Hari itu bisa dibilang hari yang membanggakan bagi Ningsih, perempuan disabilitas asal Bandung. Ia mendapatkan penghargaan Kartini Award Dewan Pers pada 23 April 2010 silam.
Ningsih mempunyai ide membuat program "zakat sampah". Metodenya mudah dan sangat sederhana. Bagi siapa saja yang memiliki barang bekas, hibahkan saja kepada Ningsih dan kawan-kawan. Setelahnya, barang-barang bekas itu akan didaur ulang menjadi barang bermanfaat bagi Ningsih dan kawan-kawan.
Dalam proses produksinya, Ningsih melibatkan kaum perempuan dan anak-anak yang ada di lingkungannya lho. Karena ia tidak hanya ingin mengajarkan untuk peduli kepada lingkungan, tapi juga menumbuhkan kreatifitas di kelompok karyanya. Ningsih yang berusia 32 tahun dan sudah menderita polio sejak kecil ini juga berhasil mendirikan “sekolah hijau” sebagai bentuk kepeduliannya kepada lingkungan hidup.
Pernah dengar kata 'disabilitas' gak sob? Disabilitas itu sebelumnya disebut dengan ‘difabel’, yang merupakan akronim dari different ability. Itu adalah istilah bagi orang yang memiliki perbedaan kemampuan, atau yang dulu lebih dikenal sebagai ‘penyandang cacat’.
Menurut WHO nih sob, rata-rata 10% dari jumlah penduduk di negara-negara berkembang termasuk Indonesia mengalami disabilitas. Misalnya saja Indonesia yang berpenduduk sebanyak 200 juta, maka sekitar 20 jutanya itu mengalami disabilitas. Nah, kalau mengacu kepada perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang 1:3, maka akan didapat angka 13,7 juta orang perempuan yang mengalami disabilitas.
Sementara itu, Ben Lindqvist yang banyak melaporkan mengenai masalah-masalah disabilitas, memprediksi hanya sekitar 5% kaum disabilitas di dunia yang mendapatkan rehabilitasi dan 5% yang melek huruf. Berarti, dari 13,7 juta perempuan disabilitas, hanya kira-kira baru sekitar 2.740.000 perempuan disabilitas yang dapat rehabilitasi dan kira-kira hanya 685.000 orang saja yang bisa membaca. Hmm..
Banyak forum-forum kajian yang digelar aktivis gender yang memaparkan, bahwa kendala yang paling sering dihadapi perempuan disabilitas justru berasal dari sikap negatif keluarga. Seperti yang diungkapkan Ariani dari Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI), keluarga kerap malu dan cenderung menyembunyikan putrinya yang disabilitas. Ironinya lagi, keluarga kadang menganggap kekurangan putrinya tersebut sebagai beban. “idealnya keluarga dapat memberikan kesamaan kesempatan, hak, dan perlakuan kepada anggota keluarganya yang disabilitas,” ujarnya. (Jurnalperempuan.com, 2010)
Menurut para aktivis gender ini, para perempuan disabilitas mengalami tiga diskriminasi. Yaitu diskriminasi kultur karena keperempuanannya dia, diskriminasi struktur yang tidak memihak, dan diskriminasi karena disabilitisnya. Dalam deklarasi BIWAKO (Kerangka Aksi Dekade Penyandang Cacat Dunia ke II) disebutkan bahwa hak-hak dasar perempuan disabilitas untuk menikah, membina keluarga dan memiliki keturunan cenderung dilanggar. Hal ini sangat disayangkan, karena bisa membuka peluang untuk terjadinya pelecehan serta kekerasan fisik dan seksual yang menimpa perempuan disabilitas.
Masalah disabilitas ini terus terang belum begitu mendapat perhatian ekstra, Sob. Karena seringnya di Indonesia, penyelesaiannya hanya ditekankan kepada pemenuhan kebutuhan praktis semacam pemberian keterampilan, modal usaha dan alat-alat bantu. Sementara pemenuhan kebutuhan strategis semacam pemberdayaan kaum disabilitas di segala lini dan pemenuhan hak-hak sipilnya masih belum banyak dilakukan.
Padahal, sesuai standar HAM universal, setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia, dan ini adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights); termasuk dalam keadaan disabilitas.
Menurut Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Amin Abdullah, dalam diskusi publik bertema Menggugat Perspektif 'Normalisme' dan Keadilan Bagi Difabel (Perspektif Kajian Agama), kaum difabel seharusnya diperlakukan sama. Mereka seharusnya bukan lagi dianggap orang yang tidak beruntung, perlu disantuni dan dipelihara dengan sekolah khusus. Namun, sejalan dengan pandangan dunia modern, mereka (apapun gendernya) berhak diperlakukan sebagai individu-individu yang mandiri, memutuskan sendiri dan berhak mendapatkan hak-hak sipilnya. Ia juga mencontohkan bagaimana bentuk sensitifitas kampus-kampus di Eropa dan Australia yang menyediakan laptop magnifier dan printer braille. “Saya mikir, apa yang menyebabkan mereka begitu, iman atau ilmu pengetahuan?” ujarnya.
Pada diskusi yang diadakan di Kantor PP Muhammadiyah, Kamis (08/04/2010) ini ia juga menyampaikan, baiknya orang Islam masuk ke dalam pengarusutamaan isu disabilitas ini. Karena menurutnya, di Indonesia kaum disabilitas kebanyakan beragama Islam.
Kisah Ningsih di atas tentunya menginspirasi kita. Meskipun banyak yang memandang Ningsih sebelah mata dengan kecacatan yang dimilikinya, namun itu bukanlah kendala baginya. Ia justru dijadikan lecutan bagi dirinya untuk terus berkarya. Perempuan yang tidak lulus jenjang Sekolah Dasar ini tidak pernah putus asa. Ia bahkan mempunyai komitmen untuk terus belajar, belajar dan belajar. Dan memang Sob, kunci itu semua bukan terletak pada keimanan saja, tetapi juga pada pendidikan yang adil dan merata bagi semua perempuan tanpa pandang ia normal atau disabilitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar