Bencana yang sedang melanda Indonesia saat ini tak luput dari perhatian media massa tanah air yang saling berlomba memberitakannya. Headline media cetak setiap harinya selalu diisi dengan perkembangan mutakhir dari bencana dan penanganannya. Sementara media elektronik macam radio dan televisi lebih up date dengan laporan langsung pandangan matanya. Apalagi televisi, yang bisa menyajikan gambar live dari lokasi kejadian. Ini membuat sang tabung kaca tak henti-hentinya menyajikan tayangan berita bencana tersebut dengan berbagai angle-nya.
Namun ternyata hal ini pun menimbulkan kejenuhan pemirsa karena berita yang ditayangkan kerap dianggap “berlebihan”. Sehingga pemirsa pun melayangkan komplain ke stasiun televisi yang bersangkutan dengan menggunakan jejaring sosial, seperti Twitter.
Namun ternyata, salah satu televisi swasta yang bersangkutan tidak terima mendapatkan kritik pemirsa, sehingga melakukan “pembelaan” atas komplain pemirsa. Stasiun televisi swasta itu pun membuat status yang tidak bertahan lama karena kemudian dihapus. Status itu berbunyi: “Kami memang sedang fokus meliput bencana. Mohon maaf kepada pemirsa yang terus memaki kami. Silakan pindah saluran hiburan atau lawak” (Oct 27, 2010 19:24, from TweetDeck). Setelahnya, serangan makian pun kembali terjadi, bahkan lebih tidak beradab lagi.
Sebelumnya, surat kabar Washington Post yang berdiri pada 1877 pernah melayangkan memo kepada staf redaksinya. Memo itu berisi larangan kepada para jurnalis Washington Post untuk menjawab kritik publik melalui akun Twitter perusahaan maupun pribadi dengan mengatasnamakan perusahaan.
Ricuh itu bermula ketika Post menerbitkan sebuah artikel dari penulis tamu, Tony Perkins. Dalam artikelnya Perkins menuliskan pendapat pribadinya mengenai sejumlah aksi bunuh diri remaja di Amerika Serikat akibat bullying karena dirinya gay. Menurut Perkins dalam artikelnya, homoseksualitas merupakan masalah kesehatan mental. Tak ayal pendapat tersebut membuat aktivis kelompok pembela kaum gay, GLAAD (The Gay and Lesbian Alliance Against Defamation) melancarkan “serangan” kepada Post melalui jejaring sosial Twitter dan situs mereka.
Merasa protes semakin ramai, staf redaksi Post melakukan upaya pembelaan diri dengan mengatakan bahwa artikel Perkins hanyalah “sisi lain” dari wacana gay itu sendiri. Namun pembelaan ini justru menyulut protes yang lebih besar lagi. Para aktivis GLAAD itu menyatakan: “There are not “both sides” to teen suicide issue” (tidak ada dua sisi dalam masalah bunuh diri remaja ini). Protes dilayangkan masih di media sosial yang sama, Twitter.
Menanggapi kericuhan ini, Redaktur Pelaksana Washington Post Raju Narisetti akhirnya membuat penjelasan khusus:
“Pekan ini, beberapa staf post merespons kritik dari luar melalui akun Twitter perusahaan mengenai isu kontroversial yang kami terbitkan secara online. Keinginan untuk membalas adalah untuk membela keputusan menerbitkan artikel tersebut, tapi itu malah menyesatkan kedua pihak dalam menggambarkan rasionalisasi untuk menerbitkan artikel tersebut dan sebagai bahan praktik. Pernyataan itu tidak seharusnya dikeluarkan.
Bahkan ketika kita mendorong semua orang dalam ruang berita untuk merangkul media sosial dan alat-alat yang relevan, amatlah penting untuk mengingat bahwa tujuan dari akun Post adalah untuk digunakan sebagai platform untuk mempromosikan berita, membawa dan meningkatkan keterlibatan pembaca dengan isi Post. Tidak ada akun Post yang harus digunakan untuk menjawab kritik dan berbicara atas nama Post, sebagaimana Anda harus mengikuti pedoman jurnalistik kami untuk tidak menggunakan akun sosial media pribadi untuk berbicara atas nama Post.
Mungkin akan berguna untuk memikirkan masalah seperti ini: ketika kita menulis cerita, pembaca kita bebas untuk merespon dan kita menyediakan tempat untuk melakukannya. Kita kadang-kadang melibatkan mereka dalam percakapan verbal pribadi, tapi begitu kita memasuki perdebatan pribadi melalui media sosial, ini akan setara dengan memungkinkan pembaca untuk menulis surat kepada editor dan kemudian memberikan bantahan melalui reporter. Ini sesuatu yang tidak kita lakukan.”
Hal serupa juga pernah terjadi sebelumnya, ketika Terry Moran dari ABS dalam Twitternya pernah menyebut Presiden Obama dengan sebutan “jackass”.
Ini adalah sebuah pelajaran tentang bagaimana sebaiknya wartawan dan perusahaan media menggunakan media sosial untuk menunjang tugas jurnalistiknya. Memo yang dikeluarkan Post adalah sebuah kewajaran, dan memang begitulah seharusnya sebuah media memposisikan dirinya. Media massa menggunakan jejaring sosial sebatas untuk mempromosikan berita-beritanya, menggiring khalayak mengunjungi situs serta meningkatkan traffic. Bukan sebagai tempat terjadinya perdebatan pribadi antara wartawan dengan khalayaknya ataupun narasumbernya, apalagi dengan mengatasnamakan perusahaan media tempatnya bekerja.
Tidak heran jika kemudian perusahaan media dewasa ini mulai bersikap keras dan mengeluarkan aturan perusahaan yang membatasi wartawannya untuk “berkicau” di jejaring sosial manapun. Karena sikap wartawan belum tentu sejalan dengan sikap perusahaan medianya. Dan tentu saja, semua aturan ini dibuat semata-mata untuk menjaga integritas produk jurnalistik dari perusahaan media yang bersangkutan.