Rabu, 12 Mei 2010

Pram, Hamka dan Natsir

Seorang Pramoedya Ananta Toer ternyata pernah berguru kepada Natsir. Sebuah wawancara untuk majalah sastra Horison edisi Agustus 2006 dilakukan oleh Taufiq Ismail kepada dokter Hoedaifah Koeddah dan Titik Ananta Toer, anak sulung Pram.


Suatu ketika Titik berpacaran dengan seorang keturunan Tionghoa. Pram tidak setuju dan pernah berkata, “Saya tidak rela anak saya kawin dengan orang yang secara kultur dan agama berbeda.” Hal ini seperti disampaikan dokter Hoedaifah Koeddah. Hoedaifah lulusan Kedokteran Airlangga yang pernah ditugaskan ke Pulau Buru pada 1976 dalam satu tim sebagai dokter di Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan, pimpinan Prof. Sulianti.

Titik dan Daniel Setiawan, pacarnya, diminta Pram untuk mendatangi Buya Hamka. Pram menyuruh Titik dan Daniel, sebelum menikah untuk belajar agama Islam. Padahal, Pram terkenal dengan rubrik Lentera-nya di harian Bintang Timur melakukan serangan gencar terhadap seniman dan sastrawan yang berseberangan dengan Lekra/PKI, dan salah satunya adalah Hamka. Hamka, selain sastrawan non komunis, ia juga tokoh Muhammadiyah dan Masyumi. Serangan tersebut telah membuat Hamka ditahan selama dua setengah tahun dengan tuduhan makar dan upaya pembunuhan Presiden Soekarno dan Menteri Agama Syaifuddin Zuhri. Namun ketika kudeta 1 Oktober 1965 terjadi, Hamka selamat.

Hoedaifah pernah menanyakan kenapa Pram menyuruh anaknya menemui Hamka. Pram mengatakan, hal ini dilakukannya karena ia tidak pernah mendidik anaknya. Tugas mendidik hanya dilakukan istrinya, Maemunah Thamrin, yang anak angkat dari Muhammad Husni Thamrin. Pram melakukan ini semua juga untuk menghormati istrinya dan keluarga besar istrinya. Makanya ia mempercayakan anaknya kepada Hamka untuk belajar agama. “Masalah perbedaan pendapat dengan Hamka tetap. Tapi dalam hal ceramah agama di televisi, Buya Hamka-lah yang paling mantap membahas soal tauhid.” Ujar Pram kepada Hoedaifah.

Lalu bagaimana seorang Pram yang anti Islam bisa memperhatikan masalah Tauhid? Titik menceritakan kepada Taufiq Ismail, bahwa Pram pernah menjadi murid dari Natsir di Sekolah Tinggi Islam, Jakarta. “Gayanya (Natsir, red.) berbicara dan menguraikan masalah sangat menarik hati Pram,” ujar Titik.

Pram mengetik kuliah yang disampaikan Natsir dengan rapi, dan mengubahnya menjadi sebuah diktat dan dilaporkannya kepada Natsir. Pram meminta Natsir mengoreksi catatan yang dibuatnya itu karena akan distensil dan meminta izin supaya boleh dijual untuk biaya sekolah. Namun Natsir tidak setuju dan Pram kecewa. “Catatan pakailah sendiri tapi jangan dijual,” ujar Natsir kepada Pram.

Betapa persentuhannya dengan Natsir telah menanamkan banyak hal kepada Pram. “Tauhid dalam Islam tak ada kompromi. Sayang di Indonesia, kata Pram, sinkretismenya terlalu banyak. Dia menekankan bahwa agama itu adalah tauhid, syariat, etos kerja dan harga diri,” jawab Titik kepada Taufiq.

(Dicuil dari tulisan saya di Majalah SABILI edisi khusus Natsir)

Tidak ada komentar: