Kamis, 23 Desember 2010

Tirto Adhi Soerjo

Pramoedya Ananta Toer dalam karya biografinya Sang Pemula menulis, “Seperti jamak menimpa seorang pemula, terbuang setelah madu mulia habis terhisap, sekiranya ia tak mulai tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia, bagaimana sebuah nation seperti Indonesia akan terbentuk?”

Ini adalah tentang Djokomono Tirto Adhi Soerjo. Tokoh yang dikagumi Pram ini adalah salah seorang pendiri Syarikat Dagang Islam (SDI), yang kemudian dinobatkan menjadi Bapak Pers Nasional pada 1973. Seorang jurnalis pribumi pertama yang mampu menulis dengan bahasa Melayu lingua franca yang lahir di Blora pada 1880. Bahkan Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak menyebut Tirto sebagai pribumi pertama yang mampu menggerakkan bangsa melalui bahasanya lewat Medan Prijaji. Kisah hidupnya tidak hanya diabadikan oleh Pram dalam Sang Pemula, tetapi juga dalam Tetralogi Buru.

Ia memiliki cita-cita untuk membuat surat kabar sendiri. Namun cita-citanya selalu kandas karena masalah dana. Hingga pada 1903, dengan bantuan modal Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja, Tirto berhasil mendirikan surat kabar Soenda Berita. Soenda Berita adalah surat kabar pertama yang seluruh pekerja mulai dari pengasuh, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.

Pada 1907, ia mendirikan Medan Prijaji – sebuah mingguan berformat 12,5 x 19,5 cm, dengan tebal 22 halaman. Setahun kemudian, mingguan Medan Prijaji berubah menjadi harian. Tirto memiliki gaya jurnalistik sendiri; yang radikal dan penuh sindiran. Ia banyak menulis tentang berbagai penyelewengan dan kesewenangan yang dilakukan pemerintah kolonial dan para kaki tangan pribumi. Tulisan-tulisannya kerap membuat pemerintah kolonial murka. Bahkan lantaran tulisannya tentang penyalahgunaan jabatan di sebuah daerah, Tirto pernah terkena delik pers dan dibuang ke Lampung selama tiga bulan.

Pada 1907 ia juga mendirikan Sarekat Prijaji (SP), organisasi pribumi pertama yang kemudian berubah menjadi SDI untuk mengorganisir para pedagang batik yang berbasis di Solo. SDI kemudian berkembang pesat dan berubah menjadi Syarikat Islam (SI).

Tirto ternyata juga peduli dengan gerakan pencerdasan perempuan. Hingga pada 1908, ia merintis pendirian surat kabar Poeteri Hindia. Poeteri Hindia melahirkan nama seperti Siti Soendari yang dikenal sebagai sosok aktivis politik perempuan pribumi pertama. Sementara di Sumatra Barat muncul Rohana Koedoes, yang mendirikan koran Sunting Melayu. Menurut Tirto, kemajuan gerakan perempuan tidak hanya melalui koran tetapi juga harus dimulai dari sekolah. Mantan ketua SI Bogor ini menjadi donatur tetap sekolah perempuan di Jawa Barat yang didirikan oleh Dewi Sartika.

Medan Prijaji pernah mencapai puncaknya pada 1909-1912. Jumlah pelanggannya mencapai 2.000 orang. Namun pemerintah kolonial yang tidak suka melakukan “serangan-serangan” yang meruntuhkan Medan Prijaji secara perlahan. Omsetnya terus merosot, setoran macet, bahkan beberapa perusahaan menolak untuk pasang iklan.

Akhirnya Medan Prijaji tak mampu melunasi biaya percetakan. Hingga pada Agustus 1912, Medan Prijaji pun akhirnya gulung tikar. Tirto kemudian ditahan karena tak mampu melunasi tunggakan hutang-hutangnya. Ia dihukum dengan dibuang ke Ambon pada 1913 dan wafat pada 7 Desember 1918. Pram menulis, “Semua yang dibangunnya runtuh. Juga nama baiknya. Yang tinggal hidup adalah amal dan semangatnya.”

Ki Hajar Dewantara pada 1952 pernah mencatat Tirto dalam buku kenang-kenangannya. Ia menulis, "Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirto Adhi Soerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan jurnalistik."

Sementara Sudarjo Tjokrosisworo dalam Sekilas Perjuangan Suratkabar (terbit November 1958) menggambarkan Tirto sebagai seorang pemberani. “Dialah wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirto Adhi Soerjo disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan.”

Tirto adalah muslim pribumi pertama perintis dunia media di Indonesia. Bahkan ia juga salah satu tokoh aktivis Islam yang juga concern terhadap perjuangan pergerakan nasional Indonesia. Melaluinya, bahasa Melayu menjadi bahasa nasional, yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Namun akibat ketidaksukaan pemerintah kolonial terhadap geliatnya, kiprah serta kontribusinya pun dilupakan. Seperti seorang penyair Cekoslovakia Milan Kundera pernah berkata, “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.”

Tidak ada komentar: