Kamis, 11 November 2010

Media Membingkai Perempuan

Apa yang terbersit di dalam kepala kalau kata ‘perempuan’ disebutkan? Cantik, lembut, keibuan, manja, kuat, dan lain sebagainya. Berbagai visualisasi akan muncul manakala kata ini terlontar, bahkan tidak sedikit juga yang seksis. Lalu bagaimana jika pencitraan tadi dilakukan oleh media massa?

Guru Besar Ilmu Komunikasi UI Ibnu Hamad (2007) menyebutkan, media menghadirkan citra dari suatu obyek kepada konsumennya melalui suatu proses yang disebut konstruksi realitas sosial. Media kemudian “mengangkat” obyek tersebut sebagai realitas alamiah (first reality) kedalam bentuk realitas media (second reality), hingga proses tersebut menghasilkan produk media yang disebut discourse (wacana).

Ada citra positif, ada citra negatif. Ada discourse, ada discourteous. Dimana pendapat umum negatif (discourteous) ini mewujud dalam bentuk wacana tidak senonoh dengan motif fitnah, pornografi, penghinaan, dusta, dan sebagainya. Tujuannya adalah melakukan pembunuhan karakter (character assassination).

Visualisasi mengenai perempuan tadi merupakan sebuah citra (image) atau kesan yang ditangkap oleh orang perorang mengenai suatu obyek, dalam hal ini obyek tersebut adalah perempuan. Namun kesan kita terhadap obyek tersebut tergantung kepada kondisi internal kita, seperti suasana hati, motif, dan pemahaman. Hal inilah yang kemudian membuat sebuah obyek bisa bernilai positif ataupun negatif di mata kita, termasuk perempuan.

Banyak yang menyebutkan bahwa perempuan adalah makhluk marjinal sehingga kerap mendapatkan diskriminasi. Seperti halnya yang terjadi di dunia media modern dewasa ini yang masih melakukan praktik diskursif terhadap perempuan melalui berbagai kontennya; baik di dalam konten berita, hiburan, maupun iklan. Melalui sarana efektif ini (media), ideologi patriarki yang (katanya) masih mendominasi publik ini pun melakukan proses stigmatisasi, baik secara halus (dalam diksi) maupun kasar (melalui gambar) terhadap perempuan.

Koordinator Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Rach Alida Bahaweres menyebutkan, media massa dalam pemberitaannya masih mengeksploitasi kaum perempuan, bahkan cenderung melecehkan. “Dari hasil penelitian menunjukkan perempuan masih menjadi objek eksploitasi pemberitaan media massa. Beritanya bernuansa melecehkan, bahkan terkadang menyalahkan keberadaan kaum perempuan," ujarnya dalam sebuah sarasehan bertajuk “Bahasa Media Massa dan Kesetaraan Gender” di Yogyakarta medio April 2010 silam.

Menurutnya, diksi atau pemilihan kata yang digunakan media dalam memberitakan perempuan acapkali memposisikan perempuan sebagai objek eksploitasi. Contohnya seperti penggunaan kalimat pasif dalam berita di surat kabar yang sering memposisikan perempuan sebagai korban yang memang seharusnya menimpa mereka. Seperti kata ‘digarap’ dalam sebuah berita mengenai tindak kriminal perkosaan menjadikan perempuan bermakna sebagai ‘lahan garapan’.

Belum lagi dengan tayangan iklan yang kerap menghiasi layar kaca. Dimana dalam tayangan iklan tubuh perempuan kerap dieksploitasi secara vulgar untuk menjajakan berbagai produk kecantikan dan kesehatan. Bahkan tidak sedikit juga produk yang tidak ada hubungannya dengan perempuan “memanfaatkan” perempuan sebagai modelnya.

Sehingga tidak mengherankan jika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) – sebagai salah satu elemen negara yang mengawasi media massa penyiaran – kemudian mendesak untuk secepatnya melaksanakan revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Beberapa diantaranya adalah pada butir-butir yang mengatur tentang anak, perempuan dan iklan. Revisi ini diharapkan dapat melindungi perempuan (dan anak) dari beragam bentuk eksploitasi yang dikenakan kepadanya, baik yang tersurat maupun tersirat.

Tidak ada komentar: