Belakangan dunia selebrita kita sedang dimarakkan oleh berita video porno mirip artis. Isu yang biasanya hanya marak di segmen infotainment ini nyatanya malah mengambil alih arus utama pemberitaan nasional. Berita penyerbuan tentara Israel ke kapal Mavi Marmara yang melibatkan relawan dan wartawan Indonesia, Bibit-Chandra, bahkan isu dana aspirasi DPR pun tergeser oleh isu ini.
Apapun latar belakang dari kasus beredarnya video porno mirip artis ini, bukan saja menjadi ujian besar bagi implementasi Undang-Undang Pornografi, tetapi juga bagi dunia media di Indonesia. Ini mungkin bukan yang kali pertama media di Indonesia dihebohkan dengan isu video atau foto porno. Tapi mungkin karena video tersebut disinyalir dibintangi artis papan atas yang sedang melejit ketenarannya, pencetak rating dan digandrungi banyak anak muda, maka semua media pun berlomba-lomba memberitakannya.
Video porno mirip artis ini dikabarkan beredar pertama kali di sebuah milis wartawan, lalu berkembang ke situs jejaring sosial, dan berubah menjadi isu nasional yang menembus media massa cetak dan elektronik nasional. Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Azimah Soebagijo dalam wawancaranya dengan Sabili menyatakan bahwa sebenarnya pengguna internet di Indonesia bisa dibilang masih lebih sedikit ketimbang jumlah penduduknya. Namun karena terjadi pengulangan berita pada media massa cetak dan elektronik, akhirnya membuat yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Apalagi ditambah dengan pemutaran adegan tersebut berulang-ulang pada tiap kali tayangannya dengan kualitas blur yang kurang baik. Belum lagi narasi yang sarat dengan opini dan wacana, sehingga tidak mengherankan terjadinya penjungkir-balikkan fakta, bahwa para pelaku adegan adalah "korban".
Untuk mengantisipasi agar tidak terlalu meluas, KPI akhirnya mengeluarkan edaran peringatan bagi televisi Indonesia terkait tayangannya. KPI menganggap pemberitaan yang terdapat di media massa televisi dinilai berpotensi melanggar sejumlah aturan yang ada di UU nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) KPI tahun 2009.
Adapun poin-poin peringatan itu adalah program siaran dilarang menonjolkan muatan cabul (UU Penyiaran Pasal 36 ayat 5b), program siaran wajib memberikan perlindungan kepada khalayak khusus yaitu anak-anak dan remaja (UU Penyiaran Pasal 36 ayat 3 dan SPS Pasal 13), program siaran wajib menghormati privasi sebagai hak atas kehidupan pribadi dan ruang pribadi dari subjek dan objek berita (SPS Pasal 11).
KPI kemudian menyarankan agar sebaiknya program siaran tidak menampilkan adegan seks (SPS Pasal 17). Namun pelarangan ini, menurut Ketua KPI Dadang Rahmat Hidayat, bukan berarti melarang informasi tersebut diberitakan. Menurutnya, informasi bisa tetap disampaikan, selama informasi tersebut dikemas dalam bentuk berita yang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang ada, seperti Kode Etik Jurnalistik misalnya.
Kemudian KPI juga mengingatkan agar para pelaku media televisi harus melakukan pemberitaan yang akurat, adil, berimbang, tidak beritikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukan fakta dan opini pribadi serta tidak cabul (SPS Pasal 42 ayat 1b).
Imbas terbesar dari tayangan dengan konten pornografi ini sudah barang tentu adalah moral remaja dan anak-anak. Sehingga tidak mengherankan jika ada orangtua yang sengaja menyembunyikan televisinya selama isu ini beredar di layar kaca, khawatir sang anak terlepas dari pengawasannya dan menonton tayangan mengenai video porno mirip artis tadi di salah satu segmen acara televisi, baik infotainment maupun program beritanya.
Sejak awal kemunculannya, kotak tabung bernama televisi ini memang telah membuat resah para pemirsanya. Televisi seperti pedang bermata dua, di satu sisi ia menuai manfaat bagi tersebarnya akses informasi dan pendidikan. Namun di sisi lain, jika tidak dikelola dengan baik akan berubah wujud menjadi sebuah alat pengikis moral. Dan meski kampanye “TV Turnoff” yang telah dilakukan sejak 1983 di Connecticut telah merambah Indonesia, tetap saja permasalahan moral yang seringkali muncul akibat media televisi yang menyajikan gambar bergerak ini belum bisa seratus persen dituntaskan.
Perkembangan media seperti televisi pun tak bisa dibendung, namun tetap saja ada cara untuk membentengi diri dari gempurannya. Mengamini Neil Postman, bahwa masalahnya bukan terletak pada apa yang kita tonton atau jenis tontonannya, melainkan pada pilihan kita untuk menonton televisi. Sehingga penyelesaiannya bukan saja dengan mengabaikan jenis tontonan yang negatif dan berbau pornografi misalnya, tetapi juga diiringi dengan usaha memperbaiki cara kita menonton televisi.
1 komentar:
termasuk gue juga risih dengan berita yang itu itu melulu... :|
unfortunately, media tidak mau kalah argumen dengan mengatas namakan keingin tahuan penonton/pembaca :|
Posting Komentar