Kamis, 05 Agustus 2010

Konvergensi Media

Beberapa waktu lalu sempat didengungkan wacana era Gutenberg telah usai dan media massa nasional mulai beralih menjajaki era paperless; era tanpa kertas dan masa kebangkitan teknologi komunikasi digital. Semenjak era itu diproklamirkan, industri media cetak mulai mengalami penurunan oplah dan berbondong-bondong melebarkan sayap perusahaan medianya ke media online.

Namun fenomenanya tak hanya media cetak, tapi juga televisi dan radio. Mereka merambah world wide web untuk meng-up load fitur-fiturnya di web, bahkan live streaming siaran. Hal ini bisa membuat radio yang berada di pelosok pedalaman dengan frekuensi lokal pun bisa diakses sejagad raya yang memiliki fasilitas internet.

Tak salah bila McLuhan (2005) menyebutkan bahwa kelak internet akan membawa masyarakat dunia kepada sebuah konsep global village. Dimana antar manusia di seluruh dunia dapat terkoneksi satu dengan yang lainnya tanpa adanya batasan apapun. Karena semua informasi dan konten yang disajikan oleh internet pada akhirnya memang masih tanpa batas dan bisa diakses siapapun di penjuru bumi ini.

Bentuk integrasi konten media yang berupa data, teks, audio dan visual ini kemudian membuat semacam genre baru, yaitu new media. New media sendiri bisa disimpulkan sebagai medium yang mampu menghadirkan teknik dan tata cara baru dalam penyampaian dan pertukaran pesan, yang mengandung prinsip newness. Bisa dibilang, new media adalah hibrida antara media massa tradisional dengan medium internet. Perkembangan new media inilah yang pada akhirnya melahirkan sebuah budaya media baru, yang disebut convergence culture.

Konvergensi media bukan saja memperkaya sajian informasi, tapi juga memberikan pilihan kepada khalayak untuk memilih informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan selera mereka. Dalam Preston (2001), konvergensi media juga memberikan kesempatan baru dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk informasi baik yang bersifat visual, audio, data, dan sebagainya.

Konvergensi media menurut Terry Flew dalam An Introduction to New Media menyebutkan, konvergensi media merupakan hasil dari irisan tiga unsur new media yaitu jaringan komunikasi, teknologi informasi, dan konten media. Hal ini bukan hal baru lagi di Indonesia. Karena memang pada kenyataannya seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa sudah banyak media massa yang mengadopsi konsep ini. Secara bisnis, para juragan media tentunya akan diuntungkan dengan konsep ini untuk meraup pengiklan di medianya. Namun bagaimana dari sisi jurnalisme?

Dalam jurnalisme, prinsip aktualitas adalah wajib hukumnya. Prinsip aktualitas ini sejalan dengan prinsip newness dari new media. Sehingga dalam prakteknya, media massa akan meng-up date berita yang disajikannya di dalam website bukan saja dalam hitungan menit, tapi detik.

Jika informasi terus di up date sedemikian seringnya seiring dengan berkembangnya peristiwa, maka konten yang dilansir pun tidak melewati editor sebagai penyaring informasi. Berbagai kepentingan bisa melatari terbitnya berita tersebut. Hal ini dikhawatirkan banyak pihak dapat menumbuhkan bias terhadap informasi yang berkembang, apalagi jika si media tidak meng-up date perkembangan terbaru. Ditambah lagi khalayak mendapatkan kebebasan untuk memilih dan memilah informasi mana yang akan dijadikan rujukan. Dan ini jelas berbeda dengan konsep media tradisional yang komprehensif dalam menyajikan berita.

Namun di sisi lain, ide konvergensi media ini memberikan kebebasan kepada wartawannya untuk saling berkompetisi dalam mengkreasi konten. Seperti membuat berita dengan angle yang tidak pada umumnya, sehingga memperkaya nilai informasi itu sendiri.

Seperti kasus video porno artis beberapa waktu lalu. Ketika media massa tradisional tidak bisa menampilkan berita dengan potongan adegan dikarenakan penyensoran dan dianggap tidak sesuai dengan kode etik, namun di sisi lain konten video mesum tersebut ternyata bisa diunduh melalui media internet lewat berbagai situsnya.

Hal inilah yang mesti menjadi perhatian bersama. Sehingga demi menjaga kepentingan masyarakat, regulasi konvergensi media tetap dibutuhkan. Entah dengan menggabungkan beberapa undang-undang yang sudah ada, entah dengan membuat sebuah produk hukum baru lainnya. Tujuannya sederhana. Hanya untuk meminimalisir korban dari konvergensi media yang kebanyakan adalah anak muda Indonesia.

Tidak ada komentar: