Kamis, 22 Juli 2010

Mereduksi Kriminalisasi Pers

Cover majalah itu terpampang gambar polisi yang agak gemuk sedang menggeret celengan berbentuk binatang babi. Sontak saja kemunculannya mengundang kontroversi.

Adalah Majalah Tempo yang dimaksudkan diatas. Majalah bertanggal terbit 28 Juni–4 Juli ini membuat gerah pihak kepolisian. Kabarnya terjadi kelangkaan majalah edisi Rekening Gendut Perwira Polisi ini di pasaran. Diduga ada aksi borong yang melibatkan oknum kepolisian.

Mabes Polri yang “tersinggung” pun berencana untuk melakukan gugatan terhadap majalah ini, dengan sebelumnya sempat mengirimkan surat teguran yang ditembuskan kepada Dewan Pers, Kamis (1/7/2010). Dalam surat teguran yang dilayangkan ke majalah tersebut, disebutkan cover celengan babi yang dimuat dianggap merugikan intitusi Polri.

Gugatan seperti yang dilayangkan Mabes Polri pun dianggap sebagai salah satu contoh upaya kriminalisasi pers. Dimana ketersinggungan subyektif terhadap sebuah pemberitaan media massa, disikapi dengan langkah hukum.

Maraknya gugatan kepada pers sendiri pun mempengaruhi angka indeks kebebasan pers di Indonesia yang pasca 2002 menurut situs Lembaga Reporters Sans Frontiers (RSF) - yang berpusat di Paris – naik turun tak menentu. Seperti pada 2002, Indonesia berada di urutan 57 dari 139 negara yang disurvei. Lalu drastis menurun menjadi urutan 110 dari 166 negara yang disurvei. Terakhir pada 2009, Indonesia menempati posisi 100 dari 175 negara yang disurvei.

Contoh lain bentuk kriminalisasi pers ini adalah ketika Raymond Teddy memperkarakan tujuh media massa nasional terkait pemberitaan kasus perjudian di Hotel Sultan yang menyebutnya sebagai bandar judi. Ketujuh media tergugat tersebut adalah Kompas, RCTI, Republika, Detik.Com, Seputar Indonesia,Warta Kota, dan Suara Pembaruan.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia periode 2005-2008 Heru Hendratmoko menyatakan langkah kriminalisasi pers bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Karena perlindungan atas kebebasan memperoleh dan menyampaikan informasi kepada publik sudah mendapatkan perlindungan yang eksplisit di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen.

Mengapa sering terjadi kriminalisasi pers? Heru Hendratmoko mensinyalir salah satunya karena masih diberlakukannya pasal-pasal karet tentang penghinaan dan pencemaran nama baik sebagaimana termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XVI tentang Penghinaan.

Pasal karet ini seperti misalnya pada pasal 310 yang menyebutkan, (1) barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Namun sepertinya pihak penggugat sering melupakan bunyi ayat ketiga pasal 310 ini yang berbunyi, tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Mereka lupa kalau pers sejatinya bertanggung jawab kepada publik, sehingga segala bentuk informasi yang dimilikinya pun milik publik dan diolah untuk kepentingan publik.

Pada dasarnya kriminalisasi pers yang marak terjadi tidaklah harus selalu berakhir dengan bentuk perlawanan, melainkan direduksi. Jika insan pers senantiasa berkiblat kepada UU Pers nomor 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik, hal ini tentunya dapat meminimalisir berbagai bentuk kriminalisasi terhadap pers. Agar pers tidak sekadar berhati-hati dengan pemaparan fakta dan “kreatif” dalam memproduksi serta menyajikan berita, tetapi juga tetap profesional dalam menjalankan perannya.

Tidak ada komentar: