Rabu, 12 Mei 2010

Kembali Kepada Kearifan Lingkungan Lokal

Dewasa ini, saat negara-negara maju berlomba-lomba menghasilkan gas efek rumah kaca, orang-orang pribumi di seluruh dunia justru sibuk untuk bertahan dan beradaptasi terhadap perubahan iklim yang makin meningkat. Selama ribuan tahun pula, masyarakat asli telah mengembangkan praktik-praktik tradisional untuk melestarikan alam.


Praktik-praktik tradisional inilah yang kemudian dikenal dengan kearifan lokal (local wisdom). Fenomena kearifan lingkungan yang berbasiskan masyarakat ini menurut Witoelar sudah ada sejak zaman pra-sejarah dulu. Menurutnya, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya.

Kearifan lokal ini dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Perilaku ini pun berkembang menjadi sebuah kebudayaan yang hidup di suatu daerah dan berkembang secara turun-temurun.

Seperti halnya apa yang dilakukan masyarakat adat Suku Baduy di Kanekes, Lebak-Banten. Sekilas, Suku Baduy memang tampak sebagai suku yang primitif, miskin dan konservatif. Namun, masyarakat Baduy memiliki metode pengelolaan alam khususnya hutan di kawasan Bumi Baduy. Kesadaran masyarakat Baduy terhadap lingkungan hidup, khususnya dalam menjaga kelestarian hutan dan air sungguh luar biasa. Ada pesan masyarakat adat Baduy yang sampai kini masih di pegang teguh, “Gunung ulah dilebur, lebak ulah dirusak” (Gunung jangan dihancurkan, sawah jangan dirusak).

Pesan moral yang turun temurun itu pun akhirnya membuat anak-cucu keturunan masyarakat Baduy tidak berani mengganggu keutuhan dan kelestarian hutan-hutan titipan. Masyarakat Baduy memiliki kepercayaan bahwa menjaga alam merupakan kewajiban sehingga harus ditaati dengan penuh kepasrahan. Kewajiban tersebut tersirat dalam pegangannya, “Lonjor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung” (Panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung).

Ignas Triyono, Pemenang Terbaik Kategori Umum Lomba Opini Hutan Lindung, PP 02/2008 dan Keselamatan Rakyat menulis dalam Belajarlah Lingkungan Hidup ke Bumi Baduy. Tanah di Baduy dibagi menjadi tiga peruntukan; yaitu sebagai lahan perladangan, permukiman, serta hutan lindung. Suku Baduy mempunyai areal yang dijadikan hutan lindung. Hutan lindung berfungsi sebagai areal resapan air. Pepohonan di areal ini tidak boleh ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk untuk ladang. Hutan ini juga membantu menjaga keseimbangan air dan kejernihan air di Baduy, terlebih di Baduy Dalam.

Beda Baduy, beda pula Merapi. Menurut para ahli kebudayaan di Yogyakarta, Merapi sering dipahami sebagai salah satu jagad khusus dalam kesadaran masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta. Akhirnya, Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Jateng-DIY ini pun dianggap mistis.

Sudah ribuan tahun Merapi menghidupi banyak perut. Para penduduk asli yang turun temurun tinggal di sekitar Merapi hidup dari bertani. Meskipun bencana berkali-kali terjadi di Merapi, masyarakatnya bersikukuh tinggal di sekitarnya.

Uniknya, acapkali Merapi ”berulah”, masyarakatnya tidak pernah menyebut Merapi ”meletus”. Melainkan ”Eyang Merapi ewuh” (Merapi punya kerja), sehingga memunculkan sikap: ”ojo cedhak-cedhak, ojo ngrusuhi” (jangan mendekat, jangan mengganggu).

”Ojo cedhak-cedhak” (jangan mendekat) tersebut dalam manajemen bencana berbasis kultural dimaknai dengan: berusahalah menghindar dari area yang memungkinkan terkena aliran awan panas (untuk sementara waktu). Di samping itu, setiap terjadi aliran awan panas maupun aliran lahar, masyarakat Merapi terbiasa dengan mengucapkan: ”Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, ya Allah Gusti, berikanlah wilujengan” (baca: keselamatan dari adanya proses vulkanik Gunung Merapi tersebut). Bukan malah berucap: ”Minggir-minggir, awas ada aliran lahar”. Ucapan yang demikian perlu dihindari, demikian kata Mbah Maridjan, Juru Kunci Gunung Merapi di Kinahrejo, Desa Umbulharjo.

Hima dan Harim Zone
Fachruddin Mangunjaya penulis buku Khazanah Alam: Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi mengatakan, salah satu upaya memberikan pendidikan dan contoh praktis tentang kearifan melestarikan alam adalah melalui pendekatan agama Islam.

”Kalau melihat sejarah, Rasulullah dulu membuat daerah konservasi. Pada saat menaklukan kota Makkah, Rasulullah mengatakan ’di antara dua bukit atau gunung ini, tidak boleh ada satu pun yang dibunuh, tidak boleh diganggu, dan kalau ada rusa tidak boleh diburu’,” ujar aktivis Conservation International Indonesia ini kepada Sabili.

Saat ini, menurut Fachruddin, orang mulai melihat lagi kearifan tradisional dalam mengkonservasi alam. ”Termasuk di Timur Tengah, yang ternyata ditemukan kawasan namanya Harim dan Hima. Itu masih ada sampai sekarang,” ujarnya.

Ia melanjutkan, Islam merupakan agama yang mempunyai ajaran dan tradisi yang khas dalam mengajarkan perawatan lingkungan. Salah satu bentuknya adalah perawatan sungai dan fasilitas publik dengan cara penetapan zona larangan (harim zone) di bantaran kali atau sungai dan perawatan pelestarian dengan sistem hima (perlindungan alam asli).

Fachruddin menjelaskan, harim zone mewajibkan setengah dari lebar sungai ke kiri dan ke kanan, terbebas dari bangunan dan membiarkan vegetasi serta tumbuhan bebas sebagai penyangga sungai. ”Selain itu, hal ini untuk membuat daerah resapan sungai. Di zaman Rasulullah pendirian bangunan di bantaran sungai dilarang untuk memelihara ekstensi air,” jelasnya. Tradisi ini dihidupkan kembali sebagai sumbangan pada pemeliharaan lingkungan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Al-Qur’an sebagai sumber pertama (masdar al awwal) mengajarkan bahwa arah pembangunan mestinya diarahkan pada keteraturan yang mengikuti kaidah-kaidah alamiah, dengan kearifan lingkungan berdasarkan kebudayaan masyarakat lokal misalnya. Hal ini tentunya harus dilakukan dengan semangat menjaga keteraturan ekologis dan mengabaikan aspek mistis dari setiap pesan yang diturunkan leluhurnya.

Seperti yang termaktub dalam surat ar-Rum ayat 41 mengenai pentingnya menjaga keteraturan ekologis, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka perbuatannya, agar mereka kembali”. Kita yang membuat kerusakan, maka kita pula yang harus membenahinya.

Tidak ada komentar: