Tampilkan postingan dengan label Sorotan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sorotan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Januari 2011

Pulitzer

Siapa yang tak tahu Pulitzer? Pulitzer merupakan sebuah penghargaan bergengsi yang diidamkan insan pers di Amerika. Meski penganugerahannya saat ini dilaksanakan setiap bulan April, penghargaan ini genap berusia 94 tahun pada Juni mendatang, sejak diberikan pertama kali pada 4 Juni 1917. Penghargaan ini diprakarsai oleh seorang jurnalis dan penerbit surat kabar warga AS yang lahir di Hungaria pada 10 April 1847, Joseph Pulitzer.

Joseph Pulitzer awalnya seorang tentara Kerajaan Austria yang diberhentikan karena memiliki masalah kesehatan. Kemudian pada 1884, ia beremigrasi ke AS dan menjadi anggota ketentaraan yang berdinas dalam Perang Sipil Amerika (1861-1865). Usai perang, ia bergabung menjadi wartawan pada sebuah koran harian berbahasa Jerman, Westliche Post sebagai awal karir jurnalistiknya.

Selain dikenal sebagai jurnalis pada masanya, Pulitzer juga merupakan seorang pengusaha media. Beberapa media pernah dibelinya, yang kemudian dirombak habis-habisan olehnya. Seperti pada 1872 saat Pulitzer membeli surat kabar Post seharga USD 3.000 dan menjualnya setahun kemudian dengan harga berlipat. Lalu pada 1879, ia membeli surat kabar St. Louis Dispatch dan St. Louis Post yang kemudian digabungkannya menjadi St. Louis Post-Dispatch, dan kemudian dirubah namanya lagi menjadi koran St. Louis saja.

Pada 1882, Pulitzer mengakuisisi surat kabar New York World. Awalnya surat kabar ini mengalami defisit sebesar 40 ribu USD. Pulitzer lantas merombak habis-habisan arah pemberitaan surat kabar tersebut dan mengisi halaman-halaman New York World dengan sajian-sajian berita human-interest, skandal, gosip dan berita-berita sensasional lainnya, yang belum pernah dilakukan oleh media massa lain pada saat itu. Setelah dikelolanya, surat kabar ini berhasil meraup keuntungan sebesar 346 ribu USD dalam setahun.

New York World mendapat pesaing baru pada 1895, yaitu surat kabar New York Journal yang dimiliki oleh William Randolph Hearst. Selama tiga tahun terjadi persaingan hebat diantara keduanya. Masing-masing menyajikan berita-berita murahan yang cenderung bombastis, sensasional serta kontroversial demi oplah. Persaingan inilah yang kemudian oleh kalangan pers Amerika disebut dengan istilah jurnalisme (koran) kuning.

Pulitzer adalah penghargaan paling bergengsi untuk insan pers Amerika yang setaraf dengan penghargaan Grammy maupun Oscar. Demi mendapatkannya, insan pers Amerika saling berlomba memberikan yang terbaik dalam proses pencarian maupun penyajian karya jurnalistiknya.

Meski demikian, Pulitzer juga kerap kali mengundang kontroversi. Seperti kesalahan dalam penganugerahan karya; entah karena karyanya termasuk palsu, sarat penipuan fakta ataupun menimbulkan perdebatan. Sebut saja skandal wartawan Wahington Post Janet Cooke yang menyabet Pulitzer pada 1981. Ceritanya yang berjudul Jimmy's World ternyata diakuinya sebagai cerita bohong. Washington Post pun lantas mengembalikan penghargaan tersebut.

Tahun 1994, jurnalis Kevin Carter meraih Pulitzer atas fotonya yang kontroversial. Awalnya ia berangkat ke Sudan pada 1993 untuk mengambil foto pemberontakan. Namun bencana kelaparan lebih menarik minatnya. Sampai ia kemudian mengabadikan momen seorang gadis kecil kurus kering yang didatangi burung bangkai. Burung itu seolah menunggu kematian perlahan sang gadis kecil.

Meski menang penghargaan Pulitzer, Kevin ternyata terkena tekanan jiwa. Dunia mengecamnya karena tidak menolong gadis kecil tersebut, melainkan mengabadikan momennya. Akhirnya ia bunuh diri akibat rasa bersalahnya. Dan keputusannya mengabadikan momen ini menjadi perdebatan seru dalam dunia jurnalistik, apakah mendahulukan profesi atau sisi kemanusiaan?

Pada 1997, Eileen McNamara dari Boston Globe, ternyata tak benar-benar menghadiri acara “Hari Penyesalan Dosa” yang berlangsung di Salem. Namun dalam kolomnya, McNamara menulis seakan-akan ia ada disana. Setelah penghargaan diberikan dan banyak pihak melakukan verifikasi fakta, ternyata McNamara tidak benar-benar ada disana.

Pada 1998, Peter Arnett dari CNN terbukti keliru ketika saat membuat liputan tentang penggunaan gas saraf oleh tentara Amerika di Vietnam. Arnett melaporkan bahwa tentara Amerika juga menggunakan gas itu terhadap mereka yang desersi. Namun laporannya terbukti tak akurat, hingga ia pun menerima sanksi disiplin.

Berbagai skandal Pulitzer ini menunjukkan bahwa memang tak ada hal yang sepenuhnya sempurna. Seperti yang ditulis bekas atasan Janet Cooke, yang seorang editor Washington Post Benjamin C. Bradley dalam otobiografinya, ”(Skandal Cooke) ini ibarat salib abadi yang harus terus dipikul oleh jurnalisme.”

Kamis, 23 Desember 2010

Tirto Adhi Soerjo

Pramoedya Ananta Toer dalam karya biografinya Sang Pemula menulis, “Seperti jamak menimpa seorang pemula, terbuang setelah madu mulia habis terhisap, sekiranya ia tak mulai tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia, bagaimana sebuah nation seperti Indonesia akan terbentuk?”

Ini adalah tentang Djokomono Tirto Adhi Soerjo. Tokoh yang dikagumi Pram ini adalah salah seorang pendiri Syarikat Dagang Islam (SDI), yang kemudian dinobatkan menjadi Bapak Pers Nasional pada 1973. Seorang jurnalis pribumi pertama yang mampu menulis dengan bahasa Melayu lingua franca yang lahir di Blora pada 1880. Bahkan Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak menyebut Tirto sebagai pribumi pertama yang mampu menggerakkan bangsa melalui bahasanya lewat Medan Prijaji. Kisah hidupnya tidak hanya diabadikan oleh Pram dalam Sang Pemula, tetapi juga dalam Tetralogi Buru.

Ia memiliki cita-cita untuk membuat surat kabar sendiri. Namun cita-citanya selalu kandas karena masalah dana. Hingga pada 1903, dengan bantuan modal Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja, Tirto berhasil mendirikan surat kabar Soenda Berita. Soenda Berita adalah surat kabar pertama yang seluruh pekerja mulai dari pengasuh, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.

Pada 1907, ia mendirikan Medan Prijaji – sebuah mingguan berformat 12,5 x 19,5 cm, dengan tebal 22 halaman. Setahun kemudian, mingguan Medan Prijaji berubah menjadi harian. Tirto memiliki gaya jurnalistik sendiri; yang radikal dan penuh sindiran. Ia banyak menulis tentang berbagai penyelewengan dan kesewenangan yang dilakukan pemerintah kolonial dan para kaki tangan pribumi. Tulisan-tulisannya kerap membuat pemerintah kolonial murka. Bahkan lantaran tulisannya tentang penyalahgunaan jabatan di sebuah daerah, Tirto pernah terkena delik pers dan dibuang ke Lampung selama tiga bulan.

Pada 1907 ia juga mendirikan Sarekat Prijaji (SP), organisasi pribumi pertama yang kemudian berubah menjadi SDI untuk mengorganisir para pedagang batik yang berbasis di Solo. SDI kemudian berkembang pesat dan berubah menjadi Syarikat Islam (SI).

Tirto ternyata juga peduli dengan gerakan pencerdasan perempuan. Hingga pada 1908, ia merintis pendirian surat kabar Poeteri Hindia. Poeteri Hindia melahirkan nama seperti Siti Soendari yang dikenal sebagai sosok aktivis politik perempuan pribumi pertama. Sementara di Sumatra Barat muncul Rohana Koedoes, yang mendirikan koran Sunting Melayu. Menurut Tirto, kemajuan gerakan perempuan tidak hanya melalui koran tetapi juga harus dimulai dari sekolah. Mantan ketua SI Bogor ini menjadi donatur tetap sekolah perempuan di Jawa Barat yang didirikan oleh Dewi Sartika.

Medan Prijaji pernah mencapai puncaknya pada 1909-1912. Jumlah pelanggannya mencapai 2.000 orang. Namun pemerintah kolonial yang tidak suka melakukan “serangan-serangan” yang meruntuhkan Medan Prijaji secara perlahan. Omsetnya terus merosot, setoran macet, bahkan beberapa perusahaan menolak untuk pasang iklan.

Akhirnya Medan Prijaji tak mampu melunasi biaya percetakan. Hingga pada Agustus 1912, Medan Prijaji pun akhirnya gulung tikar. Tirto kemudian ditahan karena tak mampu melunasi tunggakan hutang-hutangnya. Ia dihukum dengan dibuang ke Ambon pada 1913 dan wafat pada 7 Desember 1918. Pram menulis, “Semua yang dibangunnya runtuh. Juga nama baiknya. Yang tinggal hidup adalah amal dan semangatnya.”

Ki Hajar Dewantara pada 1952 pernah mencatat Tirto dalam buku kenang-kenangannya. Ia menulis, "Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirto Adhi Soerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan jurnalistik."

Sementara Sudarjo Tjokrosisworo dalam Sekilas Perjuangan Suratkabar (terbit November 1958) menggambarkan Tirto sebagai seorang pemberani. “Dialah wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirto Adhi Soerjo disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan.”

Tirto adalah muslim pribumi pertama perintis dunia media di Indonesia. Bahkan ia juga salah satu tokoh aktivis Islam yang juga concern terhadap perjuangan pergerakan nasional Indonesia. Melaluinya, bahasa Melayu menjadi bahasa nasional, yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Namun akibat ketidaksukaan pemerintah kolonial terhadap geliatnya, kiprah serta kontribusinya pun dilupakan. Seperti seorang penyair Cekoslovakia Milan Kundera pernah berkata, “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.”

Jumat, 10 Desember 2010

Jurnalisme ala WikiLeaks

WikiLeaks adalah fenomena. Disaat kebanyakan media massa memilih untuk memposisikan diri menjadi corong politik dan kekuasaan, WikiLeaks tidak. Namun, apakah sebenarnya WikiLeaks itu? Termasuk kerja jurnalistikkah?

Dalam websitenya yang telah berganti alamat server beberapa kali, WikiLeaks mengakui dirinya sebagai sebuah organisasi media non profit yang memiliki tujuan untuk menyajikan berita-berita penting dan informasi kepada publik. Resminya, organisasi yang mengembangkan dan mengadaptasi teknologi untuk mendukung aktivitasnya ini, berdiri sejak 2007. Mereka bekerja berdasarkan prinsip freedom of speech dan penerbitan media.

Organisasi ini mengadopsi artikel 19 dari Universal Declaration of Human Rights yang menyebutkan, semua orang memiliki hak untuk bebas mengeluarkan pendapat dan berekspresi; yang bagi mereka sama artinya dengan bebas untuk memiliki pendapat tanpa gangguan, untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi serta buah pikiran melalui media apa saja, tanpa batas.

Situs yang membongkar ratusan ribu dokumen rahasia militer Amerika ini dipuji sebagai masa depan dari jurnalisme investigatif. Bahkan profesor jurnalisme pada Universitas George Washington, Mark Feldstein, dalam American Journalism Review edisi September menyebut WikiLeaks menggugat ketidakmampuan media dalam mengungkap penyimpangan kekuasaan. "Manakala jurnalisme tak mampu mengungkap penyelewengan, maka aktivis-aktivis anti penyalahgunaan wewenang bakal mengambilalih peran itu. Kadang dengan mempengaruhi peristiwa-peristiwa lewat cara-cara yang tak pernah terpikirkan politisi," kata Feldstein.

Sang Direktur WikiLeaks, Julian Assange sendiri menginginkan standar baru dalam jurnalisme. "Saya ingin menciptakan standard baru, yaitu jurnalisme ilmiah," kata Julian Assange. Sebuah laporan jurnalistik yang bersumber dari sumber-sumber terpercaya yang bisa dicek dan diverifikasi.

Selain itu Assange bercita-cita menjadikan WikiLeaks sebagai penengah antara sumber-sumber berita dan pihak media masssa. “WikiLeaks menyediakan sebuah hubungan alamiah antara seorang jurnalis dan seorang sumber. Dengan kami bertindak sebagai penengah, merupakan fungsi terbaik yang dapat kami lakukan,” ujar wartawan dan hacker berkewarganegaraan Australia ini.

Situs yang membeberkan 90 ribu dokumen perang Afganistan ini bukan saja dihasilkan dari aktivitas meretas kode enkripsi saja, melainkan juga melakukan “cara lama” dalam metode pelaporan beritanya. Seperti mengirimkan dua wartawannya ke Baghdad untuk menyelidiki serangan pada 2007. Para wartawan yang dikirim melakukan verifikasi dengan mewawancarai para saksi dan anggota keluarga korban yang tewas serta terluka. Ada proses cek dan ricek yang dilakukan WikiLeaks; meski dalam kebijakannya, nara sumber tak disebutkan dalam laporannya alias dilindungi oleh redaksi WikiLeaks.

Tidak hanya perang Afganistan, 400 ribu dokumen perang Irak yang dimulai pada 1 Januari 2004 sampai 31 Desember 2009 pun dibeberkan. Disebutkan 109 ribu orang meninggal dunia, dan lebih dari 60 pesennya adalah warga sipil. Berdasarkan dokumen WikiLeaks, stasiun televisi Al Jazeera bahkan membuat program khusus “The Secret Iraq Files”, hasil kerja sama dengan Biro Jurnalisme Investigatif London. Mereka menyimpulkan bahwa Amerika telah menyembunyikan fakta dari pengawasan publik.

Film dokumenter ini “berkisah” tentang wanita hamil yang ditembak mati saat berada di lokasi pemeriksaan, para imam yang diculik dan dibunuh, dan penjaga penjara Irak yang menggunakan listrik dalam metode interogasinya. Pihak Al Jazeera berprinsip, meski sifat dari informasi ini rahasia, namun sangat penting untuk diketahui publik.

Dari aksi-aksinya yang heroik dalam mengungkapkan fakta, WikiLeaks ternyata menginspirasi para jurnalis untuk membuat Wikileakas versi Indonesia. Dalam sebuah situs internet, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Wahyu Dhyatmika menyatakan, ia berharap situs itu dapat menjadi outlet alternatif bagi para jurnalis untuk menerbitkan dokumen atau bukti sensitif yang dianggap terlalu “berbahaya” untuk diterbitkan di media tempat mereka bekerja. Namun, mungkinkah hal ini bisa berlaku di Indonesia, sementara kelak (jika disahkan) akan muncul seperangkat aturan bernama UU Rahasia Negara?

Kamis, 11 November 2010

Dilarang Sembarang Berkicau

Bencana yang sedang melanda Indonesia saat ini tak luput dari perhatian media massa tanah air yang saling berlomba memberitakannya. Headline media cetak setiap harinya selalu diisi dengan perkembangan mutakhir dari bencana dan penanganannya. Sementara media elektronik macam radio dan televisi lebih up date dengan laporan langsung pandangan matanya. Apalagi televisi, yang bisa menyajikan gambar live dari lokasi kejadian. Ini membuat sang tabung kaca tak henti-hentinya menyajikan tayangan berita bencana tersebut dengan berbagai angle-nya.

Namun ternyata hal ini pun menimbulkan kejenuhan pemirsa karena berita yang ditayangkan kerap dianggap “berlebihan”. Sehingga pemirsa pun melayangkan komplain ke stasiun televisi yang bersangkutan dengan menggunakan jejaring sosial, seperti Twitter.

Namun ternyata, salah satu televisi swasta yang bersangkutan tidak terima mendapatkan kritik pemirsa, sehingga melakukan “pembelaan” atas komplain pemirsa. Stasiun televisi swasta itu pun membuat status yang tidak bertahan lama karena kemudian dihapus. Status itu berbunyi: “Kami memang sedang fokus meliput bencana. Mohon maaf kepada pemirsa yang terus memaki kami. Silakan pindah saluran hiburan atau lawak” (Oct 27, 2010 19:24, from TweetDeck). Setelahnya, serangan makian pun kembali terjadi, bahkan lebih tidak beradab lagi.

Sebelumnya, surat kabar Washington Post yang berdiri pada 1877 pernah melayangkan memo kepada staf redaksinya. Memo itu berisi larangan kepada para jurnalis Washington Post untuk menjawab kritik publik melalui akun Twitter perusahaan maupun pribadi dengan mengatasnamakan perusahaan.

Ricuh itu bermula ketika Post menerbitkan sebuah artikel dari penulis tamu, Tony Perkins. Dalam artikelnya Perkins menuliskan pendapat pribadinya mengenai sejumlah aksi bunuh diri remaja di Amerika Serikat akibat bullying karena dirinya gay. Menurut Perkins dalam artikelnya, homoseksualitas merupakan masalah kesehatan mental. Tak ayal pendapat tersebut membuat aktivis kelompok pembela kaum gay, GLAAD (The Gay and Lesbian Alliance Against Defamation) melancarkan “serangan” kepada Post melalui jejaring sosial Twitter dan situs mereka.

Merasa protes semakin ramai, staf redaksi Post melakukan upaya pembelaan diri dengan mengatakan bahwa artikel Perkins hanyalah “sisi lain” dari wacana gay itu sendiri. Namun pembelaan ini justru menyulut protes yang lebih besar lagi. Para aktivis GLAAD itu menyatakan: “There are not “both sides” to teen suicide issue” (tidak ada dua sisi dalam masalah bunuh diri remaja ini). Protes dilayangkan masih di media sosial yang sama, Twitter.

Menanggapi kericuhan ini, Redaktur Pelaksana Washington Post Raju Narisetti akhirnya membuat penjelasan khusus:

“Pekan ini, beberapa staf post merespons kritik dari luar melalui akun Twitter perusahaan mengenai isu kontroversial yang kami terbitkan secara online. Keinginan untuk membalas adalah untuk membela keputusan menerbitkan artikel tersebut, tapi itu malah menyesatkan kedua pihak dalam menggambarkan rasionalisasi untuk menerbitkan artikel tersebut dan sebagai bahan praktik. Pernyataan itu tidak seharusnya dikeluarkan.

Bahkan ketika kita mendorong semua orang dalam ruang berita untuk merangkul media sosial dan alat-alat yang relevan, amatlah penting untuk mengingat bahwa tujuan dari akun Post adalah untuk digunakan sebagai platform untuk mempromosikan berita, membawa dan meningkatkan keterlibatan pembaca dengan isi Post. Tidak ada akun Post yang harus digunakan untuk menjawab kritik dan berbicara atas nama Post, sebagaimana Anda harus mengikuti pedoman jurnalistik kami untuk tidak menggunakan akun sosial media pribadi untuk berbicara atas nama Post.

Mungkin akan berguna untuk memikirkan masalah seperti ini: ketika kita menulis cerita, pembaca kita bebas untuk merespon dan kita menyediakan tempat untuk melakukannya. Kita kadang-kadang melibatkan mereka dalam percakapan verbal pribadi, tapi begitu kita memasuki perdebatan pribadi melalui media sosial, ini akan setara dengan memungkinkan pembaca untuk menulis surat kepada editor dan kemudian memberikan bantahan melalui reporter. Ini sesuatu yang tidak kita lakukan.”

Hal serupa juga pernah terjadi sebelumnya, ketika Terry Moran dari ABS dalam Twitternya pernah menyebut Presiden Obama dengan sebutan “jackass”.

Ini adalah sebuah pelajaran tentang bagaimana sebaiknya wartawan dan perusahaan media menggunakan media sosial untuk menunjang tugas jurnalistiknya. Memo yang dikeluarkan Post adalah sebuah kewajaran, dan memang begitulah seharusnya sebuah media memposisikan dirinya. Media massa menggunakan jejaring sosial sebatas untuk mempromosikan berita-beritanya, menggiring khalayak mengunjungi situs serta meningkatkan traffic. Bukan sebagai tempat terjadinya perdebatan pribadi antara wartawan dengan khalayaknya ataupun narasumbernya, apalagi dengan mengatasnamakan perusahaan media tempatnya bekerja.

Tidak heran jika kemudian perusahaan media dewasa ini mulai bersikap keras dan mengeluarkan aturan perusahaan yang membatasi wartawannya untuk “berkicau” di jejaring sosial manapun. Karena sikap wartawan belum tentu sejalan dengan sikap perusahaan medianya. Dan tentu saja, semua aturan ini dibuat semata-mata untuk menjaga integritas produk jurnalistik dari perusahaan media yang bersangkutan.

Media Membingkai Perempuan

Apa yang terbersit di dalam kepala kalau kata ‘perempuan’ disebutkan? Cantik, lembut, keibuan, manja, kuat, dan lain sebagainya. Berbagai visualisasi akan muncul manakala kata ini terlontar, bahkan tidak sedikit juga yang seksis. Lalu bagaimana jika pencitraan tadi dilakukan oleh media massa?

Guru Besar Ilmu Komunikasi UI Ibnu Hamad (2007) menyebutkan, media menghadirkan citra dari suatu obyek kepada konsumennya melalui suatu proses yang disebut konstruksi realitas sosial. Media kemudian “mengangkat” obyek tersebut sebagai realitas alamiah (first reality) kedalam bentuk realitas media (second reality), hingga proses tersebut menghasilkan produk media yang disebut discourse (wacana).

Ada citra positif, ada citra negatif. Ada discourse, ada discourteous. Dimana pendapat umum negatif (discourteous) ini mewujud dalam bentuk wacana tidak senonoh dengan motif fitnah, pornografi, penghinaan, dusta, dan sebagainya. Tujuannya adalah melakukan pembunuhan karakter (character assassination).

Visualisasi mengenai perempuan tadi merupakan sebuah citra (image) atau kesan yang ditangkap oleh orang perorang mengenai suatu obyek, dalam hal ini obyek tersebut adalah perempuan. Namun kesan kita terhadap obyek tersebut tergantung kepada kondisi internal kita, seperti suasana hati, motif, dan pemahaman. Hal inilah yang kemudian membuat sebuah obyek bisa bernilai positif ataupun negatif di mata kita, termasuk perempuan.

Banyak yang menyebutkan bahwa perempuan adalah makhluk marjinal sehingga kerap mendapatkan diskriminasi. Seperti halnya yang terjadi di dunia media modern dewasa ini yang masih melakukan praktik diskursif terhadap perempuan melalui berbagai kontennya; baik di dalam konten berita, hiburan, maupun iklan. Melalui sarana efektif ini (media), ideologi patriarki yang (katanya) masih mendominasi publik ini pun melakukan proses stigmatisasi, baik secara halus (dalam diksi) maupun kasar (melalui gambar) terhadap perempuan.

Koordinator Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Rach Alida Bahaweres menyebutkan, media massa dalam pemberitaannya masih mengeksploitasi kaum perempuan, bahkan cenderung melecehkan. “Dari hasil penelitian menunjukkan perempuan masih menjadi objek eksploitasi pemberitaan media massa. Beritanya bernuansa melecehkan, bahkan terkadang menyalahkan keberadaan kaum perempuan," ujarnya dalam sebuah sarasehan bertajuk “Bahasa Media Massa dan Kesetaraan Gender” di Yogyakarta medio April 2010 silam.

Menurutnya, diksi atau pemilihan kata yang digunakan media dalam memberitakan perempuan acapkali memposisikan perempuan sebagai objek eksploitasi. Contohnya seperti penggunaan kalimat pasif dalam berita di surat kabar yang sering memposisikan perempuan sebagai korban yang memang seharusnya menimpa mereka. Seperti kata ‘digarap’ dalam sebuah berita mengenai tindak kriminal perkosaan menjadikan perempuan bermakna sebagai ‘lahan garapan’.

Belum lagi dengan tayangan iklan yang kerap menghiasi layar kaca. Dimana dalam tayangan iklan tubuh perempuan kerap dieksploitasi secara vulgar untuk menjajakan berbagai produk kecantikan dan kesehatan. Bahkan tidak sedikit juga produk yang tidak ada hubungannya dengan perempuan “memanfaatkan” perempuan sebagai modelnya.

Sehingga tidak mengherankan jika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) – sebagai salah satu elemen negara yang mengawasi media massa penyiaran – kemudian mendesak untuk secepatnya melaksanakan revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Beberapa diantaranya adalah pada butir-butir yang mengatur tentang anak, perempuan dan iklan. Revisi ini diharapkan dapat melindungi perempuan (dan anak) dari beragam bentuk eksploitasi yang dikenakan kepadanya, baik yang tersurat maupun tersirat.

Jumat, 03 September 2010

Standar Kompetensi Wartawan

Mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja pernah menyebutkan, imbas reformasi adalah terjadinya booming media massa. Sedikitnya ada 300 media cetak, 800 radio, dan tujuh stasiun televisi, dan kesemuanya meningkat pesat jumlahnya sampai hari ini. Tidak mengherankan, sebab sebelum reformasi, ada Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang telah membatasi pertumbuhan pers.

Atmakusumah melanjutkan, warna dari media massa yang menjamur inipun bermacam-macam. Dari yang benar-benar media massa dengan berpatokan kepada standar-standar jurnalisme profesional, sampai dengan media massa ala kadarnya yang mengandalkan sensasi dalam pemberitaan.

Namun ternyata tak hanya media massanya yang bertumbuh, jumlah wartawan pun makin banyak. Mulai dari yang pendidikannya murni jurnalistik, sampai lintas jurusan. Dunia wartawan dengan jaringan dan akses yang bisa ditembusnya, telah menggoda banyak pihak dari berbagai jenjang pendidikan untuk menekuninya. Sehingga banyak orang ikut-ikutan terjun ke dalam dunia ini dengan mengabaikan profesionalitas, intelektualitas dan kode etik.

Hal inilah yang kemudian menumbuh suburkan apa yang disebut dengan fenomena ‘wartawan bodrex’ alias wartawan gadungan. Wartawan yang tidak memiliki media resmi, yang hanya bermodalkan kartu identitas palsu kemudian melakukan aktivitas wartawan sebagaimana lazimnya; namun diikuti modus yang berlaku dibaliknya, yaitu intimidasi dan teror kepada narasumber atas nama pers.

Melihat fenomena wartawan bodrex, tidak mengherankan jika kemudian Rosihan Anwar pernah menyebutkan dalam Menulis dalam Air (1983); bahwa profesi wartawan menjadi suatu keranjang sampah tempat menampung orang-orang yang putus sekolah, setengah gagal, setengah intelektual, setengah putus asa.

Permasalahan dunia pers pasca reformasi bukan pada tingkat SDM-nya atau wartawannya saja, tetapi juga pada perusahaan pers. Menurut Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, dari 829 perusahaan pers yang ada saat ini hanya 30 persen saja yang sehat bisnis, selebihnya tidak sehat secara bisnis. Masih menurut Leo, perusahaan pers yang baik harus memenuhi standar profesional, seperti; memiliki kompetensi sebagai pebisnis media, mengoperasikan SDM yang memenuhi standar kompetensi, memiliki atau minimal mampu menyewa peralatan yang diperlukan dan memiliki modal yang cukup.

Demi memenuhi standar profesionalisme tersebut, khususnya dalam hal kompetensi wartawan, Dewan Pers saat perayaan Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2010 di Palembang me-launching Standar Kompetensi Wartawan. Standar Kompetensi Wartawan ini berisi rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan.

Kompetensi, menurut Dewan Pers dalam buku "Kompetensi Wartawan", Pedoman Peningkatan Profesionalisme Wartawan dan Kinerja Pers, mencakup beberapa aspek. Yakni aspek penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan kesadaran. Ketiga aspek itu, diperlukan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kesadaran mencakup di dalamnya, etika, hukum dan karir.

Sementara dalam suatu kesempatan, Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Prof DR Moestopo, DR Gati Gayatri, menjelaskan apa yang dimaksud dengan "Kompetensi Wartawan". Menurutnya Kompetensi Wartawan merupakan kemampuan seorang wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan dan tanggung jawab sesuai tuntutan profesionalisme yang dipersyaratkan.

Standar Kompetensi Wartawan ini dianggap penting penerapannya di Indonesia untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan Indonesia, termasuk menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan. Selain itu, Standar Kompetensi Wartawan ini juga dapat digunakan sebagai bahan acuan sistem evalusi kinerja wartawan oleh sebuah perusahaan pers untuk menentukan kualitas awak redaksinya. Sehingga produk jurnalistik dari perusahaan pers tersebut pun bisa dipertanggungjawabkan tidak hanya secara fakta, tapi juga secara profesi.

Kamis, 05 Agustus 2010

Konvergensi Media

Beberapa waktu lalu sempat didengungkan wacana era Gutenberg telah usai dan media massa nasional mulai beralih menjajaki era paperless; era tanpa kertas dan masa kebangkitan teknologi komunikasi digital. Semenjak era itu diproklamirkan, industri media cetak mulai mengalami penurunan oplah dan berbondong-bondong melebarkan sayap perusahaan medianya ke media online.

Namun fenomenanya tak hanya media cetak, tapi juga televisi dan radio. Mereka merambah world wide web untuk meng-up load fitur-fiturnya di web, bahkan live streaming siaran. Hal ini bisa membuat radio yang berada di pelosok pedalaman dengan frekuensi lokal pun bisa diakses sejagad raya yang memiliki fasilitas internet.

Tak salah bila McLuhan (2005) menyebutkan bahwa kelak internet akan membawa masyarakat dunia kepada sebuah konsep global village. Dimana antar manusia di seluruh dunia dapat terkoneksi satu dengan yang lainnya tanpa adanya batasan apapun. Karena semua informasi dan konten yang disajikan oleh internet pada akhirnya memang masih tanpa batas dan bisa diakses siapapun di penjuru bumi ini.

Bentuk integrasi konten media yang berupa data, teks, audio dan visual ini kemudian membuat semacam genre baru, yaitu new media. New media sendiri bisa disimpulkan sebagai medium yang mampu menghadirkan teknik dan tata cara baru dalam penyampaian dan pertukaran pesan, yang mengandung prinsip newness. Bisa dibilang, new media adalah hibrida antara media massa tradisional dengan medium internet. Perkembangan new media inilah yang pada akhirnya melahirkan sebuah budaya media baru, yang disebut convergence culture.

Konvergensi media bukan saja memperkaya sajian informasi, tapi juga memberikan pilihan kepada khalayak untuk memilih informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan selera mereka. Dalam Preston (2001), konvergensi media juga memberikan kesempatan baru dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk informasi baik yang bersifat visual, audio, data, dan sebagainya.

Konvergensi media menurut Terry Flew dalam An Introduction to New Media menyebutkan, konvergensi media merupakan hasil dari irisan tiga unsur new media yaitu jaringan komunikasi, teknologi informasi, dan konten media. Hal ini bukan hal baru lagi di Indonesia. Karena memang pada kenyataannya seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa sudah banyak media massa yang mengadopsi konsep ini. Secara bisnis, para juragan media tentunya akan diuntungkan dengan konsep ini untuk meraup pengiklan di medianya. Namun bagaimana dari sisi jurnalisme?

Dalam jurnalisme, prinsip aktualitas adalah wajib hukumnya. Prinsip aktualitas ini sejalan dengan prinsip newness dari new media. Sehingga dalam prakteknya, media massa akan meng-up date berita yang disajikannya di dalam website bukan saja dalam hitungan menit, tapi detik.

Jika informasi terus di up date sedemikian seringnya seiring dengan berkembangnya peristiwa, maka konten yang dilansir pun tidak melewati editor sebagai penyaring informasi. Berbagai kepentingan bisa melatari terbitnya berita tersebut. Hal ini dikhawatirkan banyak pihak dapat menumbuhkan bias terhadap informasi yang berkembang, apalagi jika si media tidak meng-up date perkembangan terbaru. Ditambah lagi khalayak mendapatkan kebebasan untuk memilih dan memilah informasi mana yang akan dijadikan rujukan. Dan ini jelas berbeda dengan konsep media tradisional yang komprehensif dalam menyajikan berita.

Namun di sisi lain, ide konvergensi media ini memberikan kebebasan kepada wartawannya untuk saling berkompetisi dalam mengkreasi konten. Seperti membuat berita dengan angle yang tidak pada umumnya, sehingga memperkaya nilai informasi itu sendiri.

Seperti kasus video porno artis beberapa waktu lalu. Ketika media massa tradisional tidak bisa menampilkan berita dengan potongan adegan dikarenakan penyensoran dan dianggap tidak sesuai dengan kode etik, namun di sisi lain konten video mesum tersebut ternyata bisa diunduh melalui media internet lewat berbagai situsnya.

Hal inilah yang mesti menjadi perhatian bersama. Sehingga demi menjaga kepentingan masyarakat, regulasi konvergensi media tetap dibutuhkan. Entah dengan menggabungkan beberapa undang-undang yang sudah ada, entah dengan membuat sebuah produk hukum baru lainnya. Tujuannya sederhana. Hanya untuk meminimalisir korban dari konvergensi media yang kebanyakan adalah anak muda Indonesia.

Selasa, 27 Juli 2010

Infotainment

Empat tahun silam, tepatnya saat Musyawarah Nasional (Munas Alim Ulama) di Surabaya pada 27-30 Juli 2010, para kiai NU mengeluarkan fatwa larangan menonton tayangan infotainment. Apa sebab? Para kiai dari beberapa pesantren ternyata gelisah dengan pemberitaan infotainment yang berisikan gosip serta persoalan pribadi dan keluarga para artis. Dorongan inilah yang menurut Hasyim Muzadi yang menjabat sebagai Ketua Umum PBNU saat itu menjadi stimulan agar tayangan infotainment diangkat sebagai tema penting dalam munas tersebut.

Salah satu Ketua PBNU saat itu Said Aqil Siradj juga merisaukan tayangan infotainment ini. Iapun berkisah pernah menyaksikan berita infotainment tentang seorang artis yang diberitakan suaminya berselingkuh. “Ini kan sudah tidak benar, mencampuri urusan keluarga orang lain,” ujarnya seperti dikutip dari website NU Online.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga pernah menyatakan dukungannya terhadap fatwa haram tayangan infotainment yang dikeluarkan PBNU ini; meski MUI tidak akan mengeluarkan fatwa serupa. Karena menurut Ketua MUI Pusat Amidhan seperti dinukil dari Okezone, tanpa dikeluarkannya fatwa, gosip atau ghibah itu memang sudah haram.

Konten dalam tayangan infotainment memang tidak jauh dari aktivitas bergunjing. Hampir mayoritas kontennya menyampaikan aib orang lain, fitnah, adu domba, perselingkuhan sampai skandal seks seperti yang banyak termuat dalam infotainment pun akhirnya dikategorikan para kiai dan ulama sebagai ghibah. Bukan saja narasi yang dibacakan presenternya yang penuh opini, gambarnya pun kerap menunjukkan hal yang sama.

Faris Khoirul Anam dalam bukunya Fikih Jurnalistik mengutip sebuah hadits shahih Muslim. Rasulullah Saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah kalian tahu apa ghibah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasulnya lebih tahu.” Lalu dijelaskan oleh nabi, “(Ghibah adalah) menyebut sesuatu yang ada pada saudaramu, yang bisa membuat ia tidak suka.” Seorang sahabat bertanya, “Bagaimana kalau yang aku sebut memang ada benar dalam saudaraku?” Nabi menjawab, “Kalau memang ada, berarti kau telah menggunjingnya. Kalau tidak ada, berarti kau telah memfitnahnya.”

Atas dasar hadits inilah Faris – yang mengambil skripsi berjudul Fiqhu al-Shahafah (Fikih Jurnalistik) di Fakultas Syari’ah al-Ahgaff University, Hadhramaut, Yaman – mengkategorikan infotainment sebagai tayangan ghibah. Karena menurutnya, menggunjing dalam praktik tidak hanya terbatas dengan menggunakan lisan. Menggunjing dengan lisan diharamkan karena mengandung unsur ‘memahamkan’ orang tentang kekurangan orang lain. Karena itu, ghibah bisa berupa ucapan, isyarat, tulisan, gerakan, dan setiap perbuatan yang bisa diketahui maksudnya.

Beberapa waktu lalu digelar juga rapat dengar pendapat (RDP) Komisi I DPR RI dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers yang salah satu bahasannya, apakah infotainment pas dikategorikan sebagai tayangan faktual dan sejajar dengan program jurnalistik. Karena menurut KPI, ada 400 aduan masyarakat ke KPI dan 31%-nya soal infotainment. Bahkan pada Juni 2010, 90% aduan yang masuk ke KPI adalah komplain atas tayangan infotainment.

RDP tersebut dibuka TB Hasanudin yang mengutip disertasi doktor berjudul “Relasi Kekuasaan dalam Budaya Industri Televisi di Indonesia: Studi Budaya Televisi pada Program Infotainment” oleh Mulharnetti Syas. Kesimpulan dari penelitian ilmiah tersebut menyebutkan bahwa infotainment bukan produk jurnalistik, karena dalam prosesnya pekerja infotainment tidak menjalankan kaidah jurnalistik. "Program infotainment menjadi produk budaya populer dan berbentuk program gosip yang tidak mematuhi kode etik jurnalistik," ujar Ketua Jurusan Ilmu Jurnalistik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta itu.

Selain itu, infotainment disinyalir juga tidak sesuai dengan beberapa poin dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) keluaran KPI dan beberapa pasal di Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Dewan Pers (Pasal 1, 2, 3, 4, 6, 9). Inilah yang kemudian membuat Dewan Pers akhirnya bersepakat dengan KPI dan Komisi I DPR RI untuk me-non faktual-kan tayangan infotainment.

Secara jenis tayangan, infotainment hanyalah sebuah gaya penyajian berita atau informasi yang menggunakan metode hiburan (entertainment). Hal ini hanyalah sebuah cara untuk mengemas informasi agar lebih mudah dipahami masyarakat dengan melepaskan imej formal dan kaku dari sebuah berita atau informasi. Namun yang selalu menjadi kontroversi adalah konten dari infotainment yang berjaya diatas aib dan keburukan orang lain. Demi rating dan iklan, kehidupan orang lain pun diumbar. Wallahua’lam.

Kamis, 22 Juli 2010

Mereduksi Kriminalisasi Pers

Cover majalah itu terpampang gambar polisi yang agak gemuk sedang menggeret celengan berbentuk binatang babi. Sontak saja kemunculannya mengundang kontroversi.

Adalah Majalah Tempo yang dimaksudkan diatas. Majalah bertanggal terbit 28 Juni–4 Juli ini membuat gerah pihak kepolisian. Kabarnya terjadi kelangkaan majalah edisi Rekening Gendut Perwira Polisi ini di pasaran. Diduga ada aksi borong yang melibatkan oknum kepolisian.

Mabes Polri yang “tersinggung” pun berencana untuk melakukan gugatan terhadap majalah ini, dengan sebelumnya sempat mengirimkan surat teguran yang ditembuskan kepada Dewan Pers, Kamis (1/7/2010). Dalam surat teguran yang dilayangkan ke majalah tersebut, disebutkan cover celengan babi yang dimuat dianggap merugikan intitusi Polri.

Gugatan seperti yang dilayangkan Mabes Polri pun dianggap sebagai salah satu contoh upaya kriminalisasi pers. Dimana ketersinggungan subyektif terhadap sebuah pemberitaan media massa, disikapi dengan langkah hukum.

Maraknya gugatan kepada pers sendiri pun mempengaruhi angka indeks kebebasan pers di Indonesia yang pasca 2002 menurut situs Lembaga Reporters Sans Frontiers (RSF) - yang berpusat di Paris – naik turun tak menentu. Seperti pada 2002, Indonesia berada di urutan 57 dari 139 negara yang disurvei. Lalu drastis menurun menjadi urutan 110 dari 166 negara yang disurvei. Terakhir pada 2009, Indonesia menempati posisi 100 dari 175 negara yang disurvei.

Contoh lain bentuk kriminalisasi pers ini adalah ketika Raymond Teddy memperkarakan tujuh media massa nasional terkait pemberitaan kasus perjudian di Hotel Sultan yang menyebutnya sebagai bandar judi. Ketujuh media tergugat tersebut adalah Kompas, RCTI, Republika, Detik.Com, Seputar Indonesia,Warta Kota, dan Suara Pembaruan.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia periode 2005-2008 Heru Hendratmoko menyatakan langkah kriminalisasi pers bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Karena perlindungan atas kebebasan memperoleh dan menyampaikan informasi kepada publik sudah mendapatkan perlindungan yang eksplisit di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen.

Mengapa sering terjadi kriminalisasi pers? Heru Hendratmoko mensinyalir salah satunya karena masih diberlakukannya pasal-pasal karet tentang penghinaan dan pencemaran nama baik sebagaimana termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XVI tentang Penghinaan.

Pasal karet ini seperti misalnya pada pasal 310 yang menyebutkan, (1) barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Namun sepertinya pihak penggugat sering melupakan bunyi ayat ketiga pasal 310 ini yang berbunyi, tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Mereka lupa kalau pers sejatinya bertanggung jawab kepada publik, sehingga segala bentuk informasi yang dimilikinya pun milik publik dan diolah untuk kepentingan publik.

Pada dasarnya kriminalisasi pers yang marak terjadi tidaklah harus selalu berakhir dengan bentuk perlawanan, melainkan direduksi. Jika insan pers senantiasa berkiblat kepada UU Pers nomor 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik, hal ini tentunya dapat meminimalisir berbagai bentuk kriminalisasi terhadap pers. Agar pers tidak sekadar berhati-hati dengan pemaparan fakta dan “kreatif” dalam memproduksi serta menyajikan berita, tetapi juga tetap profesional dalam menjalankan perannya.

Selasa, 29 Juni 2010

Moral Televisi

Belakangan dunia selebrita kita sedang dimarakkan oleh berita video porno mirip artis. Isu yang biasanya hanya marak di segmen infotainment ini nyatanya malah mengambil alih arus utama pemberitaan nasional. Berita penyerbuan tentara Israel ke kapal Mavi Marmara yang melibatkan relawan dan wartawan Indonesia, Bibit-Chandra, bahkan isu dana aspirasi DPR pun tergeser oleh isu ini.

Apapun latar belakang dari kasus beredarnya video porno mirip artis ini, bukan saja menjadi ujian besar bagi implementasi Undang-Undang Pornografi, tetapi juga bagi dunia media di Indonesia. Ini mungkin bukan yang kali pertama media di Indonesia dihebohkan dengan isu video atau foto porno. Tapi mungkin karena video tersebut disinyalir dibintangi artis papan atas yang sedang melejit ketenarannya, pencetak rating dan digandrungi banyak anak muda, maka semua media pun berlomba-lomba memberitakannya.

Video porno mirip artis ini dikabarkan beredar pertama kali di sebuah milis wartawan, lalu berkembang ke situs jejaring sosial, dan berubah menjadi isu nasional yang menembus media massa cetak dan elektronik nasional. Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Azimah Soebagijo dalam wawancaranya dengan Sabili menyatakan bahwa sebenarnya pengguna internet di Indonesia bisa dibilang masih lebih sedikit ketimbang jumlah penduduknya. Namun karena terjadi pengulangan berita pada media massa cetak dan elektronik, akhirnya membuat yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Apalagi ditambah dengan pemutaran adegan tersebut berulang-ulang pada tiap kali tayangannya dengan kualitas blur yang kurang baik. Belum lagi narasi yang sarat dengan opini dan wacana, sehingga tidak mengherankan terjadinya penjungkir-balikkan fakta, bahwa para pelaku adegan adalah "korban".

Untuk mengantisipasi agar tidak terlalu meluas, KPI akhirnya mengeluarkan edaran peringatan bagi televisi Indonesia terkait tayangannya. KPI menganggap pemberitaan yang terdapat di media massa televisi dinilai berpotensi melanggar sejumlah aturan yang ada di UU nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) KPI tahun 2009.

Adapun poin-poin peringatan itu adalah program siaran dilarang menonjolkan muatan cabul (UU Penyiaran Pasal 36 ayat 5b), program siaran wajib memberikan perlindungan kepada khalayak khusus yaitu anak-anak dan remaja (UU Penyiaran Pasal 36 ayat 3 dan SPS Pasal 13), program siaran wajib menghormati privasi sebagai hak atas kehidupan pribadi dan ruang pribadi dari subjek dan objek berita (SPS Pasal 11).

KPI kemudian menyarankan agar sebaiknya program siaran tidak menampilkan adegan seks (SPS Pasal 17). Namun pelarangan ini, menurut Ketua KPI Dadang Rahmat Hidayat, bukan berarti melarang informasi tersebut diberitakan. Menurutnya, informasi bisa tetap disampaikan, selama informasi tersebut dikemas dalam bentuk berita yang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang ada, seperti Kode Etik Jurnalistik misalnya.

Kemudian KPI juga mengingatkan agar para pelaku media televisi harus melakukan pemberitaan yang akurat, adil, berimbang, tidak beritikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukan fakta dan opini pribadi serta tidak cabul (SPS Pasal 42 ayat 1b).

Imbas terbesar dari tayangan dengan konten pornografi ini sudah barang tentu adalah moral remaja dan anak-anak. Sehingga tidak mengherankan jika ada orangtua yang sengaja menyembunyikan televisinya selama isu ini beredar di layar kaca, khawatir sang anak terlepas dari pengawasannya dan menonton tayangan mengenai video porno mirip artis tadi di salah satu segmen acara televisi, baik infotainment maupun program beritanya.

Sejak awal kemunculannya, kotak tabung bernama televisi ini memang telah membuat resah para pemirsanya. Televisi seperti pedang bermata dua, di satu sisi ia menuai manfaat bagi tersebarnya akses informasi dan pendidikan. Namun di sisi lain, jika tidak dikelola dengan baik akan berubah wujud menjadi sebuah alat pengikis moral. Dan meski kampanye “TV Turnoff” yang telah dilakukan sejak 1983 di Connecticut telah merambah Indonesia, tetap saja permasalahan moral yang seringkali muncul akibat media televisi yang menyajikan gambar bergerak ini belum bisa seratus persen dituntaskan.

Perkembangan media seperti televisi pun tak bisa dibendung, namun tetap saja ada cara untuk membentengi diri dari gempurannya. Mengamini Neil Postman, bahwa masalahnya bukan terletak pada apa yang kita tonton atau jenis tontonannya, melainkan pada pilihan kita untuk menonton televisi. Sehingga penyelesaiannya bukan saja dengan mengabaikan jenis tontonan yang negatif dan berbau pornografi misalnya, tetapi juga diiringi dengan usaha memperbaiki cara kita menonton televisi.

Kamis, 17 Juni 2010

“Berita” Sang Pencari Berita

Black Monday. Ini bukanlah Black Monday yang terjadi pada 19 Oktober 1987, dimana stok pasar-pasar di seluruh dunia jatuh, yang menyebabkan kenaikan harga dalam waktu singkat. Tapi Black Monday yang ini adalah peringatan atas penyerbuan tentara Israel ke kapal Mavi Marmara; yang mengangkut ratusan relawan kemanusiaan dari berbagai belahan dunia berlayar menuju Gaza. Di antara 600 orang aktivis pro-Palestina tersebut, selain dokter dan perawat, juga terdapat sastrawan, sutradara film, politisi dan tentunya jurnalis.

Turutnya jurnalis dalam misi kemanusiaan bukanlah hal baru dalam proses pencarian berita. Apalagi jika misi kemanusiaan tersebut menawarkan akses untuk para jurnalis untuk mendapatkan sisi lain dari sebuah peristiwa. Seperti halnya konflik Palestina-Israel yang bertahun-tahun mengalami diskriminasi pemberitaan, disebabkan mayoritas media massa internasional hanya menayangkan sisi Israel-nya saja. Apalagi jika ditambah dengan fakta bahwa mayoritas media tersebut telah berada dalam kungkungan jaringan lobi Zionis.

Dengan demikian, bergabung dengan misi kemanusiaan menjadi salah satu jalan untuk mengungkap fakta lain yang bisa jadi selama ini ditutupi dan direkayasa. Seperti yang dilakukan oleh Surya Fachrizal, M Yasin, Santi WE Soekanto, Wisnu Pramudya, para jurnalis asal Indonesia yang bergabung di dalam armada Flotilla.

Cara lain untuk mendapatkan sisi lain peristiwa dalam wilayah konflik adalah dengan menjadikan dirinya tameng hidup. Ini seperti yang dilakukan Faruk Zabci, koresponden perang surat kabar terbesar di Turki, Hurriyet Gazetesi. Ketika perang hampir berkecamuk di Irak pada 2003, Zabci tahu ia harus berada disana.

Namun Zabci tidak mendapatkan visa wartawan sehingga harus mencari cara lain untuk masuk Irak. Hingga akhirnya ia memutuskan berangkat ke Irak sebagai tameng hidup. Hal ini sudah barang tentu membahayakan dirinya. Namun kebutuhan akan fakta telah membuatnya harus melakukan berbagai cara.

Saat itu, tameng hidup merupakan kumpulan orang sipil dari seluruh dunia yang menentang serangan AS ke Irak. Atas izin pemerintah Irak, mereka pergi ke tempat-tempat potensial target pemboman di Irak dan berkemah disana dengan harapan keberadaan mereka akan mencegah serangan AS ke tempat-tempat tersebut.

Dengan statusnya sebagai tameng hidup, Zabci mendapatkan akses berita lebih daripada dengan rekan sesama jurnalis yang menggunakan visa wartawan. Iapun menjadi wartawan pertama yang mengambil gambar pemboman di jembatan sekitar 300-400 meter dari pembangkit listrik di mana ia dan rombongan tameng hidupnya berada.

Membahayakan diri demi eksklusifitas pemberitaan memang risiko profesi seorang jurnalis, apalagi para jurnalis yang bertugas di wilayah konflik bersenjata internasional. Namun apa yang terjadi pada kebanyakan kasus, jurnalis sering menjadi korban dalam konflik tersebut. Kasus penyerangan kapal Mavi Marmara adalah salah satu contoh di mana jurnalis sering diabaikan hak perlindungannya dari mereka yang bertikai, meski aturan pemberian perlindungan terhadap jurnalis sudah ada.

Hal ini termaktub dalam Artikel 79 tentang “Measures of Protection for Journalist” (Standardisasi Perlindungan Kepada Jurnalis) yang terdapat dalam Protokol I yang diadopsi oleh Konferensi Diplomatik PBB, 8 Juni 1977. Dimana aturan tersebut menerangkan seorang jurnalis yang sedang melaksanakan misi profesional dalam area konflik militer memiliki hak sebagai rakyat sipil, mereka mendapatkan jaminan perlindungan oleh hukum kemanusiaan sebagai masyarakat sipil.

Tapi sepertinya kenyataan di lapangan sering menunjukkan hal lain. Mereka yang bertikai sering menjadikan jurnalis sebagai sasaran dengan berbagai dalih alasan. Maka sepantasnya hal ini kembali menjadi renungan, agar jurnalis yang tugasnya mencari dan mengabarkan berita tidak malah menjadi berita.

Senin, 31 Mei 2010

Jurnalisme Jejaring Sosial

Siapa yang tak tahu Twitter? Situs jejaring sosial dan microblogging yang dibuat Jack Dorsey pada 2006 silam dan hanya memiliki 140 karakter saja pada pesan-pesannya ini marak digunakan berbagai kalangan. Mulai dari yang bukan siapa-siapa sampai Presiden memiliki akun di Twitter.

Begitu pula dengan para politisi, public figure, bahkan petinggi media massa nasional pun ramai memenuhi jagad Twitter. Perang pemikiran dan opini pun setiap hari memenuhi timeline orang-orang yang menjadi follower-nya. Ini adalah kredit bagi mereka. Sekali tweet (melansir pesan), maka pesan akan menyebar ke ratusan sampai puluhan ribu pengikutnya. Baik hanya pesan biasa, maupun pesan ideologi.

Perkembangan social media seperti Twitter ini tidak serta merta diabaikan oleh para jurnalis dan pebisnis media. Karena kehadirannya, selain bisa digunakan untuk meningkatkan hits pada website-nya dengan mentautkan alamat website di tweet-nya, juga bisa digunakan sebagai sarana jurnalistik.

Seorang blogger Amerika, Robert Scoble pernah menulis pada 2007 tentang bagaimana pengguna Twitter melakukan reportase singkat (breaking news) mengenai gempa bumi di Mexico City beberapa menit sebelum dilakukan USGS (United State Geological Survey). Begitu juga dengan blogger Zoli Erdos menyebutkan bagaimana pada Maret 2008, pengguna Twitter telah berhasil memimpin isu organisasi media internasional dalam melaporkan gempa bumi di Cina dan Jepang.

Perdebatan mengenai apakah Twitter bisa digunakan sebagai alat jurnalistik atau tidak sudah mengemuka sejak 2008. Karena pada saat itu, banyak pihak yang memprediksi bahwa kebangkitan Twitter merupakan diskursus yang serius dan bisa dijadikan alat bagi perkembangan jurnalistik mainstream. Seperti alat untuk breaking news, melakukan wawancara, quality assurance (jaminan kualitas) dan mempromosikan berita (Marshall Kirkpatrick, How We Use Twitter for Journalism, 2008).

Sedangkan Vadim Lavrusik dari Universitas Columbia, melengkapi kegunaan Twitter tadi dengan beberapa hal. Yaitu, sebagai alat untuk riset berita, mencari dan mendaftar narasumber, mengintegrasikan blog dan situs, membangun komunitas, dan personal brand. Mungkin hal-hal inilah yang akhirnya membuat The New York Times menunjuk Jennifer Preston sebagai social media editor (redaktur media sosial). Bahkan pada 2008 istilah Jurnalisme Twitter pun muncul ke permukaan.

Di tengah maraknya jejaring sosial yang digunakan sebagai alat jurnalistik, kantor berita raksasa Reuters malah membuat kebijakan berbeda. Awal Maret 2010, Reuters mengeluarkan kebijakan social media bagi para jurnalisnya. Kebijakan tersebut dikeluarkan dalam rangka menjaga akurasi berita agar bebas dari bias, independen, serta menjaga integritas perusahaan. Kesemuanya dirangkum dalam Handbook of Journalism: Reporting From The Internet yang dirilis Reuters melalui internet.

Dalam handbook-nya, Reuters mendukung perkembangan jurnalisme dengan berbagai bentuknya, termasuk dalam ranah pelaporan menggunakan teknologi komputer. Namun, mereka menggaris-bawahi masalah sikap ilegal yang mungkin dilakukan oleh para jurnalisnya.

Jurnalis Reuters wajib menunjukkan identitasnya sebagai wartawan Reuters dan berlaku sebagaimana wartawan Reuters yang menjaga etika jurnalistik dan etika perusahaan tempat. Ada integralitas antara sikap para jurnalis dengan citra perusahaan. Inilah mengapa Reuters menyarankan para jurnalis untuk memiliki dua akun social media yang berbeda sesuai penggunaannya; akun profesional dan akun pribadi.

Untuk membuka akun profesional pun, para jurnalis diwajibkan untuk meminta ijin dan arahan dari para manajernya. Maka tidak mengherankan bila di Twitter, para jurnalisnya mencantumkan ‘Reuters’ pada namanya. Seperti: Leah_Reuters, kevinfreuters, FranklinReuters, ReutersSteve dan FelixReuters. Perlu dicatat, para jurnalis Reuters yang memiliki akun di social media tidak dibenarkan untuk beropini dan bersikap sesukanya, serta harus sejalan dengan kebijakan Reuters.

Reuters juga mengatur jurnalisnya, agar lebih berhati-hati ketika menggunakan social media dalam melakukan tugas jurnalistiknya. Mereka tidak melarang para jurnalisnya melakukan wawancara ataupun berinteraksi dengan para nara sumbernya melalui social media, namun syarat proses cek dan ricek harus tetap dilakukan, agar tidak terjadi bias.

Hubungan antara breaking news, social media dan penyajian berita konvensional memang sulit untuk ditentukan. Karena di satu sisi, media massa tidak mungkin membatasi kemampuan awak redaksinya untuk mengumpulkan dan melaporkan berita dengan media apapun. Namun di sisi lain, integritas dari berita itu sendiri harus tetap dijaga.

Social media memungkinkan seseorang mendapatkan berita secepat hitungan detik. Namun, tetap ada resikonya. Sebab berita yang mungkin beredar di social media bersifat one-sided (satu sisi) dan harus dilakukan cek dan ricek, meski yang berkomentar adalah seorang tokoh nasional atau pejabat negara. Karena, keterlibatan mereka secara langsung dalam event apapun dan melansirnya melalui social media hanyalah sebagian kecil dari kebenaran dan bisa jadi bukanlah sesuatu yang merepresentasi kondisi yang sebenarnya terjadi. Sehingga tidak cukup kuat kebenarannya untuk dikutip dalam sebuah laporan pemberitaan. Mungkin inilah yang dikhawatirkan Reuters.

Senin, 17 Mei 2010

Independensi

Tiga Mei lalu adalah World Press Freedom Day (Hari Kebebasan Pers Dunia). Penetapan tanggal ini bertepatan juga dengan peringatan Deklarasi Windhoek di Namibia pada 3 Mei 1991. Sebuah gerakan yang dilakukan sejumlah jurnalis surat kabar di Afrika yang menginginkan prinsip pers bebas diterapkan.

Peringatan hari kemerdekaan pers dunia ini ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam rangka meningkatkan kepedulian akan pentingnya kebebasan pers. Serta mengingatkan negara-negara akan tugas mereka untuk menghormati prinsip kebebasan berekspresi pers seperti yang tertuang dalam Article 19 Universal Declaration of Human Rights, yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa batas.”

Namun kebebasan pers itu sendiri belumlah seperti apa yang diidamkan banyak orang. Karena pada kenyataannya, pers sendiri banyak ditunggangi berbagai kepentingan. Yang paling mencolok adalah perihal penunggangan pers oleh berbagai bisnis yang dimiliki si stake holder dari media yang bersangkutan. Hingga tidak mengherankan jika Altschull (1984) berpendapat bahwa isi media selalu merefleksikan ideologi (kepentingan) orang yang mendanainya.

Altschull mengkategorisasi ini menjadi empat. Pertama, di dalam pola formal media dikendalikan oleh negara (negara-negara komunis). Kedua, di dalam pola komersial media merefleksikan ideologi para pengiklan dan pemilik media. Ketiga, di bawah pola kepentingan isi media merefleksikan ideologi kelompok finansial yang membiayai media (partai politik atau kelompok keagamaan). Keempat, di dalam pola informal isi media merefleksikan tujuan para individu kontributor yang ingin mempromosikan pandangan-pandangan mereka.

Kebutuhan sebuah media akan dana agar media yang bersangkutan tetap bisa bernafas memang tidak bisa dinafikkan. Namun yang kemudian menjadi persoalan klasiknya adalah bagaimana menyelaraskan antara semangat independensi jurnalisme dengan para penyandang dana.

Ide pemisahan ini pernah disampaikan Henry Luce saat memimpin Time. Menurutnya, diperlukan pemisahan antara gereja (redaksi) dan negara (bisnis) untuk menciptakan sebenar-benarnya independensi. Upaya sterilisasi redaksi ini pun dilakukan Robert R McCormick. Pada awal abad ke-20 ia membangun dua elevator di sisi gedung yang terpisah di bagian dalam Tribune Tower. Ekstremnya, ia tidak ingin para pencari iklan berada satu elevator dengan para reporternya.

Namun nyatanya ide pemisahan redaksi dari bisnis yang diistilahkan Bill Kovach dengan pagar api (firewall) ini tidak selamanya baik, apalagi tidak ditangani dengan manajemen yang baik pula. Seperti skandal yang terjadi antara Los Angeles Times dengan gelanggang olahraga Staples Center (1999). Surat kabar terbesar keempat di Amerika pada masa itu merencanakan membagi keuntungan dari penjualan iklannya dengan gelanggang tersebut dalam sebuah edisi yang menurunkan laporan utama pembukaan gelanggang tersebut. Ini dilakukan sebagai imbalan karena pihak Staples telah membantu proses penjualannya. Pihak redaksi tidak mengetahui hal ini.

Setelah bisnis ini akhirnya tercium, berpuluh telepon masuk ke dapur redaksi. Pihak redaksi kecewa atas bisnis yang berlaku ini, di sisi lain, kepercayaan masyarakat kepada media ini mulai goyah. “Orang-orang mempertanyakan banyak hal. Mereka bertanya apakah para pengiklan bisa mempengaruhi tulisan kami. Mereka mempertanyakan integritas kami. Yang merisaukan saya adalah pertanyaan apakah laporan kami jujur: ‘Apakah perusahaan ini dan itu punya kaitan?’” ujar penjaga rubrik surat pembaca LA Times Narda Zacchino saat diwawancarai Sharon Waxman dari Washington Post seperti dikutip dari Kovach (2001).

Sedangkan di Indonesia, pernah terjadi pada sebuah majalah berita berskala nasional pada medio 2006. Tanggal 23 April 2006, majalah tersebut memuat hasil investigasi tentang kejanggalan sebuah megaproyek di Kemayoran, Jakarta. Namun pada edisi 30 April 2006, liputan tersebut dimentahkan melalui pemuatan iklan terkait berita investigasi tersebut. Penganuliran pemberitaan melalui iklan ini dianggap tidak lazim oleh berbagai pihak. Karena menurut seorang praktisi hukum pers, Hinca Panjaitan, informasi pada liputan pertama itulah yang menjadi pegangan publik dan majalah yang bersangkutan mestinya memuat uraian redaksi tentang duduk perkara iklan masalah tersebut.

Perdebatan mengenai independensi antara media dengan stake holder-nya dan para pengiklannya memang bukanlah isu baru. Di saat media mulai memasuki ranah kapitalisme, maka tak urung ideologi media pun menjadi taruhannya. Karena tidak menutup kemungkinan berbagai kekuatan kepentingan menunggangi ideologi media yang bersangkutan.

Apapun perdebatannya, Bill Kovach dalam Sembilan Elemen Jurnalisme-nya meyakini, “kerukunan” antara redaksi dan bisnis akan tercipta jika kedua belah pihak setia kepada nilai-nilai profesi jurnalisme sebagai prioritas utama. Meski pada kenyataanya, ini semua ibarat “pertarungan abadi” antara redaksi dan stake holder serta para pengiklannya. Namun, akankah epos kekalahan akan selalu berada di pihak redaksi?