Jumat, 03 September 2010

Jika MMT Diterapkan

Jika Makkah Mean Time (MMT) diterapkan, dunia, setidaknya dunia Islam harus berbenah. Mengubah dan menyesuaikan berbagai perangkat yang selama ini mengacu pada sistem GMT hanyalah bagian kecil dari pekerjaan rumah kita


Belakangan ini dunia Islam dihebohkan dengan rencana pemerintah Arab Saudi yang sedang merampungkan proyek jam terbesar di dunia. Jam yang berbentuk kubus empat sisi dan memiliki diameter 40 meter ini dipasang di puncak menara Abraj Al-Bait. Tak tanggung-tanggung, pemerintah Arab Saudi sampai menggelontorkan dana miliaran dolar AS untuk jam yang mengalahkan jam terbesar di Turki dengan diameter 35 meter dan menjadi atap Cevahir Mall.

Jam Makkah ini ditemukan oleh Yasin a-Shouk asal Palestina. Ia mengatakan, Jam Makkah bergerak berlawanan dengan arah jarum jam sebagaimana rotasi tawaf keliling Kabah. Penemuannya semakin menguat manakala pada April 2009 dilangsungkan sebuah gelaran konferensi ilmiah “Makkah sebagai Pusat Bumi: Teori dan Praktik” di Dhoha, Qatar yang kemudian menegaskan bahwa Makkah sebagai pusat bumi.

Dengan dipasangnya jam terbesar ini, pemerintah Arab Saudi kemudian juga memiliki ambisi untuk menggeser kedudukan Greenwich Mean Time (GMT) di Inggris yang selama ini menjadi pusat waktu dunia, menjadi Makkah Mean Time (MMT). Dan pro kontra pun dimulai.

Kenapa Makkah? Tahun 1978, Kepala Bagian Ilmu Ukur Bumi di Universitas Riyadh, Saudi Arabia Dr Husain dan kawan-kawannya melakukan studi. Ia menemukan bahwa pada saat ditelaah dari ilmu geografi (ilmu bumi) dan geologi (ilmu tanah), Makkah adalah pusat bumi.

Kemudian pada konferensi di Dhoha-lah hasil penemuan itu dipublikasikan. Konferensi tersebut juga lahir rekomendasi berupa ajakan bagi umat Islam di dunia untuk mengganti acuan waktu, yang tadinya di Greenwich ke Makkah.

Hal ini juga dikuatkan dengan pernyataan Ulama Mesir Yusuf Qaradhawi yang sepakat dengan pendapat Makkah sebagai pusat bumi. Lebih tepatnya sebagai poros bumi, karena menurutnya Makkah berada di titik keselarasan magnetis (utara) sempurna bumi. Selain itu, Qaradhawi juga menyatakan bahwa Makkah merupakan zona nol magnet.

Padahal selama ini, sistim tata waktu masehi (kalender Gregorian) adalah yang digunakan sampai saat ini. Dimana garis tanggal internasional sebagai awal hari harus dimulai dari meridian 180 derajat Greenwich pada pukul 00:00 tengah malam. Sistim GMT ini diperkenalkan oleh Sanford Fleming (Canada) dan Charles F Dowd (Amerika) pada 1883.

Oleh mereka bumi dibelah menjadi dua bagian, yaitu bujur barat dan bujur timur, serta meridian 0 derajat diletakkan di Greenwich. Bujur timur melintasi Eropa, Asia, Australia sampai selat Bosporus. Sedangkan bujur barat melintasi Atlantik, benua Amerika hingga selat Bosporus.

Hal ini membuat Makkah berada di posisi 40 derajat bujur timur dan Indonesia terbentang dari 91-145 derajat bujur timur. Akibatnya, umat Islam di Indonesia beribadah empat jam lebih dulu daripada di Makkah.

Gagasan menjadikan Makkah sebagai pusat waktu dunia ternyata bukan hal baru di Indonesia. Gagasan itu pernah ditulis oleh seorang doktor asal Institut Pertanian Bogor (IPB) yang mengambil master dalam bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, almarhum Bambang E Budhiyono. Meski bukan mengambil bidang spesialisasi astronomi ataupun agama, Bambang mampu melemparkan gagasan ini melalui bukunya Kabah Universal Time (KUT).

Dalam studinya, Bambang menyebutkan bahwa umat Islam selama ini telah terkecoh dengan sistim waktu Barat. Dengan berpedoman pada al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 1, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”; ia menyatakan bahwa selama ini ibadah yang dilakukan umat Islam di Indonesia telah mendahului peribadatan yang dilakukan di Makkah empat jam lebih cepat.

Untuk itu ia melemparkan gagasan ini sebagai upaya untuk mengajak umat Islam kembali ke sistem waktu Islam (Islamic Time System), agar keabsahan ibadahnya terpenuhi. Selain itu, menurutnya, agar umat Islam terbebas dari rasa ragu akan mendahului Allah dan Rasul-Nya, seperti termaktub dalam surat al-Hujurat.

Menanggapi wacana ini, Astronom ITB Moedji Raharto berpendapat bahwa pergeseran ini tidak menggunakan dalil. “Jika perubahan kiblat shalat umat Islam ditentukan oleh wahyu dari Allah, pergeseran ini (pusat waktu dunia, red.) jelas tidak pakai wahyu,” ujarnya pada Sabili.

Moedji juga menyatakan, jika deklarasi GMT sudah berjalan selama beberapa abad lalu melalui konvensi internasional yang dihadiri kurang lebih 25 negara. “Saya kira Arab Saudi tidak hanya melempar gagasan, tetapi harus siap dengan segala konsekuensinya,” ujarnya.

Konsekuensi yang dimaksud Moedji adalah terjadinya perubahan waktu yang bukan saja mencakup aspek ibadah tapi juga seluruh aspek kehidupan manusia di seluruh dunia. Misalnya, aktivitas bisnis, perbankan, sistem komputer, sistem transportasi internasional, dan hampir semua aspek kehidupan lainnya. “Jika MMT digunakan, apakah sistim perbankan di Arab Saudi dan negara Islam akan menyesuaikan diri? Apakah waktu untuk berkomunikasi juga akan disesuaikan dengan MMT?” tanyanya.

Ia melanjutkan, selama ini kita tidak bisa menafikan bahwa teknologi masih dikuasai Barat. Karenanya, untuk mewujudkan perubahan tersebut, tentunya harus didukung dengan infrastruktur teknologi yang masih dikuasai Barat itu. “Pertanyaannya, apakah mereka mau mengubah secara sukarela? Jika pun mau, Barat tentu meminta imbalan yang tidak sedikit? Itulah tantangan utama menerapkan MMT menggantikan GMT,” jelasnya panjang lebar.

Peneliti utama astronomi astrofisika LAPAN yang juga anggota Badan Hisab Rukyat Depag RI Thomas Djamaluddin menanggapi. Menurutnya, tidak ada masalah dengan kalender Gregorian. Ia berpendapat, Islam menghargai dua sistem kalender, karena baik matahari maupun bulan beredar berdasarkan perhitungan. Seperti yang termaktub dalam QS. 10: 5,“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak” dan QS. 55:5, “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”. “Hanya saja untuk keperluan ibadah, Allah dan Rasul-Nya mengajarkan untuk melihat hilal, sebagai cara termudah melihat pergantian tanggal,” tulisnya dalam website-nya.

Ia juga menambahkan, perubahan sistim universal time ke KUT hanyalah mengubah konversi waktu saja dan tidak bermakna hakiki. Karena menurutnya, secara astronomis tidak ada keuntungan mengubah UT menjadi sistim universal lainnya, karena posisi pergantian hari tetap harus diperhitungkan.

Kemudian, mengenai waktu shalat, Thomas juga menyatakan bahwa waktu shalat ditentukan berdasarkan ketampakan matahari. Shalat Jumat pun ditentukan berdasarkan waktu lokal. “Kalau mengikuti waktu shalat Jumat di Makkah, waktu kerja (mencari karunia Allah) bisa-bisa sudah malam hari saat orang beristirahat,” jelasnya.

Salah satu pengurus Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Ustadz Achmad Satori Ismali mengenai MMT ini menyatakan, di dalam al-Qur’an sudah ada, lita’lamu adadas syinin wal hisab. Gunanya matahari, adanya bulan dan bintang, itu sebagai perhitungan dalam menetapkan waktu dan tanggal. Perhitungan waktu dalam al-Qur’an banyak dijelaskan, namun titik awalnya atau titik nolnya mulai darimana belum ada penjelasan,” ujarnya kepada Sabili.

Ia pun menyatakan dukungannya terhadap pergeseran pusat waktu dunia ini, karena merupakan terobosan bagus dan agar senantiasa tidak mengikuti dunia barat. “Sejatinya Islam memiliki sistim penangalan dalam menentukan hari dan tanggalnya dengan menggunakan sistim qomariyah dan syamsiyah. Tinggal disekapati saja, apakah akan berpengaruh terhadap kehidupan umat Islam tersebut, atau tidak? Mulai dari ibadah, sistim, gaji, dan yang lainnya,” pungkasnya.


Laporan: Daniel Handoko

Tidak ada komentar: