Kamis, 05 Agustus 2010

Madrasah I'tikaf

i’tikaf dimaksudkan sebagai sarana muhasabah dan kontemplasi diri bagi setiap muslim, guna memelihara dan meningkatkan keislamannya. Momen berkhalwat dengan Sang Kekasih demi memenangkan cinta-Nya

Selalu saja ada yang berbeda, manakala Ramadhan kembali singgah. Tidak seperti 11 bulan lainnya, karena pada bulan ini masjid-masjid kembali diramaikan manusia dengan beragam aktivitasnya. Mulai dari kuliah subuh, buka puasa bersama, kultum-kultum sampai tarawih berjamaah. Laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan anak-anak ikut berlomba-lomba menggapai kemuliaan Ramadhan dengan janji pahalanya yang berlimpah.

“Barangsiapa bertaqarrub kepada-Nya (di bulan Ramadhan) dengan suatu kebaikan, ia bagaikan melakukan suatu kewajiban di bulan lainnya. Barangsiapa melakukan suatu kewajiban pada bulan ini, maka ia sama dengan orang yang melakukan tujuh puluh kali amalan wajib di bulan lainnya.”(HR Ibnu Khuzaimah).

Kehadiran Ramadhan selalu dinanti. Karena selain dibukanya berbagai peluang emas untuk beribadah di bulan suci ini, Ramadhan juga bisa digunakan sebagai munthalaq (titik tolak) untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi seusainya. Tentunya dengan tempaan ibadah yang telah dilalui 30 hari lamanya. Seperti bunyi hadits, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (Muttafaq Alaih).

Maka setelah Ramadhan, ia akan terlahir seperti bayi yang suci. Jika kesucian itu yang memang didambakan, maka tak lengkap rasanya jika seorang muslim tak melakukan ibadah i’tikaf di bulan Ramadhan. Ibadah sunnah yang disyariahkan ini selalu dilakukan Rasulullah Saw selama 10 hari di akhir Ramadhan. Aisyah, Ibnu Umar dan Anas ra. meriwayatkan, “Rasulullah Saw selalu beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim)

I’tikaf (al-i’tikaf) bermakna al-ihtibas (tertahan) dan al-muqam (menetap). Sedangkan menurut para fuqaha, i’tikaf didefinisikan sebagai menetap di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Definisi lain menyebutkan i’tikaf sebagai kegiatan menetap di masjid untuk taat dan melaksanakan ibadah kepada Allah saja, serta meninggalkan berbagai kesibukan dunia. Jelas disini i’tikaf dimaksudkan sebagai sarana muhasabah dan kontemplasi diri bagi setiap muslim, guna memelihara dan meningkatkan keislamannya. Momen berkhalwat dengan Sang Kekasih demi memenangkan cinta-Nya.

Lalu bagaimana dengan hukum dari i’tikaf itu sendiri? I’tikaf jelas berkedudukan hukum sunnah. Seperti yang disampaikan Imam Ahmad, “Sepengetahuan saya tidak ada seorangpun dari ulama yang mengatakan bahwa i’tikaf itu bukan sunnah.” Rasulullah Saw, para sahabat dan istri serta para ulama salafusholeh yang senantiasa melakukan ibadah ini.

Walaupun i’tikaf bersifat sunnah, namun hukumnya bisa berubah menjadi wajib ketika seseorang bernadzar untuk melakukannya. Ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra sebagaimana terdapat dalam kitab Fathul Bari’, Bab I’tikaf, hadits nomor 2043, “Umar bernadzar akan i’tikaf pada zaman jahiliyyah di masjidil haram. Maka Nabi Saw bersabda kepadanya: ‘Penuhilah nadzarmu!’” (HR Bukhari)

Sesungguhnya aktivitas i’tikaf ini adalah madrasah tempat menempa kepribadian serta sarana untuk merevulosi pribadi para pelakunya. Tak mungkin tercapai i’tikaf yang baik tanpa perencanaan. Seseorang yang akan i’tikaf harus lebih dulu memenej waktunya, finansial dan ruhaniyahnya dengan baik.

Jika dilaksanakan sesuai dengan syariatnya, para alumni i’tikaf ini diharapkan bisa menularkan kebaikan ke masyarakat lainnya. Sehingga tak hanya kesholihan pribadi yang tercapai, tetapi juga kesholihan sosial.

Tidak ada komentar: