Black Monday. Ini bukanlah Black Monday yang terjadi pada 19 Oktober 1987, dimana stok pasar-pasar di seluruh dunia jatuh, yang menyebabkan kenaikan harga dalam waktu singkat. Tapi Black Monday yang ini adalah peringatan atas penyerbuan tentara Israel ke kapal Mavi Marmara; yang mengangkut ratusan relawan kemanusiaan dari berbagai belahan dunia berlayar menuju Gaza. Di antara 600 orang aktivis pro-Palestina tersebut, selain dokter dan perawat, juga terdapat sastrawan, sutradara film, politisi dan tentunya jurnalis.
Turutnya jurnalis dalam misi kemanusiaan bukanlah hal baru dalam proses pencarian berita. Apalagi jika misi kemanusiaan tersebut menawarkan akses untuk para jurnalis untuk mendapatkan sisi lain dari sebuah peristiwa. Seperti halnya konflik Palestina-Israel yang bertahun-tahun mengalami diskriminasi pemberitaan, disebabkan mayoritas media massa internasional hanya menayangkan sisi Israel-nya saja. Apalagi jika ditambah dengan fakta bahwa mayoritas media tersebut telah berada dalam kungkungan jaringan lobi Zionis.
Dengan demikian, bergabung dengan misi kemanusiaan menjadi salah satu jalan untuk mengungkap fakta lain yang bisa jadi selama ini ditutupi dan direkayasa. Seperti yang dilakukan oleh Surya Fachrizal, M Yasin, Santi WE Soekanto, Wisnu Pramudya, para jurnalis asal Indonesia yang bergabung di dalam armada Flotilla.
Cara lain untuk mendapatkan sisi lain peristiwa dalam wilayah konflik adalah dengan menjadikan dirinya tameng hidup. Ini seperti yang dilakukan Faruk Zabci, koresponden perang surat kabar terbesar di Turki, Hurriyet Gazetesi. Ketika perang hampir berkecamuk di Irak pada 2003, Zabci tahu ia harus berada disana.
Namun Zabci tidak mendapatkan visa wartawan sehingga harus mencari cara lain untuk masuk Irak. Hingga akhirnya ia memutuskan berangkat ke Irak sebagai tameng hidup. Hal ini sudah barang tentu membahayakan dirinya. Namun kebutuhan akan fakta telah membuatnya harus melakukan berbagai cara.
Saat itu, tameng hidup merupakan kumpulan orang sipil dari seluruh dunia yang menentang serangan AS ke Irak. Atas izin pemerintah Irak, mereka pergi ke tempat-tempat potensial target pemboman di Irak dan berkemah disana dengan harapan keberadaan mereka akan mencegah serangan AS ke tempat-tempat tersebut.
Dengan statusnya sebagai tameng hidup, Zabci mendapatkan akses berita lebih daripada dengan rekan sesama jurnalis yang menggunakan visa wartawan. Iapun menjadi wartawan pertama yang mengambil gambar pemboman di jembatan sekitar 300-400 meter dari pembangkit listrik di mana ia dan rombongan tameng hidupnya berada.
Membahayakan diri demi eksklusifitas pemberitaan memang risiko profesi seorang jurnalis, apalagi para jurnalis yang bertugas di wilayah konflik bersenjata internasional. Namun apa yang terjadi pada kebanyakan kasus, jurnalis sering menjadi korban dalam konflik tersebut. Kasus penyerangan kapal Mavi Marmara adalah salah satu contoh di mana jurnalis sering diabaikan hak perlindungannya dari mereka yang bertikai, meski aturan pemberian perlindungan terhadap jurnalis sudah ada.
Hal ini termaktub dalam Artikel 79 tentang “Measures of Protection for Journalist” (Standardisasi Perlindungan Kepada Jurnalis) yang terdapat dalam Protokol I yang diadopsi oleh Konferensi Diplomatik PBB, 8 Juni 1977. Dimana aturan tersebut menerangkan seorang jurnalis yang sedang melaksanakan misi profesional dalam area konflik militer memiliki hak sebagai rakyat sipil, mereka mendapatkan jaminan perlindungan oleh hukum kemanusiaan sebagai masyarakat sipil.
Tapi sepertinya kenyataan di lapangan sering menunjukkan hal lain. Mereka yang bertikai sering menjadikan jurnalis sebagai sasaran dengan berbagai dalih alasan. Maka sepantasnya hal ini kembali menjadi renungan, agar jurnalis yang tugasnya mencari dan mengabarkan berita tidak malah menjadi berita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar