Jumat, 03 September 2010

Standar Kompetensi Wartawan

Mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja pernah menyebutkan, imbas reformasi adalah terjadinya booming media massa. Sedikitnya ada 300 media cetak, 800 radio, dan tujuh stasiun televisi, dan kesemuanya meningkat pesat jumlahnya sampai hari ini. Tidak mengherankan, sebab sebelum reformasi, ada Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang telah membatasi pertumbuhan pers.

Atmakusumah melanjutkan, warna dari media massa yang menjamur inipun bermacam-macam. Dari yang benar-benar media massa dengan berpatokan kepada standar-standar jurnalisme profesional, sampai dengan media massa ala kadarnya yang mengandalkan sensasi dalam pemberitaan.

Namun ternyata tak hanya media massanya yang bertumbuh, jumlah wartawan pun makin banyak. Mulai dari yang pendidikannya murni jurnalistik, sampai lintas jurusan. Dunia wartawan dengan jaringan dan akses yang bisa ditembusnya, telah menggoda banyak pihak dari berbagai jenjang pendidikan untuk menekuninya. Sehingga banyak orang ikut-ikutan terjun ke dalam dunia ini dengan mengabaikan profesionalitas, intelektualitas dan kode etik.

Hal inilah yang kemudian menumbuh suburkan apa yang disebut dengan fenomena ‘wartawan bodrex’ alias wartawan gadungan. Wartawan yang tidak memiliki media resmi, yang hanya bermodalkan kartu identitas palsu kemudian melakukan aktivitas wartawan sebagaimana lazimnya; namun diikuti modus yang berlaku dibaliknya, yaitu intimidasi dan teror kepada narasumber atas nama pers.

Melihat fenomena wartawan bodrex, tidak mengherankan jika kemudian Rosihan Anwar pernah menyebutkan dalam Menulis dalam Air (1983); bahwa profesi wartawan menjadi suatu keranjang sampah tempat menampung orang-orang yang putus sekolah, setengah gagal, setengah intelektual, setengah putus asa.

Permasalahan dunia pers pasca reformasi bukan pada tingkat SDM-nya atau wartawannya saja, tetapi juga pada perusahaan pers. Menurut Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, dari 829 perusahaan pers yang ada saat ini hanya 30 persen saja yang sehat bisnis, selebihnya tidak sehat secara bisnis. Masih menurut Leo, perusahaan pers yang baik harus memenuhi standar profesional, seperti; memiliki kompetensi sebagai pebisnis media, mengoperasikan SDM yang memenuhi standar kompetensi, memiliki atau minimal mampu menyewa peralatan yang diperlukan dan memiliki modal yang cukup.

Demi memenuhi standar profesionalisme tersebut, khususnya dalam hal kompetensi wartawan, Dewan Pers saat perayaan Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2010 di Palembang me-launching Standar Kompetensi Wartawan. Standar Kompetensi Wartawan ini berisi rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan.

Kompetensi, menurut Dewan Pers dalam buku "Kompetensi Wartawan", Pedoman Peningkatan Profesionalisme Wartawan dan Kinerja Pers, mencakup beberapa aspek. Yakni aspek penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan kesadaran. Ketiga aspek itu, diperlukan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kesadaran mencakup di dalamnya, etika, hukum dan karir.

Sementara dalam suatu kesempatan, Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Prof DR Moestopo, DR Gati Gayatri, menjelaskan apa yang dimaksud dengan "Kompetensi Wartawan". Menurutnya Kompetensi Wartawan merupakan kemampuan seorang wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan dan tanggung jawab sesuai tuntutan profesionalisme yang dipersyaratkan.

Standar Kompetensi Wartawan ini dianggap penting penerapannya di Indonesia untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan Indonesia, termasuk menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan. Selain itu, Standar Kompetensi Wartawan ini juga dapat digunakan sebagai bahan acuan sistem evalusi kinerja wartawan oleh sebuah perusahaan pers untuk menentukan kualitas awak redaksinya. Sehingga produk jurnalistik dari perusahaan pers tersebut pun bisa dipertanggungjawabkan tidak hanya secara fakta, tapi juga secara profesi.

Tidak ada komentar: