Lompatan besar terjadi saat manusia mulai mengenal bahasa tulis. Saat itulah manusia memasuki zaman sejarah. Format awalnya, bahasa tulis diukir pada cetakan-cetakan tanah, daun, batu, daun lontar, kulit, atau kain. Lalu lompatan besar terjadi sekitar abad kedua masehi. Lembaran-lembaran kertas ditemukan di Cina.
Michael H Hart dalam bukunya The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History, menempatkan Tsai Lun (105 SM) pada urutan ketujuh karena ia menemukan kertas. Pada zaman dulu, kegiatan menulis atau pembuatan prasasti dikerjakan pada sebuah lembaran bambu atau di selembar sutra yang disebut chih. Tapi sutra menjadi semakin mahal dan bambu menjadi semakin berat, sehingga tidak tepat lagi untuk digunakan. Tsai Lun kemudian berinisiatif membuat kertas dari kulit pohon, sisa rami, kain bekas, dan jala.
Teknik pembuatan kertas yang menjadi rahasia bangsa Cina selama lima abad kemudian tersebar ke seluruh penjuru dunia. Pada 751, beberapa orang pembuat kertas Cina ditangkap oleh orang-orang Arab. Tak lama, kertas pun di produksi di Timur Tengah. Lalu pada abad 12, orang-orang Eropa mulai belajar membuat kertas dari orang-orang Arab.
Sejak saat itu, kertas menjadi sebuah budaya baru sebagai media yang digunakan untuk memuat bahasa tulisan yang berfungsi untuk menyebarkan pemikiran ataupun informasi. Lantas, pengguna media-media lama seperti cetakan-cetakan tanah, daun, batu, daun lontar, kulit, atau kain beralih ke kertas. Saat ini, kertas sudah menjadi sesuatu yang lazim dalam kehidupan manusia.
Industri kertas pun mulai berkembang pesat. Hutan-hutan alam yang harusnya berfungsi sebagai hutan lindung dan konservasi “dijual” hanya demi memenuhi kebutuhan permintaan kertas tadi. Seperti di Indonesia, sejarah deforesasi dimulai sekitar 1970. Melihat peluang industri kertas bisa mengangkat perekonomian negara, pohon yang ibarat emas coklat pun ditebang untuk tujuan komersial. Selain itu, tingginya harga pulp (bubur kertas) di pasaran semakin membuat para pembuat kebijakan tergiur untuk menjual hasil hutan dan segala produk turunannya. Apalagi di kawasan Asia, saat itu Indonesia memegang peranan penting dalam memasok kebutuhan pulp dan kertas dunia.
Indonesia tercatat sebagai negara yang memiliki areal hutan terluas ketiga di dunia, setelah Brasil dan Kongo. Namun, hutan-hutan di Indonesia belakangan berangsur menggundul. “Terakhir kami catat, pada 2007 ada 2,7 juta hektar hutan di Indonesia. Untuk 2008 tidak kurang dari dua juta hektar. Memang berkurang, tapi bukan berarti ada perbaikan. Memang karena hutannya sendiri sudah berkurang,” ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Eksekutif Nasional yang baru Berry Nahdian Forqan kepada Sabili.
Untuk mengantisipasi hal ini, menurut Mohammad Djauhari dalam ‘Hutan Alam Masih Untuk Industri Kertas’, pemerintah sampai 2009 ini menyediakan kawasan hutan seluas lima juta hektar untuk perluasan dan penyediaan bahan baku kertas atau Hutan Tanaman Industri (HTI). Ia menuliskan, adanya kenyataan Pemerintah masih memperbolehkan penyediaan bahan baku kertas dari hutan alam hingga 2014, dapat dikatakan sebagai tindakan rasional, karena hampir 30 tahun terakhir belakangan industri kertas mengalami over kapasitas.
Jika dikembalikan kepada fungsinya, hutan berlaku sebagai pengikat zat karbon. Aktivis Lingkungan Hidup dari Kanada, David Takayoshi Suzuki menyatakan, pohon-pohon muda tumbuh lebih cepat dan menyerap lebih banyak karbondioksida daripada pohon-pohon tua. Namun demikan, meski pohon-pohon tua paling sedikit mengikat karbondioksida, tapi lebih banyak menyimpan zat ini dalam biomassa-nya.
Temuan mengejutkan pun disampaikan oleh David. 80 persen dari hutan tua di seluruh dunia menghilang, sejalan dengan 95 persen hutan tua di Amerika yang digunakan untuk industri kertas, pulp dan bahan bakar untuk mencukupi permintaan yang meningkat. 37,5 juta hektar are dari hutan hujan hilang secara bertahap.
“Di Kanada, berdasarkan Canadian Forest Sevice, sampai tahun 1980-an hutan-hutan di Kanada masih berfungsi sebagai pengikat karbon. Namun, meningkatnya jumlah kebakaran hutan dan pembabatan hutan untuk industri pulp dan kertas, telah berkontribusi menambah jumlah karbondioksida di udara daripada menguranginya,” tulis David dalam website-nya.
Menurutnya, perusahaan multinasional pulp dan kertas telah menukar virgin fiber dari hutan Taiga Kanada yang terbentang sepanjang 1,6 miliar hektar dari pesisir ke pesisir, yang pada saat itu menutupi Kanada sebesar 53 persen. Virgin fiber ini kemudian diproduksi untuk memenuhi berbagai macam produk pesanan, seperti jaket kulit, media cetak, katalog surat, facial tissue dan kertas toilet.
David juga menyebutkan, Amerika adalah tujuan dari sekitar 80 persen produk hutan Kanada. Perusahaan kayu lokal Kanada telah menebang hutan Taiga yang menyatu dengan hutan Taiga Rusia ini untuk memenuhi permintaan kertas toilet. “Kimberley-Clark adalah salah satu perusahaan yang mengembangkan bisnis kertas toilet dari pohon-pohon hutan Taiga,” ujarnya.
Kurangi Penggunaan Kertas
Produksi kertas yang menghabiskan pohon-pohon di dunia bukanlah dongeng belaka, melainkan fakta. Hal inilah yang akhirnya memunculkan gerakan-gerakan yang mengajak masyarakat dunia untuk mereduksi penggunaan kertas.
Seperti gerakan mengatakan tidak kepada struk ATM. Kenapa? Karena kertas yang digunakan dalam transaksi ATM jika dijumlahkan bisa mengelilingi ekuator sebanyak 15 kali. Ada juga gerakan mengganti penggunaan kertas tisu dengan sapu tangan.
Gerakan mengurangi penggunaan kertas juga berkembang di perkantoran. Seperti mencetak dokumen secara bolak-balik, melakukan presentasi dengan peralatan audiovisual, mengirim dokumen dengan surat elektronik, dan lain sebagainya.
Karena menurut Prof Dr Sudjarwadi dari UGM, satu rim kertas setara dengan satu pohon berumur lima tahun. Menurutnya, setiap ton pulp membutuhkan 4,6 meter kubik kayu, dan satu ton pulp menghasilkan 1,2 ton kertas. Satu hektar hutan tanaman industri (akasia) menghasilkan kurang lebih 160 meter kubik kayu. Nah, jika per tahun diproduksi tiga juta ton pulp, maka membutuhkan 86.250 hektar hutan.
Solusi lain mereduksi penggunaan kertas juga bisa dengan menggunakan kertas daur ulang. Namun, di Indonesia harga kertas daur ulang masih terbilang mahal dibanding kertas biasa yang terbuat dari pohon. Berbeda dengan di Swiss yang menunjukkan komitmennya mengurangi penggunaan kertas dari pohon, dengan meninggikan harga kertas biasa daripada kertas daur ulang.
Dibutuhkan komitmen bersama dari para penghuni bumi untuk mereduksi penggunaan kertas yang terbuat dari pohon. Maka, minimalisir penggunaan kertas dari sekarang atau beralihlah menggunakan kertas daur ulang. Jangan sampai di masa depan, emas coklat menjadi barang langka yang sulit ditemukan dan tidak berguna di tengah kelangkaannya.
Rabu, 12 Mei 2010
Emas Coklat Untuk Masa Depan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar