Jumat, 03 September 2010

Mendamba Pengelolaan Zakat Ideal

Dalam ‘Mensucikan Jiwa’, Said Hawwa menyebutkan bahwa zakat merupakan sarana terpenting kedua dalam upaya tazkiyatun-nafs. Dimana zakat yang dikeluarkan seyogianya bisa mengeliminir sifat kikir yang fitrah dimiliki manusia (QS. An-Nisa: 128) dengan saling berbagi. Namun bagaimana jika ternyata kekikiran malah tumbuh subur akibat kesalahan pengelolaan zakat?

Diskursus mengenai peran zakat dalam pengentasan kemiskinan telah banyak menjadi tema dalam berbagai forum ilmiah, apalagi sejak Undang-Undang Nomor 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat muncul. Namun meski sudah berusia 11 tahun, UU ini ternyata masih saja dianggap belum maksimal dalam mengatur pengelolaan potensi zakat di Indonesia. Beberapa pasal yang berbicara mengenai mekanisme pengelolaan dan pengawasan dianggap kurang komprehensif. Hal ini membuat wacana amandemen pun digulirkan berbagai pihak yang mendambakan pengelolaan zakat yang ideal dalam bingkai profesionalitas.

Profesionalitas ini seperti apa yang didambakan oleh anggota komisi VIII DPR RI asal Fraksi PKS, Jazuli Juwaini. Menurutnya, pengelolaan zakat haruslah profesional, transparan, akuntabel, dan betul-betul bisa meraih kepercayaan para muhsinin dan muzakki. “Program-programnya juga harus menyentuh dan menjawab persoalan masyarakat,” ujarnya kepada Sabili.

Dalam wacana amandemen ini ternyata bukan saja mengenai profesionalitas, tetapi berhembus pula isu sentralisasi zakat oleh pemerintah. Isu sentralisasi zakat inipun masih multitafsir, baik dari kalangan yang pro maupun yang kontra.

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dalam pernyataannya terkait revisi UU nomor 38/1999, mengakui di satu sisi telah mendorong pertumbuhan pesat organisasi pengelolaan zakat. Namun menjamurnya organisasi pengelola zakat ini dianggap menimbulkan kekhawatiran, khususnya berkaitan dengan sistem pengawasan dan koordinasi terhadap organisasi pengelola zakat yang masih jauh dari efektif. BAZNAS dalam hal ini merasa tidak memiliki legitimasi formal untuk mengkoordinasikan pengelolaan zakat di tanah air.

Hal ini diamini Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Nasaruddin Umar. Menurutnya, BAZNAS belum memposisikan diri sebagai payung dari seluruh Lembaga Amil Zakat (LAZ). Akibatnya, potensi zakat pun belum terkonsentrasi dengan baik. “Setahun minimal 9 trilyun bisa terkumpul. Ada juga angka yang menyebutkan sampai 21 trilyun. Namun, karena belum terkonsentrasi dengan baik, zakat kita belum sampai 1 trilyun. Baznas sendiri selama satu tahun dengan menghimpun dari data-data yang dimiliki baru sekitar 800 milyar,” jelasnya.

Nasaruddin juga mengatakan, idealnya masyarakat percaya kepada BAZNAS. “BAZNAS itu bentukan masyarakat, dan dialah nanti akan bersama-sama dengan komponen masyarakat yang lain sebagai koordinator dan meng-hire profesional yang lain, merangkul semua lembaga-lembaga yang ada. Jadi tidak perlu merasa terancam tidak dipakai atau lainnya,” paparnya.

Ia juga menegaskan perspektif sentralisasi yang diinginkan pemerintah bukanlah dalam pengertian tidak memberikan peran apapun kepada masyarakat. “Sampai pada masyarakat paling bawah pun tetap akan dilibatkan, tapi kita usulkan sebagai Unit Pengumpul Zakat. Jadi terintegrasi, sehingga tidak ada lagi monopoli. Supaya akuntabilitasnya terpelihara dan data-datanya sangat profesional. Mungkin sentralisasinya itu hanya pendataannya, data-datanya dibawah koordinasi BAZNAS,” jelasnya.

Kepala Cabang Rumah Zakat Indonesia (RZI) Jakarta Raya Timur Jaya Saputra menanggapi, bahwa draft amandemen UU Pengelolan Zakat yang diajukan Kementerian Agama yang menghendaki sentralisasi, dianggapnya telah mempersempit peran LAZ. LAZ hanya bertugas mengumpulkan zakat kemudian disetorkan kepada pemerintah. “Kalau ingin mendistribusikan, kita harus mengajukan lagi ke pemerintah. Artinya, penyalurannya terpusat di pemerintah, dan kita hanya sebagai Unit Pengumpul Zakat,” papar Jaya.

Sebelum membuat aturan sentralisasi, Jaya melanjutkan, seharusnya pemerintah melihat sejauh mana kesiapan dalam upaya sentralisasi ini. Karena menurutnya, sebelum sentralisasi, seharusnya pemerintah membuat regulasi bagaimana menyadarkan masyarakat untuk membayar zakat, membuat regulasi tentang aturan zakat, dan melakukan pemberdayaan masyarakat yang terarah serta kontinyu.

Sementara Ketua Umum Forum Zakat Ahmad Juwaini menganggap upya sentralisasi ini sebagai sesuatu yang positif, bahwa idealnya zakat dikelola melalui satu pintu. “Disentralisasi bagi kami bukan sesuatu yang aneh. Tapi kalau dilakukan sekarang ini, yang kami persoalkan adalah, apakah itu sudah dikaji dengan benar?” ujarnya.

Ahmad juga melanjutkan, bukannya Forum Zakat menolak ide sentralisasi itu, hanya menurutnya hal ini belum tepat diterapkan saat ini. Pemerintah menginginkan hanya ada satu lembaga pengelola zakat yaitu Badan Amil Zakat (BAZ). “Ketika ditanya kenapa hanya ada satu, alasannya karena sejarah nabi. Di jaman nabi pengelola zakat cuma satu, di negara-negara Timur Tengah juga satu.”

Namun menurut Ahmad, semua pengelola zakat sudah mendapat mandat dari pemerintah. Karena LAZ yang terlibat dalam pengelolaan zakat di masyarakat ini sebagian sudah disahkan pemerintah dengan dikeluarkan surat pendelegasian. “Menurut kami alasan itu sudah tidak relevan. Tugas pemerintah sudah diserahkan kepada kami melalui surat pendelegasian tadi, dan kami bukanlah lembaga liar. Lagipula kami juga tidak bertentangan secara fiqih. Kalau dinyatakan harus dikelola oleh negara, kami juga ditugaskan negara. Toh di negara manapun dibantu oleh aparat-aparat, sampai tingkat terkecil,” jelasnya panjang lebar.

Ahmad Juwaini juga menyayangkan wacana penghapusan LAZ-LAZ dalam draft amandemen versi Kementerian Agama. Menurutnya yang paling penting sekarang bukanlah menghapus LAZ-LAZ, melainkan mengurusi orang-orang yang belum berzakat, meningkatkan pendapatan zakat, serta menata lembaga zakat agar berjalan tertib dan rapih. Selain itu daripada menghapus LAZ-LAZ, Ahmad menyarankan sebaiknya ditetapkan koordinator. “Yang kami dorong sekarang ini adalah adanya koordinator, bukan penghapusan LAZ,” pungkasnya.

Hal senada juga disampaikan Direktur Pusat Kajian Agama dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Irfan Abu Bakar. Menurutnya LAZ yang ada saat ini sudah memberikan kontribusi melakukan transformasi penting dalam penyadaran masayarakat untuk membayar zakat. Ia melanjutkan, LAZ memberikan penyadaran melalui berbagai iklan dan pendekatan untuk membayar zakat, yang tidak dilakukan pemerintah. “Ini yang justru harus dikembangkan,” ujar Irfan.

Irfan menjelaskan, pemerintah cukup bertugas sebagai penjamin pengelolaan yang dilakukan LAZ. “Pemerintah harus menjamin LAZ agar berjalan sesuai koridor serta menjaga akuntabilitas, transparansi dan profesionalisme dari LAZ-LAZ yang ada. Pemerintah harusnya membuat regulasi yang harus disepakati oleh lembaga-lembaga yang ada. Membuat kebijakan sentralisasi tidak relevan dengan perkembangan jaman. “Pemerintah cukup sebagai regulator dan pengawas saja, bukan pengelola,” pungkas Irfan.

Tidak ada komentar: