Tampilkan postingan dengan label Cuilan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cuilan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Mei 2010

Petualangan Sinbad: Menjelajahi Tujuh Lautan Menuju Cina

“I went down to Basra with a group of merchants and companions, and we set sail in a ship upon the sea, and at first I was seasick because of the waves and the motion of the vessel, but soon I came to myself and we went about among the islands, buying and selling.”

—The Tale of Sindbad the Sailor, from The 1001 Nights

Pada suatu masa, tersebutlah orang yang bernama Sinbad si Pelaut (Sinbad the Sailor). Sinbad adalah legenda tentang petualangan pelaut Arab yang menjelajahi samudera. Tapi apakah benar Sinbad itu benar-benar eksis?

Sinbad memang pernah eksis dijamannya, setidaknya ini menurut para kru dan kapten dari sebuah tiruan perahu layar Arab yang berasal dari abad kesembilan yang diberi nama Sohar. Pelayaran ini dilakukan untuk membuktikan bahwa legenda Sinbad memiliki fakta historis. Dengan menggunakan perahu layar yang dibuat dari pohon kelapa dan dilengkapi dengan alat navigasi kuno yang berasal dari abad pertengahan, seorang penjelajah Inggris Timothy Severin dan 25 kru-nya berlayar sejauh 9600 kilometer (6000 mil) dari Muscat (Oman) menuju Kanton (Cina).

Severin memang tidak menemukan sejumlah monster seperti yang ada dalam legenda Sinbad, namun perjalanannya juga tidak lepas dari bahaya. Mulai dari hampir digilas oleh kapal tanker raksasa, layar utama yang rusak, harus bertahan di tengah lautan dengan sedikit makanan dan air, sampai akhirnya mereka bertemu bajak laut di perairan Laut Cina Selatan.

Tujuan utama penjelajahan Severin yang lulusan Oxford yang lahir di India terhadap rute pelayaran Sinbad ini adalah untuk mengkoreksi miskonsepsi Timur dan Barat mengenai orang-orang Arab. Menurutnya kebanyakan orang berpikir kehidupan bangsa Arab hanya di padang pasir. “Mereka juga manusia laut. Saya ingin membuktikan bahwa bangsa Arab adalah orang-orang yang tidak hanya datang untuk menjadi tukang minyak yang ulung, tetapi juga memiliki sejarah penjelajahan laut yang hebat,” ujarnya pria yang pernah mengendarai motor menyusuri rute Marco Polo menuju Cina.

Dari Teluk Arab Menuju Cina
Pada sekitar abad kesatu, pelayaran dari Teluk Arab ke Cina hanya membutuhkan waktu selama 120 hari saja dan itu merupakan rute perdagangan terpanjang di dunia. Itu mungkin jarak yang paling berbahaya karena para pelaut harus menghadapi pencuri Hadhramaut di Samudera Hindia dan bajak laut Vietnam di Teluk Tonkin.

Mereka yang selamat tentu saja akan mendapatkan banyak keuntungan. Karena pada saat itu, belum ada bangsa Eropa yang pernah menemukan rute ke Cina. Orang Arab yang justru menemukannya. Sehingga di pertengahan abad kedelapan banyak sekali barang-barang berharga seperti emas, gading dan permata dari India, sutra dan keramik dari Cina yang akhirnya membuat Baghdad menjadi pusat perdagangan penting di dunia. Dan 500 tahun kedepan, Muslim pun mendominasi perdagangan timur-barat.

Pada sekitar abad 13, orang-orang Mongol mulai menjelajahi Cina dan meruntuhkan kota pelabuhan terbesar. Sebagai konsekuensinya, kerjasama dalam hal perdagangan antara Arab dan Cina menjadi berantakan karena penghancuran yang dilakukan oleh bangsa Mongol tadi. Namun, 200 tahun kemudian, seorang pelaut Portugis Vasco Da Gama mengelilingi Tanjung Harapan (Cape of Good Hope) dan membuka rute perdagangan baru antara Eropa dan Timur. Penjelajahan ini berakhir pada 1448 bersamaan dengan berakhirnya dominasi bangsa Arab terhadap perdagangan di Timur setelah selama lebih dari 700 tahun mereka bertahan.

Bangsa Arab jelas telah meninggalkan tanda yang luar biasa di Asia Tenggara; perahu layar mereka tidak hanya membawa barang-barang, tetapi juga menyebarkan Islam dan kebudayaan Islam sampai ke Indonesia dan Cina. Bahkan pada suatu masa ketika Byzantium, India dan Cina yang tiba-tiba menjadi tetangga di kerajaan dunia baru, Islam menjadi agama dan bahasa Arab menjadi bahasa persatuan.

Kebesaran para pelaut Arab yang berani ini juga sungguh melegenda. Mereka menjelajahi laut sejauh 9600 sampai 16.000 kilometer menuju ke wilayah yang belum dikenal, dan membawa pulang legenda serta petualangan. Cerita yang menyebar dan banyak dibumbui ini yang kemudian menjadi dasar dari epik Sinbad si Pelaut, seperti yang diabadikan dalam kisah Seribu Satu Malam.

Selain berlayar di Samudra Hindia, ada laut rute lain dari negara Arab ke India, yang tertua dari mereka semua. Ia tidak tergantung pada musim hujan dan dapat berlayar tanpa pengetahuan tentang bintang. Teluk Arab adalah koridor alami antara Mesopotamia dan India. Sehingga pelayaran pun dapat dibuat hanya dalam perahu layar kecil dengan hanya menyusuri pantai, atau selalu menjaga agar tidak jauh dari daratan. Kontak maritim antara Mesopotamia dan India melalui perairan Teluk telah terjadi seperti pada awal peradaban urban di milenium ketiga sebelum masehi, ketika bangsa Sumeria di Sungai Tigris dan Eufrat telah berhubungan dengan Harappa di India.

Penemuan rute laut antara Teluk Arab dan Cina adalah peristiwa yang sama pentingnya seperti penemuan rute laut ke India oleh Portugis. Portugis menemukan rute untuk menyeberangi Samudera Hindia dengan monsoon Gujarat ke pantai Malabar, atau berlayar ke selatan Sri Lanka dan berbelok ke utara Teluk Benggala atau ke timur Malaya. Tetapi cukup jauh untuk membuat rute pelayaran lain untuk menuju Kanton melalui laut. Hal ini kurang dikenal dengan dalam pelayaran yang menggunakan pola angin (monsoon). Belum lagi dengan bahaya pembajakan dan Topan dari Laut Cina Selatan. Namun pada awal Islam, pelayaran langsung menuju Kanton melalui Teluk tampaknya telah menjadi hal yang lazim.

Laut Cina atau Laut India, atau yang sering disebut sebagai Samudera Hindia, pada dasarnya bukanlah satu kesatuan. Orang-orang yang berlayar disana sering mengatakan bahwa Samudera Hindia terdiri dari tujuh lautan yang berbeda, yang memiliki karakteristik masing-masing. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan the seven seas (tujuh lautan). Berikut adalah bagaimana al-Ya'qubi, yang meninggal pada 897 menjelaskan tentang tujuh lautan:

Siapa saja yang ingin pergi ke Cina harus melintasi tujuh lautan, masing-masing memiliki warna, angin, ikannya sendiri, tidak seperti sepenuhnya laut yang terletak di sebelahnya. Yang pertama dari mereka adalah Laut Fars, dimana pelaut keluar dari pengaturan Siraf. Ia berakhir di Ra's al-Jumha; itu adalah selat di mana disana banyak terdapat mutiara. Laut kedua dimulai di laut Ra's al-Jumha dan disebut Larwi. Ini merupakan laut besar, dan di dalamnya adalah pulau Waqwaq dan lain-lain yang berada di posisi Zanj. Pulau-pulau ini memiliki raja-raja. Seseorang hanya bisa berlayar di laut ini dengan panduan bintang. Terdapat ikan besar disana dan di dalamnya terdapat banyak keajaiban dan hal-hal yang tidak bisa dideskripsikan. Laut ketiga disebut Harkand dan itu terletak di pulau Sarandib, di sana terdapat batu yang berharga dan rubi-rubi. Ini adalah pulau dengan raja-raja, tetapi ada satu raja atas mereka. Di kepulauan yang berada di laut ini tumbuh bambu dan rotan. Laut keempat laut disebut Kalah-bar dan dangkal dan banyak sekali ular-ular laut yang besar. Kadang-kadang mereka muncul ke permukaan dan menabrak kapal. Berikut ini adalah pulau-pulau di mana tumbuh pohon kapur. Laut kelima disebut Salahit, sangat besar dan penuh dengan keajaiban. Laut keenam disebut Kardanj; hujan sering turun disini. Laut ketujuh disebut Laut Sanji atau dikenal sebagai Kanjli. Ini adalah laut China; yang didorong oleh angin selatan hingga mencapai sebuah teluk air tawar, di sepanjangnya terdapat tempat yang dibentengi dan kota-kota, hingga mencapai Khanfu [Kanton].

Tujuh lautan berdasarkan literatur Ya’qubi ini adalah Laut Fars (Teluk Persia), Laut Larwi (Teluk Khambat), Laut Harkand (Teluk Benggala), Laut Kalah-bar (Selat Malaka), Laut Salahit (Selat Singapura), Laut Kardanj (Teluk Thailand), dan Laut Sanji (Laut Cina Selatan). Ketujuh lautan ini adalah laut yang dilayari oleh kisah Sinbad di dongeng 1001 malam, seperti dalam buku kecil yang ditulis oleh Buzurgh bin Shahriyar yang berjudul ‘Aja ’ib al-Hind (Keajaiban India). Buku ini ditulis pada abad 10 dan merupakan kumpulan kisah pelayaran orang-orang yang mirip dengan petualangan dari Sinbad. Jadi, masih berpikir Sinbad tidak pernah eksis?

Mencari Waqwaq

Dalam sebuah petikan tentang rute laut ke Cina dalam Kitab al-Masalik wa 'l-Mamalik (Kitab Jalan dan Negara), Ibnu Khurradadhbih memberikan perkiraan ukuran dari Samudra Hindia: “Panjang laut ini, dari Qulzum [di kepala Laut Merah] menuju Waqwaq, adalah 4500 farsakhs.” Ia juga menyatakan bahwa jarak dari Qulzum ke pelabuhan Farama di Mediterania adalah 25 farsakhs. Jarak terakhir, ia menulis, berkaitan dengan panjang satu derajat di meridian sehingga, pada jarak 4500-farsakh menuju Waqwaq sesuai dengan 180 derajat. Oleh karena itu Waqwaq terletak persis di separuh dari dunia bila dihitung dari Qulzum. Dengan nama yang aneh dan jarak ke timur yang cukup jauh, keberadaan Waqwaq tampaknya lebih menjadi legenda daripada nyata secara geografi.

Namun Ibnu Khurradadhbih jelas berpendapat bahwa Waqwaq adalah tempat yang nyata. Dia menyebut itu kurang lebih dua kali: "China Timur adalah tanah-tanah Waqwaq, yang sangat kaya dengan emas yang digunakan penduduk untuk membuat kalung rantai bagi anjing dan monyet mereka dari logam ini. Mereka membuat jubah tenun dengan emas. Kayu hitam yang sangat baik ditemukan di sana.” Dan lagi: “Emas dan kayu hitam (ebony) semua diekspor dari Waqwaq."

Jadi di mana letak Waqwaq?
Editor Ibnu Khurradadhbih pertama di Eropa, sarjana Belanda Michael Jan de Goeje, mencatat bahwa salah satu nama Cina untuk Jepang adalah wo-kuo (Negara Wo). Dalam dialek Kanton, yang akan terdengar oleh para saudagar Arab, ini akan dilafazkan dengan Wo-Kwok. Waqwaq akhirnya dengan hampir sempurna diterjemahkan sebagai nama Cina untuk Jepang.

Ini adalah salah satu solusi terpecahkannya misteri Waqwaq. Namun kelemahan identifikasi Goeje's adalah bahwa tidak ada dalam pernyataan Ibnu Khurradadhbih tentang Waqwaq yang memiliki kesamaan dengan Jepang. Meskipun “jubah tenun dengan emas” yang hampir tidak mungkin, apalagi untuk membayangkan monyet dan anjing yang menggunakan kalung dari emas. Model masyarakat yang keras pada Jepang abad kesembilan, membuat semua ini menjadi mustahil. Lagipula, Jepang juga tidak mengekspor kayu hitam.

Waqwaq juga dikenal sebagai nama pohon yang tidak biasa. Sebelumnya disebutkan referensi awal untuk pohon itu (walaupun tanpa nama) seperti merunut sumber di Cina, T'ung-Tien karya Ta Huan yang ditulis sebelum 801. Ta Huan menceritakan kisah yang diberitahu oleh ayahnya, yang tinggal di Baghdad selama 11 tahun sebagai tawanan perang setelah Pertempuran Talas. Ayah Ta Huan meng-klaim telah mendengar cerita berikut dari pelaut Arab:

Raja Arab telah memberangkatkan orang-orang dengan sebuah kapal, dengan mengambil makanan dan pakaian mereka, dan pergi ke laut. Mereka berlayar untuk delapan tahun tanpa arah. Di tengah laut, mereka melihat sebuah batu persegi; pada batu ini adalah pohon dengan cabang berwarna merah dan daun berwarna hijau. Pada pohon telah tumbuh sejumlah anak-anak kecil; panjangnya sekitar enam atau tujuh jempol. Ketika mereka melihat orang-orang, mereka tidak berbicara, tetapi mereka semua tertawa dan bergerak.

Cerita yang sama berulang kali terjadi dari sumber-sumber Arab, di mana pohon yang dikenali sebagai " pohon waqwaq," yang kemudian dibumbui kisah anak-anak yang berubah menjadi perempuan muda yang cantik bergantungan di cabang-cabang pohon dengan rambut mereka. Catatan klasik yang ditulis di abad ke-12 Al-Andalus, mengatakan perempuan-perempuan itu“jauh lebih indah sehingga tidak bisa di deskripsikan dengan kata-kata, tetapi mereka tanpa hidup atau jiwa .... Ini merupakan keajaiban dari tanah Cina. Pulau ini pada akhirnya dihuni.... “

Dua catatan, namun tidak ada yang sesuai satu sama lain. Salah satu menjelaskan kemajuan budaya yang indah: “Saya telah diberitahu oleh beberapa orang yang mereka bertemu dengan seorang laki-laki yang pernah ke Waqwaq dan berdagang di sana. Dia menjelaskan besar ukuran kota-kota mereka dan pulau-pulau mereka. Maksud saya bukan luas kawasan ini, tetapi jumlah populasi penduduknya. Mereka terlihat seperti orang Turki. Mereka sangat giat dalam seni dan semua orang di setiap tempat di negara mereka selalu mencoba untuk meningkatkan kemampuan mereka.”

Adapula yang jauh lebih menarik:
Pada tahun 945 orang Waqwaq berlayar dengan 1.000 kapal untuk menyerang Qanbaluh [di pantai Afrika Timur, berlawanan Zanzibar] .... Ketika ditanya mengapa Waqwaq menyerang Qanbaluh, daripada beberapa kota lain, mereka menjawab bahwa hal itu diperlukan di negara mereka dan juga Cina, seperti gading, kulit kura-kura, kumbang kulit dan ambergris di samping itu, mereka ingin ambil orang Zanj, yang kuat dan mampu melakukan kerja keras. Mereka berkata mereka berlayar selama setahun .... Jika orang-orang ini berkata benar bahwa mereka berlayar selama satu tahun, maka Ibnu Lakis juga benar ketika mengatakan Waqwaq adalah bukanlah Cina.

De Goeje masih yakin bahwa Waqwaq adalah Jepang, namun tidak berhasil untuk menemukan bukti sejarah serangan laut Jepang di Afrika Timur pada 945. Sarjana Perancis Gabriel Ferrand, adalah yang pertama kali mengidentifikasi Waqwaq dengan Madagaskar, kemudian dengan Sumatra. Hal ini kemungkinan didasarkan beberapa alasan diantaranya adalah ditemukannya sebuah catatan penyerangan Indonesia atas Madagaskar dan pantai Afrika Selatan, atau mungkin karena adanya akulturasi bahasa Austronesian dari kepulauan Indonesia ke Madagaskar.

Al-Biruni menulis Kitab al-Hind (Buku tentang India) di 1000 tarikh masehi, yang sebagian besar berdasarkan sumber-sumber dari bahasa Sansekerta, menyebutkan sebuah negeri dimana orang-orangnya lahir dari pepohonan dan bergelantungan dari cabang ke cabang dengan pusar mereka. Dari sini dimungkinkan pohon waqwaq berasal dari sumber sansekerta dan dongeng Arab tentang Waqwaq adalah cerita yang kabur pada sebuah masa saat kepulauan Indonesia masih di bawah pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha.

Cerita tentang Pohon Waqwaq sampai ke Barat, seperti halnya cerita-cerita timur lainnya, muncul salah satu manuskrip dari penjelajahan Friar Odoric pada Abad 14 dan pada salah satu kisah romantis Perancis tentang Alexander agung pada abad pertengahan. Penampakan kisah Pohon Waqwaq ini terakhir tercatat pada 1685, ketika semua misteri dari Samudera Hindia telah memudar dalam catatan orang-orang Eropa. Hal ini terdapat di dalam Safinat Sulayman (The Ship of Solomon/Kapal Sulaiman), sebuah catatan seorang Persia menuju Siam (Thailand) ditulis oleh seorang penulis yang menemani misinya. Ia menyatakan bahwa ia mendengarnya dari seorang kapten Belanda:

Dalam sebuah perjalanan kami ke Cina, kami membuang sauh di sebuah teluk dari sebuah pulau untuk menghindari badai besar. Ada sebuah hal aneh dari orang-orang yang mendiami pulau, dimana mereka hampir menyerupai makhluk hidup. Kaki mereka pendek, mereka telanjang dan memiliki rambut yang sangat panjang. Di malam hari mereka memanjat sampai puncak pohon-pohon mereka di dalam hutan, begitu juga dengan yang perempuan, sambil membawa anak mereka di lengan-lengan mereka. Setiap sampai di pohon, mereka akan mengikatkan rambut-rambut mereka kepada sebuah dahan dan bergantungan disana sepanjang malam.

Begitu banyak manuskrip yang merekam tentang Waqwaq, namun tidak ada yang mampu menunjukkan dimana letak atau keberadaannya. Pengucapannya yang mirip dengan Fakfak sempat mengidentifikasikan Waqwaq dengan daerah Fakfak yang terdapat di Papua Barat. Namun apapun bentuk Waqwaq, ini jelas terdapat di dalam sebuah teks Hindu Sansekerta, yang disebutkan pada abad delapan, seperti dikatakan utusan Cina oleh seorang pelaut Arab yang telah membawa seorang pendeta Perancis dan diceritakan ulang oleh seorang kapten laut Belanda kepada seorang utusan Persia kepada Raja Siam.

Pram, Hamka dan Natsir

Seorang Pramoedya Ananta Toer ternyata pernah berguru kepada Natsir. Sebuah wawancara untuk majalah sastra Horison edisi Agustus 2006 dilakukan oleh Taufiq Ismail kepada dokter Hoedaifah Koeddah dan Titik Ananta Toer, anak sulung Pram.


Suatu ketika Titik berpacaran dengan seorang keturunan Tionghoa. Pram tidak setuju dan pernah berkata, “Saya tidak rela anak saya kawin dengan orang yang secara kultur dan agama berbeda.” Hal ini seperti disampaikan dokter Hoedaifah Koeddah. Hoedaifah lulusan Kedokteran Airlangga yang pernah ditugaskan ke Pulau Buru pada 1976 dalam satu tim sebagai dokter di Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan, pimpinan Prof. Sulianti.

Titik dan Daniel Setiawan, pacarnya, diminta Pram untuk mendatangi Buya Hamka. Pram menyuruh Titik dan Daniel, sebelum menikah untuk belajar agama Islam. Padahal, Pram terkenal dengan rubrik Lentera-nya di harian Bintang Timur melakukan serangan gencar terhadap seniman dan sastrawan yang berseberangan dengan Lekra/PKI, dan salah satunya adalah Hamka. Hamka, selain sastrawan non komunis, ia juga tokoh Muhammadiyah dan Masyumi. Serangan tersebut telah membuat Hamka ditahan selama dua setengah tahun dengan tuduhan makar dan upaya pembunuhan Presiden Soekarno dan Menteri Agama Syaifuddin Zuhri. Namun ketika kudeta 1 Oktober 1965 terjadi, Hamka selamat.

Hoedaifah pernah menanyakan kenapa Pram menyuruh anaknya menemui Hamka. Pram mengatakan, hal ini dilakukannya karena ia tidak pernah mendidik anaknya. Tugas mendidik hanya dilakukan istrinya, Maemunah Thamrin, yang anak angkat dari Muhammad Husni Thamrin. Pram melakukan ini semua juga untuk menghormati istrinya dan keluarga besar istrinya. Makanya ia mempercayakan anaknya kepada Hamka untuk belajar agama. “Masalah perbedaan pendapat dengan Hamka tetap. Tapi dalam hal ceramah agama di televisi, Buya Hamka-lah yang paling mantap membahas soal tauhid.” Ujar Pram kepada Hoedaifah.

Lalu bagaimana seorang Pram yang anti Islam bisa memperhatikan masalah Tauhid? Titik menceritakan kepada Taufiq Ismail, bahwa Pram pernah menjadi murid dari Natsir di Sekolah Tinggi Islam, Jakarta. “Gayanya (Natsir, red.) berbicara dan menguraikan masalah sangat menarik hati Pram,” ujar Titik.

Pram mengetik kuliah yang disampaikan Natsir dengan rapi, dan mengubahnya menjadi sebuah diktat dan dilaporkannya kepada Natsir. Pram meminta Natsir mengoreksi catatan yang dibuatnya itu karena akan distensil dan meminta izin supaya boleh dijual untuk biaya sekolah. Namun Natsir tidak setuju dan Pram kecewa. “Catatan pakailah sendiri tapi jangan dijual,” ujar Natsir kepada Pram.

Betapa persentuhannya dengan Natsir telah menanamkan banyak hal kepada Pram. “Tauhid dalam Islam tak ada kompromi. Sayang di Indonesia, kata Pram, sinkretismenya terlalu banyak. Dia menekankan bahwa agama itu adalah tauhid, syariat, etos kerja dan harga diri,” jawab Titik kepada Taufiq.

(Dicuil dari tulisan saya di Majalah SABILI edisi khusus Natsir)