Kamis, 11 November 2010

Dilarang Sembarang Berkicau

Bencana yang sedang melanda Indonesia saat ini tak luput dari perhatian media massa tanah air yang saling berlomba memberitakannya. Headline media cetak setiap harinya selalu diisi dengan perkembangan mutakhir dari bencana dan penanganannya. Sementara media elektronik macam radio dan televisi lebih up date dengan laporan langsung pandangan matanya. Apalagi televisi, yang bisa menyajikan gambar live dari lokasi kejadian. Ini membuat sang tabung kaca tak henti-hentinya menyajikan tayangan berita bencana tersebut dengan berbagai angle-nya.

Namun ternyata hal ini pun menimbulkan kejenuhan pemirsa karena berita yang ditayangkan kerap dianggap “berlebihan”. Sehingga pemirsa pun melayangkan komplain ke stasiun televisi yang bersangkutan dengan menggunakan jejaring sosial, seperti Twitter.

Namun ternyata, salah satu televisi swasta yang bersangkutan tidak terima mendapatkan kritik pemirsa, sehingga melakukan “pembelaan” atas komplain pemirsa. Stasiun televisi swasta itu pun membuat status yang tidak bertahan lama karena kemudian dihapus. Status itu berbunyi: “Kami memang sedang fokus meliput bencana. Mohon maaf kepada pemirsa yang terus memaki kami. Silakan pindah saluran hiburan atau lawak” (Oct 27, 2010 19:24, from TweetDeck). Setelahnya, serangan makian pun kembali terjadi, bahkan lebih tidak beradab lagi.

Sebelumnya, surat kabar Washington Post yang berdiri pada 1877 pernah melayangkan memo kepada staf redaksinya. Memo itu berisi larangan kepada para jurnalis Washington Post untuk menjawab kritik publik melalui akun Twitter perusahaan maupun pribadi dengan mengatasnamakan perusahaan.

Ricuh itu bermula ketika Post menerbitkan sebuah artikel dari penulis tamu, Tony Perkins. Dalam artikelnya Perkins menuliskan pendapat pribadinya mengenai sejumlah aksi bunuh diri remaja di Amerika Serikat akibat bullying karena dirinya gay. Menurut Perkins dalam artikelnya, homoseksualitas merupakan masalah kesehatan mental. Tak ayal pendapat tersebut membuat aktivis kelompok pembela kaum gay, GLAAD (The Gay and Lesbian Alliance Against Defamation) melancarkan “serangan” kepada Post melalui jejaring sosial Twitter dan situs mereka.

Merasa protes semakin ramai, staf redaksi Post melakukan upaya pembelaan diri dengan mengatakan bahwa artikel Perkins hanyalah “sisi lain” dari wacana gay itu sendiri. Namun pembelaan ini justru menyulut protes yang lebih besar lagi. Para aktivis GLAAD itu menyatakan: “There are not “both sides” to teen suicide issue” (tidak ada dua sisi dalam masalah bunuh diri remaja ini). Protes dilayangkan masih di media sosial yang sama, Twitter.

Menanggapi kericuhan ini, Redaktur Pelaksana Washington Post Raju Narisetti akhirnya membuat penjelasan khusus:

“Pekan ini, beberapa staf post merespons kritik dari luar melalui akun Twitter perusahaan mengenai isu kontroversial yang kami terbitkan secara online. Keinginan untuk membalas adalah untuk membela keputusan menerbitkan artikel tersebut, tapi itu malah menyesatkan kedua pihak dalam menggambarkan rasionalisasi untuk menerbitkan artikel tersebut dan sebagai bahan praktik. Pernyataan itu tidak seharusnya dikeluarkan.

Bahkan ketika kita mendorong semua orang dalam ruang berita untuk merangkul media sosial dan alat-alat yang relevan, amatlah penting untuk mengingat bahwa tujuan dari akun Post adalah untuk digunakan sebagai platform untuk mempromosikan berita, membawa dan meningkatkan keterlibatan pembaca dengan isi Post. Tidak ada akun Post yang harus digunakan untuk menjawab kritik dan berbicara atas nama Post, sebagaimana Anda harus mengikuti pedoman jurnalistik kami untuk tidak menggunakan akun sosial media pribadi untuk berbicara atas nama Post.

Mungkin akan berguna untuk memikirkan masalah seperti ini: ketika kita menulis cerita, pembaca kita bebas untuk merespon dan kita menyediakan tempat untuk melakukannya. Kita kadang-kadang melibatkan mereka dalam percakapan verbal pribadi, tapi begitu kita memasuki perdebatan pribadi melalui media sosial, ini akan setara dengan memungkinkan pembaca untuk menulis surat kepada editor dan kemudian memberikan bantahan melalui reporter. Ini sesuatu yang tidak kita lakukan.”

Hal serupa juga pernah terjadi sebelumnya, ketika Terry Moran dari ABS dalam Twitternya pernah menyebut Presiden Obama dengan sebutan “jackass”.

Ini adalah sebuah pelajaran tentang bagaimana sebaiknya wartawan dan perusahaan media menggunakan media sosial untuk menunjang tugas jurnalistiknya. Memo yang dikeluarkan Post adalah sebuah kewajaran, dan memang begitulah seharusnya sebuah media memposisikan dirinya. Media massa menggunakan jejaring sosial sebatas untuk mempromosikan berita-beritanya, menggiring khalayak mengunjungi situs serta meningkatkan traffic. Bukan sebagai tempat terjadinya perdebatan pribadi antara wartawan dengan khalayaknya ataupun narasumbernya, apalagi dengan mengatasnamakan perusahaan media tempatnya bekerja.

Tidak heran jika kemudian perusahaan media dewasa ini mulai bersikap keras dan mengeluarkan aturan perusahaan yang membatasi wartawannya untuk “berkicau” di jejaring sosial manapun. Karena sikap wartawan belum tentu sejalan dengan sikap perusahaan medianya. Dan tentu saja, semua aturan ini dibuat semata-mata untuk menjaga integritas produk jurnalistik dari perusahaan media yang bersangkutan.

Ibnu Al-Nafis: Ahli Fisiologi Terhebat

Yang mahasiswa kedokteran, pasti kenal nama Ibnu Al-Nafis? Ibnu Al-Nafis yang punya nama lengkap Ala al-Din Abu al-A’la Ali Ibn Abi Hazm al-Quraishi ini di didaulat sebagai ahli fisiologi terhebat di era keemasan Islam pada abad ke-13 M. Ibnu Al-Nafis yang berasal dari Damaskus ini adalah seorang tabib Arab (1210-1288), yang bahasa kerennya sekarang adalah dokter.

Kenapa ia didaulat sebagai ahli fisiologi terhebat? Ternyata, ia adalah dokter pertama yang mampu menjelaskan prinsip dasar dari teori modern mengenai dasar-dasar sirkulasi lewat temuannya tentang sirkulasi dalam paru-paru, sirkulasi jantung, dan kapiler. Ia menemukan ini 350 tahun lebih dahulu daripada Sir William Harvey dari Kent, Inggris yang selama ini menyandang kredit penemu sistem sirkulasi di paru-paru.

Fakta ini diungkap pada 1957 oleh Professor Dr J B Latham dari Universitas Manchester dalam peringatan 300 tahun wafatnya William Harvey (Sunday Times, 9 Juni 1957). Profesor ini juga menyebutkan, bahwa Ibn Al-Nafis telah memperbaiki kesalahan dari teori Galen's yang menyebutkan adanya saluran tak terlihat di antara dua bilik jantung.

Galen menguraikan bagaimana darah mencapai bagian kanan jantung dan bergerak menuju pori-pori yang tak terlihat di cardiac septum menuju bagian kiri jantung. Di sana darah bertemu dengan udara dan membangun sebuah ‘kekuatan’ sebelum diedarkan ke seluruh tubuh. Menurut Galen, sistem vena merupakan bagian yang terpisah dari sistem arteri saat mereka ‘kontak’ dalam pori-pori tak terlihat itu.

Sementara al-Nafis membantahnya dalam kitabnya yang berjudul Syarah Qanun, “Darah dari kamar kanan jantung harus menuju bagian kiri jantung, namun tak ada bagian apapun yang menjembatani kedua bilik itu. Sekat tipis pada jantung tidak berlubang. Dan bukan seperti apa yang dipikirkan Gallen, tidak ada pori-pori tersembunyi di dalam jantung. Darah dari bilik kanan harus melewati vena arteriosa (arteri paru-paru) menuju paru-paru, menyebar, berbaur dengan udara, lalu menuju arteria venosa (vena paru-paru) dan menuju bilik kiri jantung dan bentuk ini merupakan spirit vital.”

Al-Nafis juga secara tegas mengatakan bahwa jantung hanya memiliki dua kamar. Dan di antara dua bagian itu sungguh tidak saling terbuka. Sekat antara dua bilik jantung lebih tipis dari apapun. Keuntungan yang didapat dengan adanya sekat ini adalah, darah pada bilik kanan dengan mudah menuju paru-paru, bercampur dengan udara di dalam paru-paru, kemudian didorong menuju arteria venosa ke bilik kiri dari dua bilik jantung.

Kemudian Al-Nafis juga menjelaskan, bahwa yang diperlukan paru-paru untuk transportasi darah menuju vena arteriosa adalah keenceran dan kehangatan pada jantung. “Apa yang merembes melewati pori-pori pada cabang-cabang pembuluh menuju alveoli pada paru-paru adalah demi percampurannya dengan udara, berkombinasi dengannya, dan hasilnya menjadi sesuatu yang diperlukan di bilik kiri jantung. Yang mengantar campuran itu ke bilik kiri arteria venosa,” tulisnya.

Sebelum Professor Dr J B Latham mengungkap penemuan Al-Nafis ini, ternyata seorang fisikawan Mesir Dr Muhyo Al-Deen Altawi juga pernah mengungkapnya. Saat ia menyusur kanal-kanal sejarah sejak tahun 1924, ia menemukan sebuah tulisan berjudul Commentary on the Anatomy of Canon of Avicenna di perpustakaan nasional Prussia, Berlin (Jerman). Saat itu, Dr Muhyo tengah belajar mengenai sejarah Kedokteran Arab di Albert Ludwig’s University Jerman.

Dalam dunia kedokteran Al-Nafis tak hanya berkontribusi di bidang fisiologi. Ia juga dikenal sebagai dokter yang menyokong kedokteran ekperimental, postmortem otopsi, serta bedah manusia. Bahkan sejarah juga mencatat Al-Nafis sebagai dokter pertama yang menjelaskan konsep metabolisme. Kemudian ia mengembangkan aliran kedokteran Nafsian tentang sistem anatomi, fisiologi, psikologi, dan pulsologi.

Media Membingkai Perempuan

Apa yang terbersit di dalam kepala kalau kata ‘perempuan’ disebutkan? Cantik, lembut, keibuan, manja, kuat, dan lain sebagainya. Berbagai visualisasi akan muncul manakala kata ini terlontar, bahkan tidak sedikit juga yang seksis. Lalu bagaimana jika pencitraan tadi dilakukan oleh media massa?

Guru Besar Ilmu Komunikasi UI Ibnu Hamad (2007) menyebutkan, media menghadirkan citra dari suatu obyek kepada konsumennya melalui suatu proses yang disebut konstruksi realitas sosial. Media kemudian “mengangkat” obyek tersebut sebagai realitas alamiah (first reality) kedalam bentuk realitas media (second reality), hingga proses tersebut menghasilkan produk media yang disebut discourse (wacana).

Ada citra positif, ada citra negatif. Ada discourse, ada discourteous. Dimana pendapat umum negatif (discourteous) ini mewujud dalam bentuk wacana tidak senonoh dengan motif fitnah, pornografi, penghinaan, dusta, dan sebagainya. Tujuannya adalah melakukan pembunuhan karakter (character assassination).

Visualisasi mengenai perempuan tadi merupakan sebuah citra (image) atau kesan yang ditangkap oleh orang perorang mengenai suatu obyek, dalam hal ini obyek tersebut adalah perempuan. Namun kesan kita terhadap obyek tersebut tergantung kepada kondisi internal kita, seperti suasana hati, motif, dan pemahaman. Hal inilah yang kemudian membuat sebuah obyek bisa bernilai positif ataupun negatif di mata kita, termasuk perempuan.

Banyak yang menyebutkan bahwa perempuan adalah makhluk marjinal sehingga kerap mendapatkan diskriminasi. Seperti halnya yang terjadi di dunia media modern dewasa ini yang masih melakukan praktik diskursif terhadap perempuan melalui berbagai kontennya; baik di dalam konten berita, hiburan, maupun iklan. Melalui sarana efektif ini (media), ideologi patriarki yang (katanya) masih mendominasi publik ini pun melakukan proses stigmatisasi, baik secara halus (dalam diksi) maupun kasar (melalui gambar) terhadap perempuan.

Koordinator Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Rach Alida Bahaweres menyebutkan, media massa dalam pemberitaannya masih mengeksploitasi kaum perempuan, bahkan cenderung melecehkan. “Dari hasil penelitian menunjukkan perempuan masih menjadi objek eksploitasi pemberitaan media massa. Beritanya bernuansa melecehkan, bahkan terkadang menyalahkan keberadaan kaum perempuan," ujarnya dalam sebuah sarasehan bertajuk “Bahasa Media Massa dan Kesetaraan Gender” di Yogyakarta medio April 2010 silam.

Menurutnya, diksi atau pemilihan kata yang digunakan media dalam memberitakan perempuan acapkali memposisikan perempuan sebagai objek eksploitasi. Contohnya seperti penggunaan kalimat pasif dalam berita di surat kabar yang sering memposisikan perempuan sebagai korban yang memang seharusnya menimpa mereka. Seperti kata ‘digarap’ dalam sebuah berita mengenai tindak kriminal perkosaan menjadikan perempuan bermakna sebagai ‘lahan garapan’.

Belum lagi dengan tayangan iklan yang kerap menghiasi layar kaca. Dimana dalam tayangan iklan tubuh perempuan kerap dieksploitasi secara vulgar untuk menjajakan berbagai produk kecantikan dan kesehatan. Bahkan tidak sedikit juga produk yang tidak ada hubungannya dengan perempuan “memanfaatkan” perempuan sebagai modelnya.

Sehingga tidak mengherankan jika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) – sebagai salah satu elemen negara yang mengawasi media massa penyiaran – kemudian mendesak untuk secepatnya melaksanakan revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Beberapa diantaranya adalah pada butir-butir yang mengatur tentang anak, perempuan dan iklan. Revisi ini diharapkan dapat melindungi perempuan (dan anak) dari beragam bentuk eksploitasi yang dikenakan kepadanya, baik yang tersurat maupun tersirat.

Senin, 01 November 2010

PB 2010

Akhirnya jadi juga datang ke Pesta Blogger 2010 yang digelar 30 Oktober lalu. Setelah melalui perjuangan gara-gara bangun kesiangan, alhamdulillah Depok-Kuningan bisa ditempuh satu jam saja ^__^

Ketika baru sampai di lokasi (Epicentrum Walk), blogger disambut oleh panitia (atau mungkin voulenteer panitia) yang dilehernya digantungkan kertas dengan tulisan “Informasi PB 2010”. Manusia-manusia berkalung “Informasi PB 2010” ini bertugas menunjukkan tempat kegiatan yang bertema besar “Merayakan Keberagaman” ini dikarenakan lokasinya agak menjorok ke dalam (kayak paragraf, he he).

Gak gitu fokus juga di acara, karena sibuk lirik kanan-kiri ngeliatin stan siapa tahu dapat gratisan. Di antaranya memang ada yang gratisan dengan syarat mudah banget, yaitu cukup dengan mem-follow Facebook atau Twitter dari intansi yang bersangkutan. Misal kalau mem-follow Facebook US Embassy, dapat tas tangan berisi buku gratis tentang Demokrasi dan semacam peta Amerika. Trus kalau mem-follow Twitter Es Teler 77 bisa gratis Es Teler seharga Rp 10ribu. Sayang saya gak follow Twitter Es Teler 77, gak jadi dapat gratisan deh, he he he. Pastinya di PB 2010 kemarin, doorprize bertebaran dimana-mana. Hal ini tentunya cukup memuaskan hati para blogger pemburu gretongan, termasuk saya :D

Yang cukup mengejutkan, ternyata menteri yang diundang dan didaulat memberikan sambutan bukan Menkominfo, melainkan Mendiknas. “Kan buat anak-anak blogger Menkominfonya masih Pak Nuh, belum Pak Tif,” ujar seorang teman nyeletuk iseng sambil cengar-cengir. Sesudahnya, dia iseng nge-tweet ke Ndorokakung. Trus dijawab Ndorokakung singkat, kalau gak salah isinya, “Kan Pesta Blogger sebelumnya Pak Nuh gak datang :D”.

Padahal, selama ini imej blogger itu “dekat” dengan Menkominfo karena wilayahnya sama. Apalagi dahulu, kalau gak salah waktu diadakan semacam konferensi blogger yang pertama, yang disowani oleh para blogger adalah Menkominfo, pak M. Nuh (yang sekarang Mendiknas :D). Pemilihan pertama kementrian yang disambangi menunjukkan bahwa memang ada wilayah-wilayah yang beririsan antara blogger dan Kemenkominfo.

Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi saya. Apakah benar para presidium blogger (para blogger elit...kalau saya kan cuma blogger rakyat jelata, he he he) sedang sensitif dengan Menkominfo baru karena banyak produk hukumnya yang dianggap “merugikan”? Karena dalam acara dilakukan happening art yang mengkampanyekan penolakan terhadap UU ITE. Tapi kalau gak ada pak Tif (Menkominfo), rasanya sindiran-sindiran yang dilakukan tetap percuma saja. Karena semangat yang didapat bukannya mengkonstruksi dengan protes dan masukan, melainkan sekedar demarketisasi saja. Ini kan interpretasi saya ya. Perkara “motif” dibaliknya sih cuma panitia sama Tuhan saja yang tahu, he he he.

PB 2010 kemarin sebenarnya banyak ilmunya. Ada semacam kelas-kelas pelatihan yang diadakan penyelenggara. Cuma sayang saya sedang malas masuk-masuk ke dalam kelas-kelas pelatihan. Jadinya saya hanya ikutan acara-acara di panggung utama sambil keliling lihat-lihat pameran. Yang sempat saya ikuti sebentar itu talkshow Selamatkan Ibu di panggung utama. Sembari suami ngobrol dengan teman-temannya, saya menyimak saja acara talkshow tersebut. Ilmunya lumayan buat tambahan amunisi kalau sewaktu-waktu ada pe-er tulisan mengenai perempuan ^__^

Saya dan suami gak sampai selesai acara. Inginnya sih sampai selesai, tapi apa daya perut sudah keras. Khawatir terjadi apa-apa dengan kandungan, akhirnya hubby pun ngajak pulang ^__^

Well, meski PB 2010 banyak dapat komentar miring karena dianggap dikomersialisasi, saya pribadi sih masih dalam status asyik-asyik saja. Walaupun, kalau mau dipolitisasi, sebenarnya sih ada banyak yang bisa dikritisi. Tapi sayang, kemarin saya sedang ingin bersenang-senang dan melepaskan kepenatan, jadinya gak gitu peduli dan rada immun dengan “pesan-pesan gaib” dibalik setiap tanda yang bertebaran disana, he he he. Pokoknya, sukses deh buat blogger Indonesia. Keep writing dan tebarkan kebaikan dimana-mana! ;)

-sebuah postingan yang telat, tapi, masa bodo lah..he he-