Jumat, 10 Desember 2010

Jurnalisme ala WikiLeaks

WikiLeaks adalah fenomena. Disaat kebanyakan media massa memilih untuk memposisikan diri menjadi corong politik dan kekuasaan, WikiLeaks tidak. Namun, apakah sebenarnya WikiLeaks itu? Termasuk kerja jurnalistikkah?

Dalam websitenya yang telah berganti alamat server beberapa kali, WikiLeaks mengakui dirinya sebagai sebuah organisasi media non profit yang memiliki tujuan untuk menyajikan berita-berita penting dan informasi kepada publik. Resminya, organisasi yang mengembangkan dan mengadaptasi teknologi untuk mendukung aktivitasnya ini, berdiri sejak 2007. Mereka bekerja berdasarkan prinsip freedom of speech dan penerbitan media.

Organisasi ini mengadopsi artikel 19 dari Universal Declaration of Human Rights yang menyebutkan, semua orang memiliki hak untuk bebas mengeluarkan pendapat dan berekspresi; yang bagi mereka sama artinya dengan bebas untuk memiliki pendapat tanpa gangguan, untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi serta buah pikiran melalui media apa saja, tanpa batas.

Situs yang membongkar ratusan ribu dokumen rahasia militer Amerika ini dipuji sebagai masa depan dari jurnalisme investigatif. Bahkan profesor jurnalisme pada Universitas George Washington, Mark Feldstein, dalam American Journalism Review edisi September menyebut WikiLeaks menggugat ketidakmampuan media dalam mengungkap penyimpangan kekuasaan. "Manakala jurnalisme tak mampu mengungkap penyelewengan, maka aktivis-aktivis anti penyalahgunaan wewenang bakal mengambilalih peran itu. Kadang dengan mempengaruhi peristiwa-peristiwa lewat cara-cara yang tak pernah terpikirkan politisi," kata Feldstein.

Sang Direktur WikiLeaks, Julian Assange sendiri menginginkan standar baru dalam jurnalisme. "Saya ingin menciptakan standard baru, yaitu jurnalisme ilmiah," kata Julian Assange. Sebuah laporan jurnalistik yang bersumber dari sumber-sumber terpercaya yang bisa dicek dan diverifikasi.

Selain itu Assange bercita-cita menjadikan WikiLeaks sebagai penengah antara sumber-sumber berita dan pihak media masssa. “WikiLeaks menyediakan sebuah hubungan alamiah antara seorang jurnalis dan seorang sumber. Dengan kami bertindak sebagai penengah, merupakan fungsi terbaik yang dapat kami lakukan,” ujar wartawan dan hacker berkewarganegaraan Australia ini.

Situs yang membeberkan 90 ribu dokumen perang Afganistan ini bukan saja dihasilkan dari aktivitas meretas kode enkripsi saja, melainkan juga melakukan “cara lama” dalam metode pelaporan beritanya. Seperti mengirimkan dua wartawannya ke Baghdad untuk menyelidiki serangan pada 2007. Para wartawan yang dikirim melakukan verifikasi dengan mewawancarai para saksi dan anggota keluarga korban yang tewas serta terluka. Ada proses cek dan ricek yang dilakukan WikiLeaks; meski dalam kebijakannya, nara sumber tak disebutkan dalam laporannya alias dilindungi oleh redaksi WikiLeaks.

Tidak hanya perang Afganistan, 400 ribu dokumen perang Irak yang dimulai pada 1 Januari 2004 sampai 31 Desember 2009 pun dibeberkan. Disebutkan 109 ribu orang meninggal dunia, dan lebih dari 60 pesennya adalah warga sipil. Berdasarkan dokumen WikiLeaks, stasiun televisi Al Jazeera bahkan membuat program khusus “The Secret Iraq Files”, hasil kerja sama dengan Biro Jurnalisme Investigatif London. Mereka menyimpulkan bahwa Amerika telah menyembunyikan fakta dari pengawasan publik.

Film dokumenter ini “berkisah” tentang wanita hamil yang ditembak mati saat berada di lokasi pemeriksaan, para imam yang diculik dan dibunuh, dan penjaga penjara Irak yang menggunakan listrik dalam metode interogasinya. Pihak Al Jazeera berprinsip, meski sifat dari informasi ini rahasia, namun sangat penting untuk diketahui publik.

Dari aksi-aksinya yang heroik dalam mengungkapkan fakta, WikiLeaks ternyata menginspirasi para jurnalis untuk membuat Wikileakas versi Indonesia. Dalam sebuah situs internet, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Wahyu Dhyatmika menyatakan, ia berharap situs itu dapat menjadi outlet alternatif bagi para jurnalis untuk menerbitkan dokumen atau bukti sensitif yang dianggap terlalu “berbahaya” untuk diterbitkan di media tempat mereka bekerja. Namun, mungkinkah hal ini bisa berlaku di Indonesia, sementara kelak (jika disahkan) akan muncul seperangkat aturan bernama UU Rahasia Negara?

Tidak ada komentar: