Oleh Diyah Kusumawardhani
Setelah Ammar alias Yahya Ibrahim alias Dulmatin dieksekusi Detasemen Khusus (Densus) 88 pada Selasa (9/3/2010), media nasional marak memberitakan terorisme kembali. Meski sebelumnya, pada akhir Februari 2010 silam, aksi Densus 88 di Aceh terkait penangkapan terorisme pun sempat muncul media nasional. Namun intensitasnya masih jarang. Maklum, mayoritas media masih menyoroti mega skandal Century saat itu.
Eksklusifitas pemberitaan terorisme versi media televisi dewasa ini telah memasuki tahapan live report; dimana wartawan mengabadikan peristiwa penyergapan melalui lensa kameranya tepat dari balik tengkuk aparat.
Di satu sisi, eksklusifitas yang didambakan hampir semua media massa nasional pada era industri media dewasa ini merupakan sebuah prestasi bagi media itu sendiri. Namun di sisi lain, konsekuensi dari gaya peliputan “mencantol” atau yang lazim dikenal dengan embedded journalism ini menurut Farid Gaban dalam sebuah diskusi di milis Jurnalisme yang di gawanginya tidaklah gratis, karena harus menggadaikan obyektifitas dan daya kritis media tersebut.
Berbicara obyektif, semua media sepakat bahwa definisi obyektif itu adalah two-sided atau dua sisi. Dimana penyajian berita di sini bukan hanya berdasarkan fakta dari satu sisi, namun juga harus menyertai pendapat kontra-nya. Karena obyektif di sini kelak akan memunculkan apa itu kebenaran dari fakta itu sendiri. Meski pada akhirnya, penilaian benar atau salah dari fakta yang diberitakan tadi dikembalikan lagi kepada khalayak media massa. Yang menilainya berdasarkan norma yang berkembang di lingkungannya. Sedangkan media hanyalah alat untuk menyampaikan fakta.
Julian Baggini dalam Making Sense menyatakan, ada dua isu sentral epistemologi yang secara langsung melahirkan tanggapan-tanggapan terhadap pemberitaan dengan tema semacam terorisme. Pertama, tentang status dan sifat kebenaran itu sendiri. Kedua, tentang hubungan kita dengan kebenaran.
Dalam pandangan kaum realis, apa yang dipertaruhkan disini adalah apakah ada satu kebenaran yang obyektif ataukah lebih tepat untuk mengatakan bahwa ada pluralitas kebenaran atau bahkan tak ada kebenaran sama sekali dalam pemberitaan tersebut. Karena yang ada hanyalah opini belaka.
Atau mengamini kaum non realis yang percaya bahwa kebenaran tidak bergantung kepada kita. Kebenaran menunggu untuk ditemukan dan ia adalah sesuatu yang secara intelektual amat sederhana. The truth is not out there. Karena dengan cara tertentu, kebenaran selalu diciptakan oleh bahasa, masyarakat, individu ataupun budaya.
Baggini mencontohkan, anggota jaringan al-Qaeda melihat bahwa diri mereka sebagai pihak yang menjalankan kehendak Tuhan; sementara banyak orang Amerika percaya bahwa Tuhan berada di sisi mereka. Sebagian melihat bahwa korban-korban sipil di Afghanistan merupakan sebuah bentuk pembunuhan terencana; yang lain melihat itu sebagai “kerusakan sampingan” yang tidak disengaja. Sebagian melihat pengiriman pasukan Amerika ke Afghanistan sebagai pelanggaran hukum internasional; sementara yang lainnya melihatnya sejalan dengan “hukum membela diri” (The Law of Self-Defence).
Sebab sifat kebenaran yang relatif, maka tidaklah heran jika sang filosof Yunani, Protagoras menyebut manusia sebagai alat ukur segala hal. Seperti halnya pemberitaan mengenai terorisme yang belakangan kembali marak, media massa saling bersaing menggali kebenaran untuk kemudian mengeksposnya. Dan media massa kelak akan menerbitkannya atau menyiarkannya dengan sudut pandangnya masing-masing, dengan klaim kebenarannya masing-masing pula.
Perhatian khusus tentang kebenaran ini akan mempengaruhi jalan kita membaca segala macam berita, termasuk pemberitaan mengenai terorisme. Baggini dengan ekstrim berpendapat, jika kita tidak percaya kabar berita yang tersebar itu benar dan obyektif, mengapa kita harus bersusah payah memikirkannya? Karena menurutnya, bagaimanapun, ini bukanlah satu-satunya masalah bagi orang-orang realis dan skeptis. Bahkan jika kita tidak skeptis pun, kita tetap memerlukan cara untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan, antara fakta dan opini.
Media massa nasional mungkin sah-sah saja melakukan liputan “mencantol”, dengan tetap harus memperhatikan parameter sembilan elemen jurnalisme Bill Kovach dalam pemberitaannya. Seperti halnya kasus terorisme, media massa manapun boleh saja berlomba-lomba menggali fakta dari sisi manapun sesuai sudut pandang media tersebut dalam menggiring opini; entah sudut pandang aparat, sudut pandang orang-orang yang dianggap teroris, ataupun sudut pandang masyarakat. Namun lagi-lagi, justifikasi benar dan salah atas fakta-fakta tersebut berpulang lagi kepada khalayak media: masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar