Selasa, 27 Juli 2010

Penutup Kepala pun Masih Dilarang di Turki

Sekitar akhir Januari 2010. saya dan beberapa kawan di kru Lembar Khazanah (eL-Ka) diundang kawan-kawan aktivis mahasiswa yang kebetulan jadi eo acara International Youth Gathering (IYG) ketiga untuk meliput kegiatannya. Berhubung acara ini bertaraf internasional, kami tentunya gak mau ketinggalan moment dan “jaringan” tentunya, he he he.

Kebetulan kami disodorkan aktivis muslimah asal Turki untuk digarap jadi figur di salah satu rubrik muda bernama Teman Kita. Berdiskusi dengan mereka cukup menarik, meski dengan bahasa Inggris seadanya. Gelar Advanced IV sembilan tahun lalu pun sedang dipertaruhkan, he he he. Tapi kita kan tim yang keren, jadinya, meski wawancara gado-gado (setengah bahasa Inggris – saya dan Arief, setengah bahasa Arab – jatah Daniel), wawancara tetap berjalan lancar. Dan hasilnya, inilah potret tentang anak muda Turki berdasarkan kacamata dua muslimah ini. Selamat membaca ^__^

Senanur Avci dan Nagehan

Peserta IYG Asal Turki

Penutup Kepala pun Masih Dilarang di Turki

Bagaimana jadinya jika perwakilan pemuda Islam dari beberapa negara di dunia berkumpul di Jakarta? Yup, beberapa waktu lalu di Jakarta dilaksanakan International Youth Gathering (IYG) ketiga. Kegiatannya tidak jauh dari berdiskusi dan saling bertukar informasi serta solusi permasalahan dunia Islam dari perspektif anak muda tentunya. Nah, Teman Kita kali ini adalah perwakilan kontingen Turki, Senanur Avci dan Nagehan. Di sela-sela acara jamuan makan siang oleh Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, pada Kamis (21/01/2010) di Candi Bentar, Ancol, kru eL-Ka sempat menculik kedua teman kita ini untuk bincang-bincang ringan. Mau tahu apa bocorannya? Yuk ikuti obrolan kru eL-Ka Arief Kamaluddin, Daniel Handoko dan Diyah Kusumawardhani dengan para aktivis Turki ini.

eL-Ka: Setelah beberapa hari mengikuti IYG, pengalaman apa sih yang kalian dapatkan?

Nagehan: Kami datang kesini melalui NGO. Kami membicarakan wajah-wajah ummat. NGO memberikan jaringan kepada kami. Sehingga kami bisa mengenal satu sama lain, dan menghabiskan waktu bersama.

Senanur: Saat kami datang kesini, kami bertemu saudara se-iman dari seluruh negara. Kami bertukar informasi, dan informasi-informasi ini bisa berguna untuk pendidikan saya. Saya mengambil jurusan Hubungan Internasional di Istanbul Bilgi University.

eL-Ka: Nama NGO kalian?

Senanur: Hayat Health and Social Services Foundation

Nagehan: Bogazici (Bosphorous) University Reunion Association

eL-Ka: Selain NGO, aktifitas kalian apa saja?

Senanur: Kami juga aktif di organisasi mahasiswa. Kadang kalau ada masalah Palestina, kami sering mengumpulkan bantuan berupa uang untuk Palestina. Kami mengumpulkan uang dari sumbangan mahasiswa.

Nagehan: Kami membangun sebuah laboratorium komputer di Palestina dengan uang-uang sumbangan mahasiswa tadi.

eL-Ka: Bagaimana dengan sistem pendidikan kalian di Turki?

Nagehan: Sekolah kami menggunakan pendidikan sekuler. Sistem pendidikan kami dari sekolah dasar sampai universitas juga sekuler, bukan pendidikan Islam. Ada semacam kursus agama di sekolah, tapi itu sifatnya pilihan dan tidak diwajibkan. Kita hanya bisa mendapatkan pendidikan Islam melalui NGO dan pendidikan alternatif lainnya.

Senanur: Seperti orang Nasrani, mereka bisa mengabaikan kursus ini.

eL-Ka: Selain sistem pendidikan yang masih sekuler, tantangan apa lagi yang kalian hadapi?

Senanur: di Turki kami tidak bisa menggunakan jilbab ke wilayah publik. Saat ini kebijakannya sedang diupayakan untuk berubah, supaya minimal bisa menggunakan headscarf (penutup kepala, eL-Ka.) bagi muslimahnya. Dan itu cukup membuat reaksi.

Nagehan: Turki, mayoritasnya memeluk Islam. Mereka memiliki iman. Mereka mempraktekkan Islam. Contohnya saya. Saya tidak menggunakan jilbab, tapi saya berusaha untuk tetap menjalankan agama saya, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Banyak orang di Turki yang seperti saya (tidak berjilbab, eL-Ka.). Inilah produk dari sistem sekuler. Tapi saya berharap bisa lebih baik lagi, insya Allah.

eL-Ka: Seberapa kuat sih NGO yang kalian ikuti mempengaruhi kebijakan di negaramu?

Nagehan: Sulit untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah di Turki. Contohnya, di Indonesia yang 20 tahun lalu jilbab menjadi permasalahan, kemudian timbul reaksi masyarakat, dan masalah jilbab pun menemukan jalan keluar. Sedangkan di Turki, kami bereaksi tapi hal ini tidak bisa diselesaikan. Karena aturannya sangat ketat dan kejam. Militer punya kekuatan besar dalam isu-isu pemerintahan. Jadi sangat sulit untuk mengubah dan melawan sekulerisme.

Senanur: Dan sistem sekuler pun akhirnya mempengaruhi sistem pendidikan kami.

eL-Ka: Bagaimana cara kalian mengajak teman-teman kalian untuk bergabung dalam gerakan kalian?

Nagehan: Biasanya kami menggunakan jalur-jalur informal. Kami berdiskusi satu sama lain, lalu saling berkirim e-mail. Kadang kita menggunakan web-pages. Kami menggunakan akses internet untuk berhubungan satu sama lain, dan masing-masing sangat aktif satu sama lain untuk memberikan informasi, dan berbagi banyak hal menggunakan internet.

Senanur: kami memiliki banyak e-mail group. NGO dapat mempublikasikan program dan kegiatannya disana. Kami juga memiliki koran atau majalah Islam yang terbit harian atau mingguan. NGO juga mempublikasikan program-programnya melalui koran atau majalah tadi.

eL-Ka: Gerakan kalian bukan gerakan underground yang tidak legal kan?

Nagehan: Kami legal. Cuma memang institusi publik kami saja yang buruk. Kami bisa beribadah, kami memiliki banyak masjid, kami belajar Islam, kami juga bisa belajar Quran. Tidak ada masalah dengan itu semua. Tapi, kita tidak bisa memasuki kampus menggunakan jilbab, juga tidak bisa bekerja sebagai dokter, guru dengan jilbab.

Senanur: Ada beberapa sekolah Islam swasta yang memperbolehkan muslimah menggunakan jilbab, juga di beberapa rumah sakit swasta. Tapi di wilayah publik, beberapa pekerja yang awalnya bekerja secara legal namun mereka menjadi tidak legal karena hanya menggunakan jilbab.

eL-Ka: Bagaimana orang-orang memandang aktivitas kalian ini?

Nagehan: Menurut pendapat saya, setelah kudeta militer pada 1980, atmosfir di Turki berubah drastis. Orang-orang mulai bersikap simpati satu sama lain. Karena dalam kudeta militer ini setiap orang terluka. Baik itu muslim, maupun non muslim. Jadi, mereka mulai membangun hubungan yang kuat.

Senanur: Beberapa orang berprasangka. Beberapa menerima kami apa adanya, beberapa melihat jilbab kita, dan beberapa ada yang bersikap tidak baik. Tapi atmosfir menjadi berubah dengan pendidikan masyarakat. Contohnya, sepuluh tahun lalu di Turki tidak banyak ditemukan perempuan menggunakan jilbab. Namun sekarang alhamdulillah sudah banyak peningkatan. Dan sekarang, orang-orang tidak berreaksi seperti 20 tahun lalu, sebelum kudeta. Kita menjadi familiar dengan jilbab sekarang. Saya pikir, NGO Islam sudah bekerja keras untuk mengubah cara berpikir rakyat Turki.

eL-Ka: Bagaimana dengan generasi muda di Turki?

Nagehan: Generasi muda kami memahami Islam seperti melakukan shalat, mengaji al-Quran, tapi tidak bisa melaksanakannya di kehidupan sehari-hari. Contohnya, saya tidak bisa menggunakan jilbab, karena di wilayah publik hal ini dilarang. Melalui pendidikan sekuler, perlahan mereka berusaha mengubah mindset, nilai-nilai, dan kebiasaan kami sehari-hari.

Namun kondisi generasi muda sekarang sudah jauh lebih baik. Mereka mulai melaksanakan praktek-praktek keislaman di wilayah publik. Misalnya, mereka tidak melakukan shalat di rumah mereka, tetapi di masjid. Mereka tidak mengatakan, “Ya, saya menggunakan aturan Islam dalam kehidupan saya.” Tapi mereka menunjukkannya. Dan ini tidak pernah dilakukan sebelumnya. Contohnya, tidak pernah ada presiden sebelumnya di Turki yang mengerjakan shalat meski mereka semua muslim. Tentu saja mereka menyatakan dirinya muslim. Di Turki, muslim adalah mayoritas, mungkin 99%. Tapi kebanyakan mereka tidak melakukan shalat.

Tidak ada komentar: