H Wong dan koleganya melakukan penelitian level dioxin pada perempuan yang memiliki anak yang masih menyusui yang tinggal di lingkungan tempat pembuangan sampah elektronik di daur ulang, kemudian dibandingkan dengan mereka yang tinggal di area lain. Mereka menganalisa level dari dioxin dalam sampel susu ibu, plasenta, dan rambut.

Sampel dari tempat pembuangan limbah elektronik menunjukkan level dioxin yang tinggi daripada diambil dari tempat lain. Peneliti memperkirakan dari bayi yang sudah menyusu selama enam bulan di tempat daur ulang berisiko memiliki masalah kesehatan - seperti cacat – ketimbang yang tidak berada di sana.

Tidak hanya itu, zat kimia yang diakibatkan oleh sampah eletronik juga bisa mengandung limbah beracun yang menyebabkan tanah dan air tanah menjadi rusak dan tidak layak minum. Racun kimia dari barang elektronik yang rusak mengandung timah, arsenik, merkuri atau seng, dapat merembes ke dalam tanah selamanya atau menguap meracuni udara.

Indonesia termasuk negara yang meratifikasi Konvensi Basel. Pemerintah berencana untuk membuat kebijakan yang mengharuskan pabrik-pabrik di industri elektronik untuk mengambil kembali limbah elektroniknya. Program yang diberi nama Extended Producer Responsibility (EPR) ini mensyaratkan perusahaan elektronik agar secara keuangan bertanggung jawab untuk pengumpulan dan pendaur ulangan e-waste.

ERP pertama kali diimplementasikan di Jerman pada 1991 mengacu kepada permasalahan lahan. Sejak itu, kebijakan ini menjadi populer di Eropa dan Asia. “ERP sudah dipraktikan di beberapa negara. Kita ingin mengadopsinya di sini. Beberapa pabrik sudah familiar dengan kebijakan ini,” ujar Herri Hamdani dari Kementrian Lingkungan Hidup.

California dan Massachusetts juga telah mengeluarkan larangan pembuangan tabung sinar katoda monitor di tanah dan tempat pembakaran. Beberapa pembuat PC dan pedagang retail besar telah meluncurkan program daur ulang, tapi mereka menyarankan konsumen untuk membayar sekitar 30 dolar dan mengirimkan PC lama mereka sendiri.

Sejauh ini memang belum ada solusi real dari menumpuknya sampah elektronik yang dihasilkan negara-negara maju ini. Namun apa pun solusi yang coba ditawarkan pemerintah masing-masing negara, dibutuhkan kebulatan niat untuk menjalankan upaya ini dengan kontinu. Karena tentunya, kita tidak ingin melihat bumi kita dipenuhi dengan sampah seperti dalam film animasi WALL-E kan?

Menyiapkan Emas Biru

Air bersih di dunia semakin langka. Usaha besar harus dilakukan, jika tidak, air akan menjadi alasan utama perang di masa depan.

Sekitar pertengahan 2005, sebuah tempat bermain di sebuah taman di Kota New York seharusnya dapat memberikan anak-anak kenyamanan dan kesehatan. Namun bukan kenyamanan dan kesehatan yang diberikan oleh taman itu, pancuran yang menyediakan air minum di taman itu telah menumbangkan 1800 orang. Mereka menderita sakit pencernaan selama lebih dari tiga pekan. Dan setelah diteliti, air minum yang berada di taman kota Geneva’s Seneca Lake terkontaminasi cryptosporidiosis, bakteri penyebab diare.

Kisah satu taman di sudut kota New York di atas hanya satu bagian kecil dari problem air bersih di seluruh penjuru dunia, terutama Asia dan Afrika. Mengacu kepada World Health Organization (WHO), lebih dari 1,1 miliar orang di dunia tidak memiliki akses untuk minum air bersih. Karena suplai air yang tidak aman dikonsumsi, diperkirakan hampir 1 juta orang mati setiap tahun karena air minum. Sebuah persentasi yang besar mengingat kebanyakan mereka yang mati adalah anak-anak. Beberapa laporan mengindikasikan air yang tidak bersih hampir membunuh sekitar 3.900 anak-anak setiap harinya.

Mantan Sekjen PBB Kofi Annan pernah memberikan keterangan, “Kita tidak mungkin akhirnya memerangi AIDS, TBC, malaria atau penyakit menular lainnya yang menjangkiti negara berkembang sampai kita juga memenangkan pertarungan untuk air minum yang aman.” Ini menunjukkan betapa pentingnya kebutuhan akan air bersih.

PBB telah mengembangkan capaian-capaian yang terkenal dengan The Millenium Development Goals (MDG) – bertujuan memperbaiki kualitas hidup manusia di seluruh dunia sampai 2015. Bagian besar dari tujuan-tujuan ini adalah untuk memperbaiki akses untuk mendapatkan air bersih. Banyak orang di seluruh dunia yang membantu – baik personal maupun kelompok – untuk mewujudkan tujuan-tujuan MDG menjadi nyata. Salah satunya adalah organisasi Vestergaard Frandsen Group.

Vestergaard Frandsen Group menciptakan apa yang disebut dengan Lifestraw. Lifestraw adalah sebuah alat pemurni air yang di desain untuk mengubah segala jenis air menjadi air layak minum. Alat ini terbukti efektif melawan kuman penyakit air seperti typhus, kolera, disentri dan diare.

Lifestraw ini panjangnya 25 cm dengan lebar diameter 29 mm. Alat ini terbuat dari pipa plastik high impact polystyrene dan berharga hanya sekitar 2 dolar saja. Tidak memerlukan pelatihan khusus jika ingin menggunakannya. Cukup kita meletakkan alat ini di air yang akan diminum, lalu mulai menyedot air tersebut.

Ide dasarnya diciptakan sekitar 13 tahun lalu oleh Danish, seorang inovator dari Torben Vestergaard Frandsen. Setelah bertahun-tahun dalam kerja sama dengan The Carter Center, Rob Fleuren dari Belanda dan Moshe Frommer dari Israel, Lifestraw pun muncul sebagai penyaring air yang mampu menghindarkan air minum dari bakteri dan penyakit. Sejak pembuatannya, alat ini sudah diujikan di negara dunia ketiga seperti Ghana, Nigeria, Pakistan, Uganda.

Alat ini terdiri dari empat bagian. Pertama adalah sebuah saringan yang lubang-lubangnya sehalus rambut. Dari sini air dipisahkan dari kotoran dan endapan. Kemudian, air melewati saringan polyester. Lubang-lubang dalam saringan ini jauh lebih kecil dari saringan sebelumnya, yaitu sebesar 15 micrometer. Dari saringan polyester ini disisihkanlah bakteri-bakteri yang dikandung di dalam air tadi.

Lalu air bergerak ke dalam bagian yang dipenuhi butiran-butiran yang mengandung yodium. Yodium akan membunuh parasit dan 99,3 persen bakteri dan virus. Akhirnya, air akan melewati saringan terakhir yang berisi butiran-butiran karbon aktif. Karbon-karbon tersebut bukan hanya memperbaiki rasa dan bau dari air, karbon-karbon tersebut juga menyaring parasit-parasit yang masih tersisa.

Direktur Public Health Water-Bourne Disease Control – Alan Mortensen – yang memproduksi Lifestraw mengatakan, jika menggunakan sedotan Lifestraw bisa dipastikan untuk meminum air dari Sungai Thames di London yang terkenal buruk karena polusinya. “Anda mungkin masih akan merasakan rasa ganggang, tapi tidak ada masalah. Anda akan mendapatkan air minum bebas bakteri,” ujarnya.

Meski terbukti efektif menyaring bakteri-bakteri kolera, disentri, dan diare, serta mampu mengadakan air bersih yang layak minum, alat ini ternyata tidak efektif untuk membunuh Giardia lamblia, sebuah organisme yang dua-duanya resisten terhadap zat yodium dan ukurannya lebih kecil dari pada lima micrometer. Selain itu, Lifestraw juga bisa mengakibatkan peningkatan zat yodium melebihi normal di dalam air minum. Namun hal ini bisa di imbangi dengan masalah kekurangan yodium yang terjadi di dunia ketiga.

Jakarta dan Air Bersih
Jika benar data WHO sekitar 1 juta orang mati setiap tahun karena kekurangan air bersih, mungkin beberapa persen diantaranya berasal dari Indonesia. Hal ini berangkat dari fakta bahwa di Indonesia juga banyak ditemui pemandangan seperti halnya di negara-negara dunia ketiga yang melakukan kegiatan mandi, cuci, kakus di kali yang jelas-jelas terkontaminasi polutan. Di Jakarta, pemandangan ini kerap terjadi di bantaran kali-kalinya.

"Bagaimana kita berharap mereka yang tinggal di bantaran kali dapat hidup sehat kalau melihat kondisi kali sekarang. Mereka juga tidak mendapat akses air bersih," ujar Bambang Wispriyanto, pengajar di Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI).

Ketidakseimbangan alam ternyata juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan air bersih langka di Jakarta. Pada 1995, Jakarta mengalami kemarau panjang. Lalu pada awal 1996, tiba-tiba Jakarta dikejutkan dengan banjir besar. Ketidakseimbangan antara kebutuhan dan cadangan air bersih ini membuat Ismael Serageldin, mantan wakil presiden Bank Dunia mengatakan, jika saat ini perang dunia banyak diakibatkan oleh si emas hitam (minyak bumi), maka perang masa datang akan dipicu oleh emas biru alias air.

Program pembuatan sumur resapan yang diprakarsai Gubernur Sutiyoso awalnya diatur oleh Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 17 Tahun 1992. Namun, karena banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya hampir tiap tahun terjadi, pada awal tahun 1996 SK itu diubah menjadi peraturan daerah (perda) dengan nomor tetap, yakni Perda No 17/1996. Isinya, kewajiban bagi semua warga membuat sumur resapan.

Setelah dimuat di dalam perda, kewajiban membuat sumur resapan adalah suatu keharusan bagi semua warga DKI ketika membangun rumah atau bangunan lain. Itu juga menjadi kewajiban pemerintah setempat ketika membangun kantor-kantor dan bangunan lain. Data Pemprov DKI Jakarta mencatat saat ini sumur resapan yang sudah dibangun baru mencapai 37.840 titik atau sekitar 16,71 persen dari total kebutuhan 226.466 titik.

Sumur resapan sendiri adalah sumur gali yang berfungsi menampung, meresapkan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di permukaan tanah, bangunan dan juga atap rumah. Dengan begitu air hujan lebih banyak terserap ke dalam tanah dan air permukaan yang mengalir pun menjadi berkurang.

Prof Dr Sudarmadji MEng, Kepala Bapedalda DIY yang juga pakar sumur resapan pada Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, menjelaskan, sumur resapan sangat efektif untuk meningkatkan serapan air tanah. Sumur resapan berfungsi sebagai pengganti lahan terbuka di daerah tangkapan air yang telah dikonversi menjadi perumahan.

Lalu bagaimana membuat sumur resapan yang sederhana? Ukuran minimum diameter sumur resapan adalah 0,8 meter, maksimum 1,4 meter. Ukuran pipa masuk 110 mm. Ukuran pipa pelimpah 110 mm. Ukuran kedalaman (1,5 s.d. 3 m). Dinding dibuat dari pasangan bata atau batako dengan campuran spesi 1: 4 dibuat berlubang-lubang tanpa diplester.

Rongga sumur resapan diisi batu kosong 20/20 setebal 40 cm. Penutup sumur resapan dari plat beton tebal 10 cm, dengan campuran 1 semen, 2 pasir dan 3 kerikil. Kaveling tanah matang yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo melanjutkan program sumur resapan ini dengan mencanangkan Gerakan Peduli Sumur Resapan yang diprakarsai Dinas Pertambangan Provinsi DKI Jakarta. Namun, peraturan yang baik, jika tidak dibarengi dengan proses kontrol yang baik, maka tidak akan pernah menghasilkan apa-apa. Sedangkan, pencanangan gerakan ini sangat penting dalam upaya menjaga kelestarian cadangan air tanah, serta menjamin ketersediaan air bersih bagi warga Jakarta.

Gerakan ini seharusnya tak hanya dilakukan di kota besar seperti Jakarta, tapi juga di seluruh kota di Indonesia. Sebab, air bersih setiap hari semakin langka. Dan jika kita mulai menghemat dari sekarang, 10 atau 20 tahun lagi, anak cucu kita akan berperang demi air untuk kebutuhan hidupnya. Semoga tidak pernah terjadi.

Ketika Pangan Beralih Fungsi

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai angka 30% pada Mei silam, telah mencekik rakyat Indonesia. Apalagi harga bensin premium bersubsidi yang menjadi bahan bakar pokok sebagian besar kendaraan masyarakat Indonesia. Alhasil, efek domino imbas dari kenaikan BBM ini lambat laun dirasakan masyarakat.

Harga BBM yang kerap meningkat mengikuti harga minyak dunia ini menyebabkan orang beralih ke bahan bakar alternatif berupa bioenergi. Bahkan, Indonesia sempat dihebohkan dengan kasus Blue Energy Joko Suprapto yang sempat dibantah oleh ilmuwan-ilmuwan asal Universitas Gajah Mada (UGM). Para ilmuwan meyakini bahwa hidrogen dalam air terlalu sulit untuk diurai.

Namun campuran 70 persen air dan 30 persen solar ini ternyata belum apa-apa bila dibandingkan temuan Jepang, mobil yang hanya dengan bahan bakar satu liter air jenis apa saja bisa mencapai kecepatan 80 kilometer per jam. Mobil buatan Jepang ini mampu memurnikan hidrogen dari air yang tersimpan di dalam tangki mobil. Pembangkit energi ini membebaskan elektron-elektron yang menghasilkan tenaga listrik untuk menjalankan mobil. Uniknya, mesin mobil ini mampu bisa menggunakan berbagai jenis air untuk bahan bakarnya. Baik air hujan, air sungai, air laut, bahkan air teh sekalipun.

Jika blue energy masih menimbulkan pro kontra di Indonesia, beda dengan bioenergi yang sudah lama berkembang di Indonesia. Tren penggunaan bahan bakar alternatif ini sendiri sebenarnya sudah mulai merambah Indonesia sejak era 80-an. Kampus-kampus negeri juga kerap melakukan penelitian mengenai energi alternatif ini. Bahkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) membuka pabrik biodiesel pertama di Indonesia yang mampu memproduksi dengan kisaran 500 kg sampai dengan 1,5 ton per harinya pada 2005.

Maraknya penelitian ini juga di dorong oleh Brasil yang pada 1975 berhasil mengunakan bahan bakar alternatif (gasohol) secara nasional. Tiap tahunnya negara itu menggunakan 11 juta kiloliter setahun. Tren penggunaan bahan bakar alternatif ini juga kemudian diikuti oleh 13 negara lainnya yang menggunakan gasohol mapun biodiesel sebagai bahan bakar resmi untuk mobil sejak 2003. Negara-negara itu diantaranya, Uni Eropa, Australia, Jerman, Kanada, Swedia, dan Thailand.

Baik gasohol maupun biodiesel yang merupakan keluarga biofuel menggunakan bahan pangan sebagai bahan pembuatannya. Biofuel sendiri merupakan bahan bakar yang berasal dari materi organik non fosil atau biomass (Minyak Emas Terbarukan). Bahan baku biofuel diolah dari tumbuhan penghasil pati (jagung, sagu, dan singkong, plantoil (tanaman berminyak seperti kelapa sawit), dan bio-oil (sekam, gagang sawit).

Semua tanaman itu sedikit banyak menghasilkan etanol, unsur penting dalam urusan bahan bakar. Etanol sendiri mengandung 35 persen oksigen sehingga meningkatkan efisiensi proses pembakaran. Ia juga bisa digunakan sebagai zat adiktif karena kemampuannya untuk meningkatkan jumlah angka oktan dalam bahan bakar. Dengan ini semua, maka tidak heran jika biofuel digalakkan sebagai energi alternatif.

Upaya ini ditentang oleh para aktivis lingkungan hidup. Sebagai pakar lingkungan hidup, Emil Salim pernah mengatakan, energi biofuel yang kerap digembar-gemborkan pemerintah seharusnya menjadi prioritas terendah setelah seluruh alternatif sumber energi lainnya diberdayakan. Hal ini disampaikan di tengah-tengah diskusi tentang "Global Warming" yang diselenggarakan Universitas Paramadina di Jakarta, 2007.

Emil Salim juga menuturkan, energi biofuel yang berasal dari "palm oil" atau pohon kelapa sawit membutuhkan banyak lahan untuk menanam tanaman tersebut. "Tanah di Indonesia seharusnya `diselamatkan` terlebih dahulu untuk mencukupi bahan pangan," ujar mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup itu.

Sementara itu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Asia Tenggara untuk Greenpeace, Nur Hidayati mengemukakan bahwa merupakan hal yang ironis untuk mengedepankan pemakaian biofuel karena kebutuhan untuk energi terbarukan seperti biofuel itu juga mempercepat laju kerusakan hutan di Indonesia. "Permintaan minyak kelapa sawit yang lebih banyak dari negara maju seperti negara di benua Eropa untuk memperoleh energi biofuel akan mempercepat laju deforestasi,” kata Nur Hidayati di seminar yang sama dengan Emil Salim.

Biofuel yang diproses melalui tanaman komoditas seperti jagung, kacang kedelai, dan singkong saat ini dilihat sebagai suatu jalan keluar untuk meneruskan keberlangsungan ekonomi kapitalisme. Apalagi petani sekarang yang sudah beralih profesi. Dari melakukan tugas menanam tanaman pangan, menjadi penanam tanaman penyedia energi. Para produsen melakukan ini untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman biofuel dengan lebih cepat lagi demi mengejar permintaan ekonomi yang semakin meningkat.

Padahal, biofuel harusnya diletakkan pada prioritas paling rendah. "Biofuel harusnya diletakkan sebagai prioritas yang paling rendah setelah kita kembangkan sumber-sumber energi lain seperti panas matahari, angin, dan sungai," ujar Emil Salim.

Semakin tinggi permintaan pasar, maka semakin tinggi pula upaya eksploitasi dan ekplorasi yang dilakukan demi memenuhinya. Untuk melawannya, mari kita katakan bersama: stop produksi, stop konsumsi!

Petualangan Sinbad: Menjelajahi Tujuh Lautan Menuju Cina

“I went down to Basra with a group of merchants and companions, and we set sail in a ship upon the sea, and at first I was seasick because of the waves and the motion of the vessel, but soon I came to myself and we went about among the islands, buying and selling.”

—The Tale of Sindbad the Sailor, from The 1001 Nights

Pada suatu masa, tersebutlah orang yang bernama Sinbad si Pelaut (Sinbad the Sailor). Sinbad adalah legenda tentang petualangan pelaut Arab yang menjelajahi samudera. Tapi apakah benar Sinbad itu benar-benar eksis?

Sinbad memang pernah eksis dijamannya, setidaknya ini menurut para kru dan kapten dari sebuah tiruan perahu layar Arab yang berasal dari abad kesembilan yang diberi nama Sohar. Pelayaran ini dilakukan untuk membuktikan bahwa legenda Sinbad memiliki fakta historis. Dengan menggunakan perahu layar yang dibuat dari pohon kelapa dan dilengkapi dengan alat navigasi kuno yang berasal dari abad pertengahan, seorang penjelajah Inggris Timothy Severin dan 25 kru-nya berlayar sejauh 9600 kilometer (6000 mil) dari Muscat (Oman) menuju Kanton (Cina).

Severin memang tidak menemukan sejumlah monster seperti yang ada dalam legenda Sinbad, namun perjalanannya juga tidak lepas dari bahaya. Mulai dari hampir digilas oleh kapal tanker raksasa, layar utama yang rusak, harus bertahan di tengah lautan dengan sedikit makanan dan air, sampai akhirnya mereka bertemu bajak laut di perairan Laut Cina Selatan.

Tujuan utama penjelajahan Severin yang lulusan Oxford yang lahir di India terhadap rute pelayaran Sinbad ini adalah untuk mengkoreksi miskonsepsi Timur dan Barat mengenai orang-orang Arab. Menurutnya kebanyakan orang berpikir kehidupan bangsa Arab hanya di padang pasir. “Mereka juga manusia laut. Saya ingin membuktikan bahwa bangsa Arab adalah orang-orang yang tidak hanya datang untuk menjadi tukang minyak yang ulung, tetapi juga memiliki sejarah penjelajahan laut yang hebat,” ujarnya pria yang pernah mengendarai motor menyusuri rute Marco Polo menuju Cina.

Dari Teluk Arab Menuju Cina
Pada sekitar abad kesatu, pelayaran dari Teluk Arab ke Cina hanya membutuhkan waktu selama 120 hari saja dan itu merupakan rute perdagangan terpanjang di dunia. Itu mungkin jarak yang paling berbahaya karena para pelaut harus menghadapi pencuri Hadhramaut di Samudera Hindia dan bajak laut Vietnam di Teluk Tonkin.

Mereka yang selamat tentu saja akan mendapatkan banyak keuntungan. Karena pada saat itu, belum ada bangsa Eropa yang pernah menemukan rute ke Cina. Orang Arab yang justru menemukannya. Sehingga di pertengahan abad kedelapan banyak sekali barang-barang berharga seperti emas, gading dan permata dari India, sutra dan keramik dari Cina yang akhirnya membuat Baghdad menjadi pusat perdagangan penting di dunia. Dan 500 tahun kedepan, Muslim pun mendominasi perdagangan timur-barat.

Pada sekitar abad 13, orang-orang Mongol mulai menjelajahi Cina dan meruntuhkan kota pelabuhan terbesar. Sebagai konsekuensinya, kerjasama dalam hal perdagangan antara Arab dan Cina menjadi berantakan karena penghancuran yang dilakukan oleh bangsa Mongol tadi. Namun, 200 tahun kemudian, seorang pelaut Portugis Vasco Da Gama mengelilingi Tanjung Harapan (Cape of Good Hope) dan membuka rute perdagangan baru antara Eropa dan Timur. Penjelajahan ini berakhir pada 1448 bersamaan dengan berakhirnya dominasi bangsa Arab terhadap perdagangan di Timur setelah selama lebih dari 700 tahun mereka bertahan.

Bangsa Arab jelas telah meninggalkan tanda yang luar biasa di Asia Tenggara; perahu layar mereka tidak hanya membawa barang-barang, tetapi juga menyebarkan Islam dan kebudayaan Islam sampai ke Indonesia dan Cina. Bahkan pada suatu masa ketika Byzantium, India dan Cina yang tiba-tiba menjadi tetangga di kerajaan dunia baru, Islam menjadi agama dan bahasa Arab menjadi bahasa persatuan.

Kebesaran para pelaut Arab yang berani ini juga sungguh melegenda. Mereka menjelajahi laut sejauh 9600 sampai 16.000 kilometer menuju ke wilayah yang belum dikenal, dan membawa pulang legenda serta petualangan. Cerita yang menyebar dan banyak dibumbui ini yang kemudian menjadi dasar dari epik Sinbad si Pelaut, seperti yang diabadikan dalam kisah Seribu Satu Malam.

Selain berlayar di Samudra Hindia, ada laut rute lain dari negara Arab ke India, yang tertua dari mereka semua. Ia tidak tergantung pada musim hujan dan dapat berlayar tanpa pengetahuan tentang bintang. Teluk Arab adalah koridor alami antara Mesopotamia dan India. Sehingga pelayaran pun dapat dibuat hanya dalam perahu layar kecil dengan hanya menyusuri pantai, atau selalu menjaga agar tidak jauh dari daratan. Kontak maritim antara Mesopotamia dan India melalui perairan Teluk telah terjadi seperti pada awal peradaban urban di milenium ketiga sebelum masehi, ketika bangsa Sumeria di Sungai Tigris dan Eufrat telah berhubungan dengan Harappa di India.

Penemuan rute laut antara Teluk Arab dan Cina adalah peristiwa yang sama pentingnya seperti penemuan rute laut ke India oleh Portugis. Portugis menemukan rute untuk menyeberangi Samudera Hindia dengan monsoon Gujarat ke pantai Malabar, atau berlayar ke selatan Sri Lanka dan berbelok ke utara Teluk Benggala atau ke timur Malaya. Tetapi cukup jauh untuk membuat rute pelayaran lain untuk menuju Kanton melalui laut. Hal ini kurang dikenal dengan dalam pelayaran yang menggunakan pola angin (monsoon). Belum lagi dengan bahaya pembajakan dan Topan dari Laut Cina Selatan. Namun pada awal Islam, pelayaran langsung menuju Kanton melalui Teluk tampaknya telah menjadi hal yang lazim.

Laut Cina atau Laut India, atau yang sering disebut sebagai Samudera Hindia, pada dasarnya bukanlah satu kesatuan. Orang-orang yang berlayar disana sering mengatakan bahwa Samudera Hindia terdiri dari tujuh lautan yang berbeda, yang memiliki karakteristik masing-masing. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan the seven seas (tujuh lautan). Berikut adalah bagaimana al-Ya'qubi, yang meninggal pada 897 menjelaskan tentang tujuh lautan:

Siapa saja yang ingin pergi ke Cina harus melintasi tujuh lautan, masing-masing memiliki warna, angin, ikannya sendiri, tidak seperti sepenuhnya laut yang terletak di sebelahnya. Yang pertama dari mereka adalah Laut Fars, dimana pelaut keluar dari pengaturan Siraf. Ia berakhir di Ra's al-Jumha; itu adalah selat di mana disana banyak terdapat mutiara. Laut kedua dimulai di laut Ra's al-Jumha dan disebut Larwi. Ini merupakan laut besar, dan di dalamnya adalah pulau Waqwaq dan lain-lain yang berada di posisi Zanj. Pulau-pulau ini memiliki raja-raja. Seseorang hanya bisa berlayar di laut ini dengan panduan bintang. Terdapat ikan besar disana dan di dalamnya terdapat banyak keajaiban dan hal-hal yang tidak bisa dideskripsikan. Laut ketiga disebut Harkand dan itu terletak di pulau Sarandib, di sana terdapat batu yang berharga dan rubi-rubi. Ini adalah pulau dengan raja-raja, tetapi ada satu raja atas mereka. Di kepulauan yang berada di laut ini tumbuh bambu dan rotan. Laut keempat laut disebut Kalah-bar dan dangkal dan banyak sekali ular-ular laut yang besar. Kadang-kadang mereka muncul ke permukaan dan menabrak kapal. Berikut ini adalah pulau-pulau di mana tumbuh pohon kapur. Laut kelima disebut Salahit, sangat besar dan penuh dengan keajaiban. Laut keenam disebut Kardanj; hujan sering turun disini. Laut ketujuh disebut Laut Sanji atau dikenal sebagai Kanjli. Ini adalah laut China; yang didorong oleh angin selatan hingga mencapai sebuah teluk air tawar, di sepanjangnya terdapat tempat yang dibentengi dan kota-kota, hingga mencapai Khanfu [Kanton].

Tujuh lautan berdasarkan literatur Ya’qubi ini adalah Laut Fars (Teluk Persia), Laut Larwi (Teluk Khambat), Laut Harkand (Teluk Benggala), Laut Kalah-bar (Selat Malaka), Laut Salahit (Selat Singapura), Laut Kardanj (Teluk Thailand), dan Laut Sanji (Laut Cina Selatan). Ketujuh lautan ini adalah laut yang dilayari oleh kisah Sinbad di dongeng 1001 malam, seperti dalam buku kecil yang ditulis oleh Buzurgh bin Shahriyar yang berjudul ‘Aja ’ib al-Hind (Keajaiban India). Buku ini ditulis pada abad 10 dan merupakan kumpulan kisah pelayaran orang-orang yang mirip dengan petualangan dari Sinbad. Jadi, masih berpikir Sinbad tidak pernah eksis?

Mencari Waqwaq

Dalam sebuah petikan tentang rute laut ke Cina dalam Kitab al-Masalik wa 'l-Mamalik (Kitab Jalan dan Negara), Ibnu Khurradadhbih memberikan perkiraan ukuran dari Samudra Hindia: “Panjang laut ini, dari Qulzum [di kepala Laut Merah] menuju Waqwaq, adalah 4500 farsakhs.” Ia juga menyatakan bahwa jarak dari Qulzum ke pelabuhan Farama di Mediterania adalah 25 farsakhs. Jarak terakhir, ia menulis, berkaitan dengan panjang satu derajat di meridian sehingga, pada jarak 4500-farsakh menuju Waqwaq sesuai dengan 180 derajat. Oleh karena itu Waqwaq terletak persis di separuh dari dunia bila dihitung dari Qulzum. Dengan nama yang aneh dan jarak ke timur yang cukup jauh, keberadaan Waqwaq tampaknya lebih menjadi legenda daripada nyata secara geografi.

Namun Ibnu Khurradadhbih jelas berpendapat bahwa Waqwaq adalah tempat yang nyata. Dia menyebut itu kurang lebih dua kali: "China Timur adalah tanah-tanah Waqwaq, yang sangat kaya dengan emas yang digunakan penduduk untuk membuat kalung rantai bagi anjing dan monyet mereka dari logam ini. Mereka membuat jubah tenun dengan emas. Kayu hitam yang sangat baik ditemukan di sana.” Dan lagi: “Emas dan kayu hitam (ebony) semua diekspor dari Waqwaq."

Jadi di mana letak Waqwaq?
Editor Ibnu Khurradadhbih pertama di Eropa, sarjana Belanda Michael Jan de Goeje, mencatat bahwa salah satu nama Cina untuk Jepang adalah wo-kuo (Negara Wo). Dalam dialek Kanton, yang akan terdengar oleh para saudagar Arab, ini akan dilafazkan dengan Wo-Kwok. Waqwaq akhirnya dengan hampir sempurna diterjemahkan sebagai nama Cina untuk Jepang.

Ini adalah salah satu solusi terpecahkannya misteri Waqwaq. Namun kelemahan identifikasi Goeje's adalah bahwa tidak ada dalam pernyataan Ibnu Khurradadhbih tentang Waqwaq yang memiliki kesamaan dengan Jepang. Meskipun “jubah tenun dengan emas” yang hampir tidak mungkin, apalagi untuk membayangkan monyet dan anjing yang menggunakan kalung dari emas. Model masyarakat yang keras pada Jepang abad kesembilan, membuat semua ini menjadi mustahil. Lagipula, Jepang juga tidak mengekspor kayu hitam.

Waqwaq juga dikenal sebagai nama pohon yang tidak biasa. Sebelumnya disebutkan referensi awal untuk pohon itu (walaupun tanpa nama) seperti merunut sumber di Cina, T'ung-Tien karya Ta Huan yang ditulis sebelum 801. Ta Huan menceritakan kisah yang diberitahu oleh ayahnya, yang tinggal di Baghdad selama 11 tahun sebagai tawanan perang setelah Pertempuran Talas. Ayah Ta Huan meng-klaim telah mendengar cerita berikut dari pelaut Arab:

Raja Arab telah memberangkatkan orang-orang dengan sebuah kapal, dengan mengambil makanan dan pakaian mereka, dan pergi ke laut. Mereka berlayar untuk delapan tahun tanpa arah. Di tengah laut, mereka melihat sebuah batu persegi; pada batu ini adalah pohon dengan cabang berwarna merah dan daun berwarna hijau. Pada pohon telah tumbuh sejumlah anak-anak kecil; panjangnya sekitar enam atau tujuh jempol. Ketika mereka melihat orang-orang, mereka tidak berbicara, tetapi mereka semua tertawa dan bergerak.

Cerita yang sama berulang kali terjadi dari sumber-sumber Arab, di mana pohon yang dikenali sebagai " pohon waqwaq," yang kemudian dibumbui kisah anak-anak yang berubah menjadi perempuan muda yang cantik bergantungan di cabang-cabang pohon dengan rambut mereka. Catatan klasik yang ditulis di abad ke-12 Al-Andalus, mengatakan perempuan-perempuan itu“jauh lebih indah sehingga tidak bisa di deskripsikan dengan kata-kata, tetapi mereka tanpa hidup atau jiwa .... Ini merupakan keajaiban dari tanah Cina. Pulau ini pada akhirnya dihuni.... “

Dua catatan, namun tidak ada yang sesuai satu sama lain. Salah satu menjelaskan kemajuan budaya yang indah: “Saya telah diberitahu oleh beberapa orang yang mereka bertemu dengan seorang laki-laki yang pernah ke Waqwaq dan berdagang di sana. Dia menjelaskan besar ukuran kota-kota mereka dan pulau-pulau mereka. Maksud saya bukan luas kawasan ini, tetapi jumlah populasi penduduknya. Mereka terlihat seperti orang Turki. Mereka sangat giat dalam seni dan semua orang di setiap tempat di negara mereka selalu mencoba untuk meningkatkan kemampuan mereka.”

Adapula yang jauh lebih menarik:
Pada tahun 945 orang Waqwaq berlayar dengan 1.000 kapal untuk menyerang Qanbaluh [di pantai Afrika Timur, berlawanan Zanzibar] .... Ketika ditanya mengapa Waqwaq menyerang Qanbaluh, daripada beberapa kota lain, mereka menjawab bahwa hal itu diperlukan di negara mereka dan juga Cina, seperti gading, kulit kura-kura, kumbang kulit dan ambergris di samping itu, mereka ingin ambil orang Zanj, yang kuat dan mampu melakukan kerja keras. Mereka berkata mereka berlayar selama setahun .... Jika orang-orang ini berkata benar bahwa mereka berlayar selama satu tahun, maka Ibnu Lakis juga benar ketika mengatakan Waqwaq adalah bukanlah Cina.

De Goeje masih yakin bahwa Waqwaq adalah Jepang, namun tidak berhasil untuk menemukan bukti sejarah serangan laut Jepang di Afrika Timur pada 945. Sarjana Perancis Gabriel Ferrand, adalah yang pertama kali mengidentifikasi Waqwaq dengan Madagaskar, kemudian dengan Sumatra. Hal ini kemungkinan didasarkan beberapa alasan diantaranya adalah ditemukannya sebuah catatan penyerangan Indonesia atas Madagaskar dan pantai Afrika Selatan, atau mungkin karena adanya akulturasi bahasa Austronesian dari kepulauan Indonesia ke Madagaskar.

Al-Biruni menulis Kitab al-Hind (Buku tentang India) di 1000 tarikh masehi, yang sebagian besar berdasarkan sumber-sumber dari bahasa Sansekerta, menyebutkan sebuah negeri dimana orang-orangnya lahir dari pepohonan dan bergelantungan dari cabang ke cabang dengan pusar mereka. Dari sini dimungkinkan pohon waqwaq berasal dari sumber sansekerta dan dongeng Arab tentang Waqwaq adalah cerita yang kabur pada sebuah masa saat kepulauan Indonesia masih di bawah pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha.

Cerita tentang Pohon Waqwaq sampai ke Barat, seperti halnya cerita-cerita timur lainnya, muncul salah satu manuskrip dari penjelajahan Friar Odoric pada Abad 14 dan pada salah satu kisah romantis Perancis tentang Alexander agung pada abad pertengahan. Penampakan kisah Pohon Waqwaq ini terakhir tercatat pada 1685, ketika semua misteri dari Samudera Hindia telah memudar dalam catatan orang-orang Eropa. Hal ini terdapat di dalam Safinat Sulayman (The Ship of Solomon/Kapal Sulaiman), sebuah catatan seorang Persia menuju Siam (Thailand) ditulis oleh seorang penulis yang menemani misinya. Ia menyatakan bahwa ia mendengarnya dari seorang kapten Belanda:

Dalam sebuah perjalanan kami ke Cina, kami membuang sauh di sebuah teluk dari sebuah pulau untuk menghindari badai besar. Ada sebuah hal aneh dari orang-orang yang mendiami pulau, dimana mereka hampir menyerupai makhluk hidup. Kaki mereka pendek, mereka telanjang dan memiliki rambut yang sangat panjang. Di malam hari mereka memanjat sampai puncak pohon-pohon mereka di dalam hutan, begitu juga dengan yang perempuan, sambil membawa anak mereka di lengan-lengan mereka. Setiap sampai di pohon, mereka akan mengikatkan rambut-rambut mereka kepada sebuah dahan dan bergantungan disana sepanjang malam.

Begitu banyak manuskrip yang merekam tentang Waqwaq, namun tidak ada yang mampu menunjukkan dimana letak atau keberadaannya. Pengucapannya yang mirip dengan Fakfak sempat mengidentifikasikan Waqwaq dengan daerah Fakfak yang terdapat di Papua Barat. Namun apapun bentuk Waqwaq, ini jelas terdapat di dalam sebuah teks Hindu Sansekerta, yang disebutkan pada abad delapan, seperti dikatakan utusan Cina oleh seorang pelaut Arab yang telah membawa seorang pendeta Perancis dan diceritakan ulang oleh seorang kapten laut Belanda kepada seorang utusan Persia kepada Raja Siam.

Pram, Hamka dan Natsir

Seorang Pramoedya Ananta Toer ternyata pernah berguru kepada Natsir. Sebuah wawancara untuk majalah sastra Horison edisi Agustus 2006 dilakukan oleh Taufiq Ismail kepada dokter Hoedaifah Koeddah dan Titik Ananta Toer, anak sulung Pram.


Suatu ketika Titik berpacaran dengan seorang keturunan Tionghoa. Pram tidak setuju dan pernah berkata, “Saya tidak rela anak saya kawin dengan orang yang secara kultur dan agama berbeda.” Hal ini seperti disampaikan dokter Hoedaifah Koeddah. Hoedaifah lulusan Kedokteran Airlangga yang pernah ditugaskan ke Pulau Buru pada 1976 dalam satu tim sebagai dokter di Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan, pimpinan Prof. Sulianti.

Titik dan Daniel Setiawan, pacarnya, diminta Pram untuk mendatangi Buya Hamka. Pram menyuruh Titik dan Daniel, sebelum menikah untuk belajar agama Islam. Padahal, Pram terkenal dengan rubrik Lentera-nya di harian Bintang Timur melakukan serangan gencar terhadap seniman dan sastrawan yang berseberangan dengan Lekra/PKI, dan salah satunya adalah Hamka. Hamka, selain sastrawan non komunis, ia juga tokoh Muhammadiyah dan Masyumi. Serangan tersebut telah membuat Hamka ditahan selama dua setengah tahun dengan tuduhan makar dan upaya pembunuhan Presiden Soekarno dan Menteri Agama Syaifuddin Zuhri. Namun ketika kudeta 1 Oktober 1965 terjadi, Hamka selamat.

Hoedaifah pernah menanyakan kenapa Pram menyuruh anaknya menemui Hamka. Pram mengatakan, hal ini dilakukannya karena ia tidak pernah mendidik anaknya. Tugas mendidik hanya dilakukan istrinya, Maemunah Thamrin, yang anak angkat dari Muhammad Husni Thamrin. Pram melakukan ini semua juga untuk menghormati istrinya dan keluarga besar istrinya. Makanya ia mempercayakan anaknya kepada Hamka untuk belajar agama. “Masalah perbedaan pendapat dengan Hamka tetap. Tapi dalam hal ceramah agama di televisi, Buya Hamka-lah yang paling mantap membahas soal tauhid.” Ujar Pram kepada Hoedaifah.

Lalu bagaimana seorang Pram yang anti Islam bisa memperhatikan masalah Tauhid? Titik menceritakan kepada Taufiq Ismail, bahwa Pram pernah menjadi murid dari Natsir di Sekolah Tinggi Islam, Jakarta. “Gayanya (Natsir, red.) berbicara dan menguraikan masalah sangat menarik hati Pram,” ujar Titik.

Pram mengetik kuliah yang disampaikan Natsir dengan rapi, dan mengubahnya menjadi sebuah diktat dan dilaporkannya kepada Natsir. Pram meminta Natsir mengoreksi catatan yang dibuatnya itu karena akan distensil dan meminta izin supaya boleh dijual untuk biaya sekolah. Namun Natsir tidak setuju dan Pram kecewa. “Catatan pakailah sendiri tapi jangan dijual,” ujar Natsir kepada Pram.

Betapa persentuhannya dengan Natsir telah menanamkan banyak hal kepada Pram. “Tauhid dalam Islam tak ada kompromi. Sayang di Indonesia, kata Pram, sinkretismenya terlalu banyak. Dia menekankan bahwa agama itu adalah tauhid, syariat, etos kerja dan harga diri,” jawab Titik kepada Taufiq.

(Dicuil dari tulisan saya di Majalah SABILI edisi khusus Natsir)

Menyelamatkan Penyu Laut

Meski sudah ada UU nomor 27 mengenai konservasi laut, namun perburuan dan bisnis jual-beli penyu yang dilakukan masyarakat belumlah bisa seratus persen dihentikan.

Tradisi pelaut Bugis dan Timor mengenal tradisi berburu penyu. Memakan daging penyu juga menjadi kelaziman di beberapa tempat di pesisir Papua. Di Bali, nelayan setempat bahkan memiliki tradisi mengkonsumsi daging penyu hijau sebagai keperluan adat. Oleh masyarakat Bali penyu dianggap sebagai ulam suci (hewan suci) dan dijadikan sesaji. Tidak heran jika pada tahun 1970-an Bali menjadi pusat konsumsi penyu terbesar di dunia. (Pedoman Pengelolaan Konservasi Penyu dan Habitatnya, Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelauatan dan Perikanan RI)


Untuk warga yang tinggal di pulau-pulau kecil. Telur penyu dan dagingnya bisa digunakan untuk menyambung hidup jika pasokan pangan habis. Sehingga perburuan penyu menjadi hal yang lazim. Tidak hanya untuk dikonsumsi tapi juga diperjual-belikan.

Dalam perburuan penyu, perburuan tidaklah dilakukan di habitat pakannya melainkan di habitat penelurannya. Biasanya, penyu betina-lah yang menjadi sasaran. Ketidakberdayaannya ketika bertelur di pantai membuatnya sangat mudah untuk ditangkap. Tidak hanya si betina dewasa yang di tangkap, telur-telurnya pun dijadikan sasaran juga.

Telurnya kaya gizi. Dagingnya juga dipercaya berkhasiat sebagai obat kecantikan. Kerapasnya yang cantik-cantik pun dijadikan souvenir. Bahkan tidak sedikit kolektor benda seni yang mengawetkan penyu laut dan dijadikan benda seni. Hal inilah yang kemudian membuat binatang berkategori langka ini berharga jual tinggi.

Dari delapan jenis penyu yang ada di dunia, wilayah perairan Indonesia dihuni oleh lima jenis diantaranya. Yaitu penyu Hijau (Chelonia mydas), penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) dan penyu Pipih (Natator depressus).

Berdasarkan Pedoman Pengelolaan Konservasi Penyu dan Habitatnya yang dikeluarkan oleh Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelauatan dan Perikanan RI, menyebutkan bahwa populasi penyu di Indonesia menurun drastis selama dua dekade terakhir. Angka penurunan populasi ini bisa mencapai 80 persen dibandingkan dengan jumlah populasi pada 15 tahun sebelumnya. Hal ini seperti terlihat di lokasi peneluran utama di Aru Tenggara, Kalimantan Timur, Laut Jawa dan tempat-tempat lainnya.

Ada tiga hal yang menyebabkan penyu mengalami penurunan jumlah spesiesnya. Pertama, pengambilan masif penyu dewasa untuk diperdagangkan. Kedua, banyaknya komunitas masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup dari sumber daya laut sebagai sumber pendapatan mereka. Sehingga secara tak sadar, instrumen yang digunakan para nelayan telah membunuh banyak penyu. Contohnya saja jaring Trawling. Ketiga, kurangnya sumber daya dan kapasitas untuk mengatur populasi penyu.

Saat ini, seluruh jenis penyu sudah tercantum dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora) sehingga tidak dapat diperdagangkan. Indonesia, sebagai salah satu penanda tangan konvensi ini juga ikut memunculkan ”fatwa” untuk mengkonservasi binatang yang sudah ada sejak jaman Jura (145 - 208 juta tahun yang lalu) ini.

Pulau Kerabak Ketek
Meski sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, yang melindungi semua jenis penyu, perburuan penyu masih terus berlanjut. Untuk mencegah kepunahannya, banyak daerah mendirikan tempat konservasi di wilayah-wilayah tempat bertelur penyu.

Seperti yang dilakukan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat yang menjadikan Pulau Kerabak Ketek sebagai tempat konservasi penyu sejak 2005. Meski demikian, program konservasi penyu di Pesisir Selatan ini sudah ada sejak 2003 dan dipusatkan di pulau Penyu yang jauhnya 213 mil dari pulau Kerabak Ketek.

Namun lama-kelamaan pulau Penyu dianggap kurang layak karena terlalu ramai dikunjungi masyarakat umum. ”Itu bisa mengganggu penyu yang akan bertelur,” ujar Kasi Pengawasan Perairan dan Biota Laut DKP Kabupaten Pesisir Selatan, Firdaus.

Di Sumatera Barat terdapat sebanyak 32 lokasi pendaratan penyu yang tersebar di Kabupaten Pasaman, Pesisir Selatan, Padang Pariaman dan Kota Padang. Namun dari sekian banyaknya lokasi pendaratan penyu, yang terbesar terdapat di kabupaten Pesisir Selatan. Yaitu Pulau Penyu, Pulau Beringin, Pulau Kerabak Gadang, Pulau Karabak Kecil, Pulau Katang-Katang serta Pulau Gosong.

Ketika pulau Kerabak Ketek diresmikan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), Pemda Pesisir Selatan mengosongkan pulau yang luasnya tidak mencapai 1 hektar ini. Di tempat ini, penyu yang ditangkarkan bisa mencapai 5000 ekor per tahun. “Targetnya 2009 penetasan 6.000 ekor tukik atau baby penyu,” katanya.

Pulau Kerabak Ketek ditempuh selama satu jam perjalanan memecah ombak menggunakan speed boat. Pulau ini sengaja dikelola bukan untuk tempat wisata melainkan sebagai tempat penelitian dan konservasi penyu dan dibiayai APBD ini. “Kita sudah tetapkan ini sebagai tempat konservasi. Kita tidak memperbolehkan masyarakat umum untuk masuk daerah sini,” tegas Firdaus. Kerabak Ketek berjarak sekitar 14 mil atau 30 kilometer ditempuh dari Pelabuhan Penasahan di Painan Selatan, Sumatra Barat.

Sesampainya Sabili dan rombongan DKP di pulau ini, tanda-tanda kehidupan tidak nampak disana. Pulau mungil yang hanya dihuni tiga orang pekerja itu memiliki dermaga yang sudah rusak akibat diterjang gelombang pasang, sebuah menara pandang dan bangunan-bangunan yang selain digunakan untuk tempat aktivitas konservasi juga digunakan untuk tempat singgah para nelayan. ”Kita membangun pondok informasi. Selain itu kita juga membangun WC dan rumah-rumah singgah nelayan,” papar Firdaus.

Dalam penangkaran, nampak empat penyu dewasa berjenis penyu hijau dan penyu sisik yang berenang-renang di kolam penangkaran dan sedang diberi makan ikan-ikan kecil. Keempat penyu ini tidak dilepas lagi ke habitatnya karena khawatir tidak mampu lagi bertahan. Selain itu, terdapat puluhan tukik yang baru menetas pada hari ketika Sabili datang.

Pulau Kerabak Ketek dikelilingi karang, sehingga menyulitkan penyu untuk mendarat. Namun bukan masalah bagi penyu Australia yang pernah mendarat di pulau ini. ”Beberapa waktu lalu ada penyu Australia mendarat disini. Ketahuan dari Australia karena ada tandanya. Kebanyakan tempat konservasi di Australia memberikan tanda tahun berapa mereka menetas dan tahun berapa mereka dilepas. Ada tanggalnya disayap penyu yang naik disini,” jelas Firdaus.

Di Pulau Kerabak Ketek terdapat tiga jenis penyu yang mendarat dan bertelur. Yaitu penyu sisik, penyu hijau dan penyu tempayan. “Tapi yang sering naik kesini itu penyu sisik dan penyu hijau. Penyu rantau atau penyu tempayan jarang naik. Tergantung musim juga,” jelas Agus, salah satu penjaga pulau Kerabak ketek.

Agus juga menjelaskan, penyu-penyu biasanya mendarat pada sore menjelang malam. Kemudian mereka membuat lubang di pasir untuk menetaskan telur-telurnya. Selesai bertelur, betina dewasa menutup lubang tadi dan berenang kembali ke habitatnya. Telur-telur penyu pun dipindahkannya ke tempat yang lebih aman. Agus menggali lubang-lubang sedalam 30 sentimeter yang masing-masing dikelilingi pengaman agar telur tidak dimakan binatang. “Ketika sudah menetas, tukik dipindahkan ke dalam kolam-kolam penangkaran untuk dipelihara sampai berumur tiga bulan. Saat sudah berumur tiga bulan, tukik pun di lepas ke laut,” jelas Agus.

Meski sudah ada UU nomor 27 mengenai konservasi laut, namun perburuan dan bisnis jual beli penyu yang dilakukan masyarakat belumlah bisa seratus persen dihentikan. Pemerintah daerah masih memberikan toleransi kepada masyarakat yang melakukan proses jual-beli penyu. ”Sebenarnya tidak boleh dijual, namun pemerintah masih memberi toleransi. Sejauh ini belum ada yang kena sanksi,” ujar Firdaus.

Namun demikian, pemerintah ikut bertanggung jawab dengan memberikan seruan penyelamatan terhadap hewan langka ini. Pemerintah memberikan seruan kepada masyarakat untuk menetaskan dan melepaskan penyu-penyu ke laut. Kini tinggal bagaimana kita. Mau ikut serta dalam aksi penyelamatan, atau duduk diam sambil menikmati kecantikan penyu laut yang dikeraskan dan dipajang sebagai hiasan?

Kembali Kepada Kearifan Lingkungan Lokal

Dewasa ini, saat negara-negara maju berlomba-lomba menghasilkan gas efek rumah kaca, orang-orang pribumi di seluruh dunia justru sibuk untuk bertahan dan beradaptasi terhadap perubahan iklim yang makin meningkat. Selama ribuan tahun pula, masyarakat asli telah mengembangkan praktik-praktik tradisional untuk melestarikan alam.


Praktik-praktik tradisional inilah yang kemudian dikenal dengan kearifan lokal (local wisdom). Fenomena kearifan lingkungan yang berbasiskan masyarakat ini menurut Witoelar sudah ada sejak zaman pra-sejarah dulu. Menurutnya, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya.

Kearifan lokal ini dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Perilaku ini pun berkembang menjadi sebuah kebudayaan yang hidup di suatu daerah dan berkembang secara turun-temurun.

Seperti halnya apa yang dilakukan masyarakat adat Suku Baduy di Kanekes, Lebak-Banten. Sekilas, Suku Baduy memang tampak sebagai suku yang primitif, miskin dan konservatif. Namun, masyarakat Baduy memiliki metode pengelolaan alam khususnya hutan di kawasan Bumi Baduy. Kesadaran masyarakat Baduy terhadap lingkungan hidup, khususnya dalam menjaga kelestarian hutan dan air sungguh luar biasa. Ada pesan masyarakat adat Baduy yang sampai kini masih di pegang teguh, “Gunung ulah dilebur, lebak ulah dirusak” (Gunung jangan dihancurkan, sawah jangan dirusak).

Pesan moral yang turun temurun itu pun akhirnya membuat anak-cucu keturunan masyarakat Baduy tidak berani mengganggu keutuhan dan kelestarian hutan-hutan titipan. Masyarakat Baduy memiliki kepercayaan bahwa menjaga alam merupakan kewajiban sehingga harus ditaati dengan penuh kepasrahan. Kewajiban tersebut tersirat dalam pegangannya, “Lonjor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” (Panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung).

Ignas Triyono, Pemenang Terbaik Kategori Umum Lomba Opini Hutan Lindung, PP 02/2008 dan Keselamatan Rakyat menulis dalam Belajarlah Lingkungan Hidup ke Bumi Baduy. Tanah di Baduy dibagi menjadi tiga peruntukan; yaitu sebagai lahan perladangan, permukiman, serta hutan lindung. Suku Baduy mempunyai areal yang dijadikan hutan lindung. Hutan lindung berfungsi sebagai areal resapan air. Pepohonan di areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk untuk ladang. Hutan ini juga membantu menjaga keseimbangan air dan kejernihan air di Baduy, terlebih di Baduy Dalam.

Beda Baduy, beda pula Merapi. Menurut para ahli kebudayaan di Yogyakarta, Merapi sering dipahami sebagai salah satu jagad khusus dalam kesadaran masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta. Akhirnya, Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Jateng-DIY ini pun dianggap mistis.

Sudah ribuan tahun Merapi menghidupi banyak perut. Para penduduk asli yang turun temurun tinggal di sekitar Merapi hidup dari bertani. Meskipun bencana berkali-kali terjadi di Merapi, masyarakatnya bersikukuh tinggal di sekitarnya.

Uniknya, acapkali Merapi ”berulah”, masyarakatnya tidak pernah menyebut Merapi ”meletus”. Melainkan ”Eyang Merapi ewuh” (Merapi punya kerja), sehingga memunculkan sikap: ”ojo cedhak-cedhak, ojo ngrusuhi” (jangan mendekat, jangan mengganggu).

”Ojo cedhak-cedhak” (jangan mendekat) tersebut dalam manajemen bencana berbasis kultural dimaknai dengan: berusahalah menghindar dari area yang memungkinkan terkena aliran awan panas (untuk sementara waktu). Di samping itu, setiap terjadi aliran awan panas maupun aliran lahar, masyarakat Merapi terbiasa dengan mengucapkan: ”Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, ya Allah Gusti, berikanlah wilujengan” (baca: keselamatan dari adanya proses vulkanik Gunung Merapi tersebut). Bukan malah berucap: ”Minggir-minggir, awas ada aliran lahar”. Ucapan yang demikian perlu dihindari, demikian kata Mbah Maridjan, Juru Kunci Gunung Merapi di Kinahrejo, Desa Umbulharjo.

Hima dan Harim Zone
Fachruddin Mangunjaya penulis buku Khazanah Alam: Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi mengatakan, salah satu upaya memberikan pendidikan dan contoh praktis tentang kearifan melestarikan alam adalah melalui pendekatan agama Islam.

”Kalau melihat sejarah, Rasulullah dulu membuat daerah konservasi. Pada saat menaklukan kota Makkah, Rasulullah mengatakan ’di antara dua bukit atau gunung ini, tidak boleh ada satu pun yang dibunuh, tidak boleh diganggu, dan kalau ada rusa tidak boleh diburu’,” ujar aktivis Conservation International Indonesia ini kepada Sabili.

Saat ini, menurut Fachruddin, orang mulai melihat lagi kearifan tradisional dalam mengkonservasi alam. ”Termasuk di Timur Tengah, yang ternyata ditemukan kawasan namanya Harim dan Hima. Itu masih ada sampai sekarang,” ujarnya.

Ia melanjutkan, Islam merupakan agama yang mempunyai ajaran dan tradisi yang khas dalam mengajarkan perawatan lingkungan. Salah satu bentuknya adalah perawatan sungai dan fasilitas publik dengan cara penetapan zona larangan (harim zone) di bantaran kali atau sungai dan perawatan pelestarian dengan sistem hima (perlindungan alam asli).

Fachruddin menjelaskan, harim zone mewajibkan setengah dari lebar sungai ke kiri dan ke kanan, terbebas dari bangunan dan membiarkan vegetasi serta tumbuhan bebas sebagai penyangga sungai. ”Selain itu, hal ini untuk membuat daerah resapan sungai. Di zaman Rasulullah pendirian bangunan di bantaran sungai dilarang untuk memelihara ekstensi air,” jelasnya. Tradisi ini dihidupkan kembali sebagai sumbangan pada pemeliharaan lingkungan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Al-Qur’an sebagai sumber pertama (masdar al awwal) mengajarkan bahwa arah pembangunan mestinya diarahkan pada keteraturan yang mengikuti kaidah-kaidah alamiah, dengan kearifan lingkungan berdasarkan kebudayaan masyarakat lokal misalnya. Hal ini tentunya harus dilakukan dengan semangat menjaga keteraturan ekologis dan mengabaikan aspek mistis dari setiap pesan yang diturunkan leluhurnya.

Seperti yang termaktub dalam surat ar-Rum ayat 41 mengenai pentingnya menjaga keteraturan ekologis, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka perbuatannya, agar mereka kembali”. Kita yang membuat kerusakan, maka kita pula yang harus membenahinya.

Emas Coklat Untuk Masa Depan

Hutan-hutan alam “dijual” untuk memenuhi permintaan kertas. Melihat peluang industri kertas bisa mengangkat perekonomian negara, pohon yang ibarat emas coklat pun ditebang untuk tujuan komersial.


Lompatan besar terjadi saat manusia mulai mengenal bahasa tulis. Saat itulah manusia memasuki zaman sejarah. Format awalnya, bahasa tulis diukir pada cetakan-cetakan tanah, daun, batu, daun lontar, kulit, atau kain. Lalu lompatan besar terjadi sekitar abad kedua masehi. Lembaran-lembaran kertas ditemukan di Cina.

Michael H Hart dalam bukunya The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History, menempatkan Tsai Lun (105 SM) pada urutan ketujuh karena ia menemukan kertas. Pada zaman dulu, kegiatan menulis atau pembuatan prasasti dikerjakan pada sebuah lembaran bambu atau di selembar sutra yang disebut chih. Tapi sutra menjadi semakin mahal dan bambu menjadi semakin berat, sehingga tidak tepat lagi untuk digunakan. Tsai Lun kemudian berinisiatif membuat kertas dari kulit pohon, sisa rami, kain bekas, dan jala.

Teknik pembuatan kertas yang menjadi rahasia bangsa Cina selama lima abad kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia. Pada 751, beberapa orang pembuat kertas Cina ditangkap oleh orang-orang Arab. Tak lama, kertas pun di produksi di Timur Tengah. Lalu pada abad 12, orang-orang Eropa mulai belajar membuat kertas dari orang-orang Arab.

Sejak saat itu, kertas menjadi sebuah budaya baru sebagai media yang digunakan untuk memuat bahasa tulisan yang berfungsi untuk menyebarkan pemikiran ataupun informasi. Lantas, pengguna media-media lama seperti cetakan-cetakan tanah, daun, batu, daun lontar, kulit, atau kain beralih ke kertas. Saat ini, kertas sudah menjadi sesuatu yang lazim dalam kehidupan manusia.

Industri kertas pun mulai berkembang pesat. Hutan-hutan alam yang harusnya berfungsi sebagai hutan lindung dan konservasi “dijual” hanya demi memenuhi kebutuhan permintaan kertas tadi. Seperti di Indonesia, sejarah deforesasi dimulai sekitar 1970. Melihat peluang industri kertas bisa mengangkat perekonomian negara, pohon yang ibarat emas coklat pun ditebang untuk tujuan komersial. Selain itu, tingginya harga pulp (bubur kertas) di pasaran semakin membuat para pembuat kebijakan tergiur untuk menjual hasil hutan dan segala produk turunannya. Apalagi di kawasan Asia, saat itu Indonesia memegang peranan penting dalam memasok kebutuhan pulp dan kertas dunia.

Indonesia tercatat sebagai negara yang memiliki areal hutan terluas ketiga di dunia, setelah Brasil dan Kongo. Namun, hutan-hutan di Indonesia belakangan berangsur menggundul. “Terakhir kami catat, pada 2007 ada 2,7 juta hektar hutan di Indonesia. Untuk 2008 tidak kurang dari dua juta hektar. Memang berkurang, tapi bukan berarti ada perbaikan. Memang karena hutannya sendiri sudah berkurang,” ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Eksekutif Nasional yang baru Berry Nahdian Forqan kepada Sabili.

Untuk mengantisipasi hal ini, menurut Mohammad Djauhari dalam ‘Hutan Alam Masih Untuk Industri Kertas’, pemerintah sampai 2009 ini menyediakan kawasan hutan seluas lima juta hektar untuk perluasan dan penyediaan bahan baku kertas atau Hutan Tanaman Industri (HTI). Ia menuliskan, adanya kenyataan Pemerintah masih memperbolehkan penyediaan bahan baku kertas dari hutan alam hingga 2014, dapat dikatakan sebagai tindakan rasional, karena hampir 30 tahun terakhir belakangan industri kertas mengalami over kapasitas.

Jika dikembalikan kepada fungsinya, hutan berlaku sebagai pengikat zat karbon. Aktivis Lingkungan Hidup dari Kanada, David Takayoshi Suzuki menyatakan, pohon-pohon muda tumbuh lebih cepat dan menyerap lebih banyak karbondioksida daripada pohon-pohon tua. Namun demikan, meski pohon-pohon tua paling sedikit mengikat karbondioksida, tapi lebih banyak menyimpan zat ini dalam biomassa-nya.

Temuan mengejutkan pun disampaikan oleh David. 80 persen dari hutan tua di seluruh dunia menghilang, sejalan dengan 95 persen hutan tua di Amerika yang digunakan untuk industri kertas, pulp dan bahan bakar untuk mencukupi permintaan yang meningkat. 37,5 juta hektar are dari hutan hujan hilang secara bertahap.

“Di Kanada, berdasarkan Canadian Forest Sevice, sampai tahun 1980-an hutan-hutan di Kanada masih berfungsi sebagai pengikat karbon. Namun, meningkatnya jumlah kebakaran hutan dan pembabatan hutan untuk industri pulp dan kertas, telah berkontribusi menambah jumlah karbondioksida di udara daripada menguranginya,” tulis David dalam website-nya.

Menurutnya, perusahaan multinasional pulp dan kertas telah menukar virgin fiber dari hutan Taiga Kanada yang terbentang sepanjang 1,6 miliar hektar dari pesisir ke pesisir, yang pada saat itu menutupi Kanada sebesar 53 persen. Virgin fiber ini kemudian diproduksi untuk memenuhi berbagai macam produk pesanan, seperti jaket kulit, media cetak, katalog surat, facial tissue dan kertas toilet.

David juga menyebutkan, Amerika adalah tujuan dari sekitar 80 persen produk hutan Kanada. Perusahaan kayu lokal Kanada telah menebang hutan Taiga yang menyatu dengan hutan Taiga Rusia ini untuk memenuhi permintaan kertas toilet. “Kimberley-Clark adalah salah satu perusahaan yang mengembangkan bisnis kertas toilet dari pohon-pohon hutan Taiga,” ujarnya.

Kurangi Penggunaan Kertas
Produksi kertas yang menghabiskan pohon-pohon di dunia bukanlah dongeng belaka, melainkan fakta. Hal inilah yang akhirnya memunculkan gerakan-gerakan yang mengajak masyarakat dunia untuk mereduksi penggunaan kertas.

Seperti gerakan mengatakan tidak kepada struk ATM. Kenapa? Karena kertas yang digunakan dalam transaksi ATM jika dijumlahkan bisa mengelilingi ekuator sebanyak 15 kali. Ada juga gerakan mengganti penggunaan kertas tisu dengan sapu tangan.

Gerakan mengurangi penggunaan kertas juga berkembang di perkantoran. Seperti mencetak dokumen secara bolak-balik, melakukan presentasi dengan peralatan audiovisual, mengirim dokumen dengan surat elektronik, dan lain sebagainya.

Karena menurut Prof Dr Sudjarwadi dari UGM, satu rim kertas setara dengan satu pohon berumur lima tahun. Menurutnya, setiap ton pulp membutuhkan 4,6 meter kubik kayu, dan satu ton pulp menghasilkan 1,2 ton kertas. Satu hektar hutan tanaman industri (akasia) menghasilkan kurang lebih 160 meter kubik kayu. Nah, jika per tahun diproduksi tiga juta ton pulp, maka membutuhkan 86.250 hektar hutan.

Solusi lain mereduksi penggunaan kertas juga bisa dengan menggunakan kertas daur ulang. Namun, di Indonesia harga kertas daur ulang masih terbilang mahal dibanding kertas biasa yang terbuat dari pohon. Berbeda dengan di Swiss yang menunjukkan komitmennya mengurangi penggunaan kertas dari pohon, dengan meninggikan harga kertas biasa daripada kertas daur ulang.

Dibutuhkan komitmen bersama dari para penghuni bumi untuk mereduksi penggunaan kertas yang terbuat dari pohon. Maka, minimalisir penggunaan kertas dari sekarang atau beralihlah menggunakan kertas daur ulang. Jangan sampai di masa depan, emas coklat menjadi barang langka yang sulit ditemukan dan tidak berguna di tengah kelangkaannya.

Privatisasi Kawasan Pesisir Akibatkan Banjir

Konsumsi yang besar, melahirkan eksploitasi yang besar. Lalu, eksloitasi besar-besaran melahirkan kerusakan akbar. Harga mahal yang harus dibayar untuk sebuah keserakahan.

Januari-Februari ini adalah puncak dari musim hujan di Indonesia. Namun hujan terjadi tidak bersamaan. Hal ini disebabkan adanya lengkung konvergensi atau daerah pertemuan angin berbentuk busur yang ditarik dari garis equator. Berdasarkan lengkung konvergensi ini, daerah Indonesia bagian atas (utara) mengalami puncak musim penghujan lebih dahulu. Seperti Medan, Padang, Kalimantan Barat, Ambon, dan Gorontalo. Sedangkan daerah yang lebih lambat mengalami puncak musim penghujan berada pada wilayah Indonesia Bawah (Selatan) yaitu Kalimantan Selatan, Jawa, Nusa Tenggara.

Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, intensitas curah hujan untuk setiap daerah di Indonesia rata-rata sedang dan tidak terlalu lebat ini tidak mengakibatkan banjir. Meski pada kenyataannya, banjir tetap saja merendam beberapa wilayah di Indonesia, khususnya Jakarta.

Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, Selamet Daroyni, banjir yang kerap terjadi di Jakarta karena tiga hal, yaitu banjir karena curah hujan, banjir rob dan banjir kiriman dari Bogor. “Curah hujan yang tinggi pada Desember sampai Februari telah menyebabkan banjir. Karena dari 2 miliar meter kubik air, hanya sekitar 26,6 persen atau 532 juta meter persegi yang bisa terserap tanah,” ujarnya.

Namun yang terparah adalah banjir rob. Banjir yang terjadi akibat meluapnya air laut karena pemanasan global maupun rusaknya eksosistem alami pesisir ini datangnya tak terduga seperti tamu tak diundang. Banjir yang kerap terjadi di pesisir utara Jawa seperti Jakarta, Tangerang, dan Semarang ini salah satu pemicunya adalah akibat privatisasi pantai yang dilakukan oleh para pengembang yang melakukan berbagai aktivitas di pesisir pantai. “Padahal, dalam 100 kali jarak pasang surut air laut, baik saat tinggi maupun rendahnya, tidak dibolehkan ada aktivitas apa pun di sekitarnya. Karena itu adalah daerah konservasi,” ujar Riza Damanik, mantan Walhi Eks-Nas yang saat ini menjadi Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

Seperti kasus reklamasi Teluk Jakarta yang disulap menjadi bisnis properti oleh pengembang PT Pembangunan Jaya Ancol Jakarta Baycity. Tahun 2006 lalu Walhi sempat melakukan peringatan hukum atas proses pemasaran properti dan kavling di area yang telah direklamasi di Ancol Barat (Marina Coast Royal Residence dan Marina Business Center).

Menurut Walhi terdapat kurang lebih 70 KK nelayan Ancol Barat, di sepanjang pesisir pantura akan terancam kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian dan akses ke tempat usaha dengan ada kehadiran properti/proyek reklamasi. Ribuan nelayan akan terlanggar hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, berdasarkan kovenan Internasional mengenai hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagaimana yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No 13 Tahun 2006.

Proyek Reklamasi dan Rusaknya Kawasan Pesisir Jakarta
Proyek Reklamasi dianggap hanya akan menimbulkan kerugian ekologis yang lebih besar. Rusaknya tanaman mangrove di Muara Angke, hancurnya padang lamun dan terumbu karang, hilangnya ratusan macam ikan, kerang, kepiting adalah imbas dari proyek reklamasi ini. Juga, ekosistem estuaria yang selama ini mampu mengabsorpsi berbagai polutan dari Jakarta, hutan bakau sebagai tempat bertelur dan habitat ikan-ikan kecil (nursery) dan hutan mangrove penangkal abrasi dan lainnya akan digantikan oleh tumpukan pasir dan beton.

Proyek Reklamasi juga dianggap semakin memicu bencana ekologis di Jakarta, yaitu banjir. Proyek Reklamasi meningkatkan potensi banjir. Karena reklamasi akan mengubah struktur geografis dan hidrografis wilayah yang berlangsung ratusan tahun. Seperti tingkat kelandaian, komposisi material angkutan 13 sungai, gerakan pasang surut, arus laut, dan sebagainya. Di sisi lain aliran sungai akan terhambat, peninggian muka air, hilangnya fungsi daerah tampungan, merusak tata air seluas 10.000 ha.

Pengambilan bahan urug untuk reklamasi juga akan menghancurkan ekosistem kawasan penyanggah Jakarta. Karena dibutuhkan 330 juta meter kubik bahan urug dari darat dan laut. Selain itu, 16 juta jiwa yang tinggal di wilayah hasil reklamasi tentu akan menghasilkan limbah padat (sampah domestik) yang luar biasa banyak.

Kawasan pesisir mengalami dua ancaman besar. Pertama, tingginya tingkat pencemaran di kawasan pesisir yang setiap hari digelontori limbah sebanyak 1,3 juta meter kubik. Kedua, banjir rob yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. “Berdasarkan penelitian dari tahun 1984 sampai 2002 air laut meningkat 8 milimeter setiap tahunnya. Banjir rob saat ini meningkat sampai 1,5 sampai 2 meter,” jelas Selamet.

Selamet menilai pemerintah tidak konkret dalam mengelola kawasan pesisir Jakarta. Skema reklamasi yang ada pada Keppres nomor 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, dipandang tidak sesuai dijadikan solusi untuk menangani kawasan pesisir. “Terminologi reklamasi yang ditawarkan pemerintah malah mengomersialisasikan kawasan pantai. Pemerintah malah memberikan akses untuk melakukan kegiatan privatisasi. Seperti Pantai Indah Kapuk yang menghabiskan 831 hektar kawasan pesisir,” ujar Selamet Daroyni.

Menurut Selamet, tidak ada korelasi antara proyek reklamasi yang dilakukan dengan upaya untuk mengurangi bencana banjir. Karena keuntungan yang di dapat pemerintah tidak seimbang dengan kerugian yang diderita oleh masyarakat daerah pesisir. “Misalnya pemerintah untung 1 miliar, tapi masyarakat dan lingkungan pesisir rugi mencapai 3 miliar,” lanjut Selamet.

Para pengembang telah mengubah hak publik dari pantai yang seharusnya bisa diakses oleh umum menjadi sesuatu yang privat. Pantai diperjualbelikan dan disulap menjadi tempat tinggal, bahkan didirikan pusat perniagaan. Nelayan tidak bisa lagi berlayar. “Misalnya seperti yang terjadi di pantai Ancol atau di Mutiara Residence. Masyarakat tidak mendapat keuntungan dari sistem pengelolaan yang memberikan hak privatisasi kepada para pengembang. Masterplan banjir tidak mengakomodir upaya mitigasi atas ancaman banjir rob,” jelas Selamet.

Beberapa poin solusi pun coba disampaikan. Selamet menyatakan karena Indonesia adalah negara rawan bencana, maka pemerintah perlu untuk memberi alokasi anggaran khusus untuk lingkungan hidup. Kemudian, ia juga mengharapkan agar pemerintah memasukkan penanganan bencana ke dalam agenda penataan ruang kota.

Saat ini, pemerintah telah mengesahkan Perpres nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur). UU ini dijadikan payung hukum bagi penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur sebagai suatu kesatuan ekologis. Masyarakat berharap banyak kepada peraturan yang menggantikan Keppres nomor 52 tahun 1995 untuk mengubah paradigma pemerintah agar lebih mengedepankan pengelolaan lingkungan hidup.