Konsumsi yang besar, melahirkan eksploitasi yang besar. Lalu, eksloitasi besar-besaran melahirkan kerusakan akbar. Harga mahal yang harus dibayar untuk sebuah keserakahan.
Januari-Februari ini adalah puncak dari musim hujan di Indonesia. Namun hujan terjadi tidak bersamaan. Hal ini disebabkan adanya lengkung konvergensi atau daerah pertemuan angin berbentuk busur yang ditarik dari garis equator. Berdasarkan lengkung konvergensi ini, daerah Indonesia bagian atas (utara) mengalami puncak musim penghujan lebih dahulu. Seperti Medan, Padang, Kalimantan Barat, Ambon, dan Gorontalo. Sedangkan daerah yang lebih lambat mengalami puncak musim penghujan berada pada wilayah Indonesia Bawah (Selatan) yaitu Kalimantan Selatan, Jawa, Nusa Tenggara.
Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, intensitas curah hujan untuk setiap daerah di Indonesia rata-rata sedang dan tidak terlalu lebat ini tidak mengakibatkan banjir. Meski pada kenyataannya, banjir tetap saja merendam beberapa wilayah di Indonesia, khususnya Jakarta.
Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, Selamet Daroyni, banjir yang kerap terjadi di Jakarta karena tiga hal, yaitu banjir karena curah hujan, banjir rob dan banjir kiriman dari Bogor. “Curah hujan yang tinggi pada Desember sampai Februari telah menyebabkan banjir. Karena dari 2 miliar meter kubik air, hanya sekitar 26,6 persen atau 532 juta meter persegi yang bisa terserap tanah,” ujarnya.
Namun yang terparah adalah banjir rob. Banjir yang terjadi akibat meluapnya air laut karena pemanasan global maupun rusaknya eksosistem alami pesisir ini datangnya tak terduga seperti tamu tak diundang. Banjir yang kerap terjadi di pesisir utara Jawa seperti Jakarta, Tangerang, dan Semarang ini salah satu pemicunya adalah akibat privatisasi pantai yang dilakukan oleh para pengembang yang melakukan berbagai aktivitas di pesisir pantai. “Padahal, dalam 100 kali jarak pasang surut air laut, baik saat tinggi maupun rendahnya, tidak dibolehkan ada aktivitas apa pun di sekitarnya. Karena itu adalah daerah konservasi,” ujar Riza Damanik, mantan Walhi Eks-Nas yang saat ini menjadi Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
Seperti kasus reklamasi Teluk Jakarta yang disulap menjadi bisnis properti oleh pengembang PT Pembangunan Jaya Ancol Jakarta Baycity. Tahun 2006 lalu Walhi sempat melakukan peringatan hukum atas proses pemasaran properti dan kavling di area yang telah direklamasi di Ancol Barat (Marina Coast Royal Residence dan Marina Business Center).
Menurut Walhi terdapat kurang lebih 70 KK nelayan Ancol Barat, di sepanjang pesisir pantura akan terancam kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian dan akses ke tempat usaha dengan ada kehadiran properti/proyek reklamasi. Ribuan nelayan akan terlanggar hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, berdasarkan kovenan Internasional mengenai hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagaimana yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No 13 Tahun 2006.
Proyek Reklamasi dan Rusaknya Kawasan Pesisir Jakarta
Proyek Reklamasi dianggap hanya akan menimbulkan kerugian ekologis yang lebih besar. Rusaknya tanaman mangrove di Muara Angke, hancurnya padang lamun dan terumbu karang, hilangnya ratusan macam ikan, kerang, kepiting adalah imbas dari proyek reklamasi ini. Juga, ekosistem estuaria yang selama ini mampu mengabsorpsi berbagai polutan dari Jakarta, hutan bakau sebagai tempat bertelur dan habitat ikan-ikan kecil (nursery) dan hutan mangrove penangkal abrasi dan lainnya akan digantikan oleh tumpukan pasir dan beton.
Proyek Reklamasi juga dianggap semakin memicu bencana ekologis di Jakarta, yaitu banjir. Proyek Reklamasi meningkatkan potensi banjir. Karena reklamasi akan mengubah struktur geografis dan hidrografis wilayah yang berlangsung ratusan tahun. Seperti tingkat kelandaian, komposisi material angkutan 13 sungai, gerakan pasang surut, arus laut, dan sebagainya. Di sisi lain aliran sungai akan terhambat, peninggian muka air, hilangnya fungsi daerah tampungan, merusak tata air seluas 10.000 ha.
Pengambilan bahan urug untuk reklamasi juga akan menghancurkan ekosistem kawasan penyanggah Jakarta. Karena dibutuhkan 330 juta meter kubik bahan urug dari darat dan laut. Selain itu, 16 juta jiwa yang tinggal di wilayah hasil reklamasi tentu akan menghasilkan limbah padat (sampah domestik) yang luar biasa banyak.
Kawasan pesisir mengalami dua ancaman besar. Pertama, tingginya tingkat pencemaran di kawasan pesisir yang setiap hari digelontori limbah sebanyak 1,3 juta meter kubik. Kedua, banjir rob yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. “Berdasarkan penelitian dari tahun 1984 sampai 2002 air laut meningkat 8 milimeter setiap tahunnya. Banjir rob saat ini meningkat sampai 1,5 sampai 2 meter,” jelas Selamet.
Selamet menilai pemerintah tidak konkret dalam mengelola kawasan pesisir Jakarta. Skema reklamasi yang ada pada Keppres nomor 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, dipandang tidak sesuai dijadikan solusi untuk menangani kawasan pesisir. “Terminologi reklamasi yang ditawarkan pemerintah malah mengomersialisasikan kawasan pantai. Pemerintah malah memberikan akses untuk melakukan kegiatan privatisasi. Seperti Pantai Indah Kapuk yang menghabiskan 831 hektar kawasan pesisir,” ujar Selamet Daroyni.
Menurut Selamet, tidak ada korelasi antara proyek reklamasi yang dilakukan dengan upaya untuk mengurangi bencana banjir. Karena keuntungan yang di dapat pemerintah tidak seimbang dengan kerugian yang diderita oleh masyarakat daerah pesisir. “Misalnya pemerintah untung 1 miliar, tapi masyarakat dan lingkungan pesisir rugi mencapai 3 miliar,” lanjut Selamet.
Para pengembang telah mengubah hak publik dari pantai yang seharusnya bisa diakses oleh umum menjadi sesuatu yang privat. Pantai diperjualbelikan dan disulap menjadi tempat tinggal, bahkan didirikan pusat perniagaan. Nelayan tidak bisa lagi berlayar. “Misalnya seperti yang terjadi di pantai Ancol atau di Mutiara Residence. Masyarakat tidak mendapat keuntungan dari sistem pengelolaan yang memberikan hak privatisasi kepada para pengembang. Masterplan banjir tidak mengakomodir upaya mitigasi atas ancaman banjir rob,” jelas Selamet.
Beberapa poin solusi pun coba disampaikan. Selamet menyatakan karena Indonesia adalah negara rawan bencana, maka pemerintah perlu untuk memberi alokasi anggaran khusus untuk lingkungan hidup. Kemudian, ia juga mengharapkan agar pemerintah memasukkan penanganan bencana ke dalam agenda penataan ruang kota.
Saat ini, pemerintah telah mengesahkan Perpres nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur). UU ini dijadikan payung hukum bagi penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur sebagai suatu kesatuan ekologis. Masyarakat berharap banyak kepada peraturan yang menggantikan Keppres nomor 52 tahun 1995 untuk mengubah paradigma pemerintah agar lebih mengedepankan pengelolaan lingkungan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar