Selasa, 11 Mei 2010

Solid Perbaiki Nasib Perempuan

(Memaknai Hari Perempuan Internasional)

Oleh Diyah Kusumawardhani

Gonjang-ganjing pasar bebas ACFTA sedang marak di Indonesia. Bagaimana tidak, ACFTA yang merupakan singkatan dari ASEAN-China Free Trade Agreement ini telah menjadikan Indonesia sebagai pasar. Akibatnya, Indonesia di invasi oleh produk-produk Cina. Kalau Sob sedang jalan-jalan ke pasar manapun, mulai dari pasar tradisional sampe departement store, coba deh hitung, ada berapa banyak sih yang bukan produk Cina? Dan semuanya dijual murah.

Dampak dari pemberlakuan ACFTA ini tentu saja akan berpengaruh besar terhadap sektor ketenagakerjaan. PHK dan pengangguran besar-besaran tengah mengancam di depan mata. “Dampak ACFTA adalah kepada buruh. Di Jawa Barat itu 70 persen buruhnya perempuan lho. Jadi, kami sedang mengupayakan jalan untuk mengadvokasi para perempuan ini dari ancaman ACFTA,” ujar Ketua Badan Kemuslimahan KAMMI Jawa Barat Franciska Sukmadewi Megawati kepada eL-Ka.

Mega, begitu panggilan akrabnya, mengusulkan bentuk proteksi terhadap para pekerja perempuan. Karena menurutnya, PHK besar-besaran merupakan dampak yang tidak bisa dihindarkan. “Bentuk proteksinya adalah dengan mengembangkan sektor UKM sebagai penguatan ekonomi dengan cara pemberian kredit lunak. Sedangkan jenis-jenis program ekonomi yang dapat dikembangkan yaitu industri rumah tangga, usaha kecil dan menengah, dimana perempuan banyak berperan.” Paparnya panjang lebar kepada eL-Ka, saat tengah mempersiapkan seminar “Dampak ACFTA Terhadap Pekerja Perempuan dan Peran KAMMI Pada Pemberdayaan Perempuan” yang dilaksanakan di Bandung, 13 maret 2010.

Memaknai Hari Perempuan Internasional
Hari Perempuan Internasional dirayakan setiap 8 Maret. Gagasan perayaan ini dikemukakan pertama kali pada saat memasuki abad ke-20 di tengah-tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja. Hari Perempuan Internasional ini lahir dari Deklarasi Kopenhagen yang merupakan hasil Konggres Perempuan Internasional 1910 di Kopenhagen, Denmark. Deklarasi ini menyerukan persatuan kaum perempuan sedunia untuk memperjuangkan persamaan hak perempuan dan anak-anak, untuk pembebasan nasional, dan perdamaian.

Di Indonesia sendiri, upaya advokasi terhadap berbagai permasalahan perempuan tersebut sudah lama muncul. Nama RA Kartini sering disebut-sebut sebagai pelopor penegakkan hak kaum perempuan. Ia termasuk yang memperjuangkan hak untuk mendapatkan pendidikan bagi perempuan Indonesia di jamannya.

Setelahnya, beberapa sosok tokoh perempuan pun muncul. Seperti tren pergerakan perempuan yang sedang berkembang di negara Eropa pada 1920an, para perempuan ini pun mulai memasuki ranah politik pergerakan nasional. Misalnya Munasiah dan Sukaesih, dua aktivis politik yang dalam konggres perempuan di Semarang pada 1924 menyerukan perlunya kaum perempuan berjuang agar bisa memajukan hak-haknya dan agar tidak disisihkan.

Pada masa revolusi, berdiri berbagai macam organisasi perempuan. Diantaranya PERWARI, Wanita Indonesia, Pemuda Putri Indonesia, Aisyiah, GERWIS (Gerakan Wanita Sedar) dan sebagainya. Organisasi-organisasi ini lantas membentuk federasi organisasi perempuan yang diberi nama KOWANI (Konggres Wanita Indonesia). Dalam pernyataan-pernyataannya, KOWANI menyerukan penegakkan perdamaian dunia.

Pada masa revolusi juga berdiri partai politik khusus perempuan yang diberi nama Partai Politik Wanita. Partai berbasis jender ini didirikan oleh Nyi Sarmidi Mangunsarkoro. Pembentukan Partai Politik Wanita ini mendapat kecaman dari jurnalis perempuan pertama di Indonesia S.K.Trimurti. Ia menentang pembentukan partai ini dan mengusulkan agar perempuan bergabung saja dengan partai politik yang sudah ada, tidak perlu membentuk partai sendiri.

“Mestinya, kita harus merasa bangga, karena sebagian dari golongan wanita telah mau memperhatikan soal-soal politik. Tetapi, dalam hal bentukan partai ini, kita sangat menyesal, karena, ini menandakan, bahwa saudara-saudara itu belum mengerti benar, dimana meletakkan diri dalam lapang pekerjaan politik.” Demikian tulis S.K. Trimurti dalam Partai Politik Wanita yang diterbitkan Kedaulatan Rakjat edisi Kamis, 29 Agustus 1946.

Semakin kesini, perkembangan gerakan perempuan juga makin marak. Namun sayangnya, setiap gerakan perempuan sudah ter-stereo type dengan gerakan feminis, yang bisa dibilang berakar dari ideologi sosialis. Seperti saat pertama kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh seorang aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada 1837. Padahal, tidak semua aktivis perempuan adalah penganut paham feminisme dan tidak harus menjadi seorang feminis dahulu untuk menjadi aktivis perempuan. Sehingga untuk mengimbangi masalah ideologi ini, banyak kemudian bermunculan gerakan perempuan yang mendasarkan pemikirannya kepada Islam serta menjadikan al-Qur’an sebagai panduan geraknya.

Mengenai perkembangan gerakan perempuan di Indonesia, menurut akhwat yang juga berprofesi sebagai dosen IT di salah satu universitas swasta di Bandung ini, muslimah harus membangun soliditas dengan gerakan perempuan lainnya. Seperti memberikan perhatian atau advokasi dengan aksi konkrit bagi permasalahan perempuan. “Karena itu muslimah harus melengkapi diri dengan kapasitas isu-isu keperempuanan. Sehingga disitulah makna dakwah, yakni mengangkat derajat kaum perempuan,” papar Mega kepada eL-Ka.

Nah, kalau misal ada kaum laki-laki yang mengatakan gerakan mengangkat derajat kaum perempuan sama dengan gerakan feminisme, Mega menanggapinya dengan santai; “Inti gerakan feminisme kan kesetaraan perempuan. Di Islam kedudukan wanita sangat dihormati. Bahkan yang membedakan di mata Allah bukan jenis kelamin tapi tingkat ketakwaan. Artinya Islam mengakui kesetaraan perempuan.”

Ia melanjutkan, bahwa pandangan-pandangan seperti itu yang kadang membatasi kiprah muslimah sendiri. “Padahal makna kiprah itu adalah kemanfaatan. Gerakan perempuan sudah saatnya menghentikan perdebatan tentang ideologis. Sekarang yang perlu dibangun adalah kinerja dan soliditas untuk memperbaiki nasib perempuan Indonesia yang masih bermasalah dengan kemiskinan, kebodohan dan kekerasan,” tegasnya.

Tidak ada komentar: