Rabu, 12 Mei 2010

Selamatkan Bumi dari Sampah Elektronik

Ketika semua kehidupan berpindah ke sebuah pesawat ruang angkasa dan bumi sudah ditinggalkan manusia selama 700 tahun lamanya, ada sebuah robot yang lupa dimatikan. Ia adalah WALL-E (Waste Allocation Load Loader-Earth Class), sebuah robot pemadat sampah yang mengumpulkan dan memadatkankan sampah lalu menyusunnya. Ia menjadi satu-satunya penghuni bumi yang dengan setia membersihkan bumi dari sampah.

Dalam film animasi buatan Pixar ini, bumi digambarkan penuh dengan sampah yang tidak bisa didaur ulang. Mulai dari pakaian, makanan, besi-besi, beton bangunan sampai alat elektronik menggunung di mana-mana.

Bisa jadi, ini adalah gambaran bumi dalam waktu beberapa ratus tahun lagi. Bahwa electronic waste (sampah elektronik) yang saat ini sedang dipikirkan bagaimana penyelesaiannya sudah mulai memenuhi bumi. Bahkan menurut berbagai hasil penelitian lingkungan hidup, sampah elektronik ini telah menyebabkan polusi dan berbagai masalah kesehatan.

Sampah elektronik ini juga merupakan bentuk ketidakadilan yang dilakukan negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Negara-negara maju mengirimkan sampah-sampah elektronik ke negara dunia berkembang. Karena melakukan ekspor sampah elektronik dikategorikan sebagai tindakan ilegal, maka negara maju menggunakan dalih mengirimkan barang elektronik yang sudah usang sebagai barang re-use.

Dalam sebuah dokumen yang berjudul “cyber-age nightmare” – dilaporkan, ditemukan komputer-komputer yang masih menggunakan label dari pemiliknya di Amerika berhamburan dan hanyut disepanjang sungai dan ladang di Cina bagian Tenggara.

Daerah itu bernama Guiyu, sebuah distrik di Provinsi Guangdong, Cina. Di sana ditemukan para pekerja yang terdiri dari orang-orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan anak-anak yang sedang memisahkan kabel-kabel dari komputer dan alat eletronik lainnya. Dan pada malam harinya, mereka membakarnya dan mengotori udara dengan asap carcinogenic penyebab kanker yang dihasilkan dari pembakaran tersebut.

Para pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung untuk dirinya, tidak hanya memisahkan kabel dari alat-alat elektronik. Mereka menuangkan asam di atas alat-alat elektronik untuk mendapatkan perak dan emas. Mereka juga mencungkil banyak cartridge printer dan menghancurkan tabung-tabung sinar katoda dari monitor komputer. Untuk itu, pekerja-pekerja tersebut dibayar 1,50 dolar per hari.

Kebanyakan sampah elektronik dari Amerika dikirimkan ke Cina, India, dan negara Asia lainnya. Jika di Cina terkenal dengan Guiyu-nya, di India terkenal dengan distrik Mayapuri dan Buradi-nya. Dua wilayah ini juga terkenal sebagai tempat pembongkaran barang elektronik AS untuk mendapatkan logam berharga seperti emas, platina, dan perak.

Polusi yang dihasilkan karena limbah elektronik ini juga ditemukan di Ghana. Bagaimana sampah elektronik ini bisa sampai di Ghana? Menurut laporan Greenpeace, kontainer berisi komputer rusak, monitor dan TV dari merek Philips, Canon, Dell, Microsoft, Nokia, Siemens dan Sony sampai di Ghana dari Jerman, Korea, Swiss, dan Belanda. Sampah elektronik tersebut berakhir di tempat pembuangan sampah di Ghana, menanti untuk dihancurkan dan dibakar oleh para pekerja, yang lagi-lagi tidak dilindungi dengan alat pengaman.

Bukan rahasia lagi bahwa materi berbahaya (limbah, red) dari negara-negara ekonomi maju sering berakhir sebagai kerugian di negara-negara dunia ketiga. Pakta 1989 yang terkenal dengan Konvensi Basel melarang transfer limbah tersebut, tapi AS tidak meratifikasinya. AS menolak mengadaptasi Konvensi Basel. Hasilnya, sampai 80 persen limbah elektronik Amerika dikirim ke Guiyu, Cina.

Cina, sebagai salah satu penanda tangan Konvensi Basel, termasuk yang mendukung pelarangan internasional untuk mengekspor limbah beracun. Meskipun demikian, pemerintah Cina ternyata juga tidak efektif dalam menjaga agar limbah beracun dari Barat tidak masuk ke negaranya. Masalahnya berubah menjadi rumit. Dengan fakta bahwa industri e-waste, bukan hanya merusak lingkungan Guiyu. Namun juga telah menjadi tumpuan ekonomi warga Guiyu. Hal ini telah membuat penduduk lokal mau melakukan apa saja untuk mendapatkan penghasilan dari industri sampah elektronik ini.

Masalah Kesehatan dan Lingkungan Hidup
Sampah komputer, televisi, dan peralatan elektronik lainnya yang digunakan AS telah menyebabkan polusi lingkungan dan menjangkiti pekerja dengan zat kimia beracun di beberapa wilayah di Cina, India, dan negara-negara dunia ketiga lainnya. Karena di negara-negara inilah, di mana barang-barang elektronik ekspor dari Amerika dibuang dan dibongkar.

Berdasarkan laporan Greenpeace, dari kurang lebih 70 sampel yang dikumpulkan pada Maret 2005 yang berasal dari limbah industri, endapan di sungai, tanah, dan air tanah di sekitar Guiyu, Cina dan New Delhi, India, disimpulkan mengandung kontaminan level tinggi. Sampel dikumpulkan dari area yang mengandung logam berat yang digunakan untuk membuat alat elektronik termasuk timah, tembaga, cadmium, dan antimony (logam keputih-putihan yang rapuh untuk membuat obat dan untuk pengeras campuran logam).

Para peneliti Greenpeace juga mendeteksi kehadiran polybrominated diphenyl ethers atau PBDEs, sebuah penghambat api, sebaik polychlorinated biphenyls atau PCBs, sekelas kimia yang biasa digunakan dalam menyaring cairan.

Kontaminan logam berat ini telah menyebabkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari kanker sampai kerusakan sistem saraf. “Kontaminasi tingkat tinggi ini terjadi karena ketidak-amanan pembuangan alat eletronik yang mengancam kesehatan pekerja dan kesehatan masyarakat sekitar,” ujar Arnold Schecter, profesor ilmu lingkungan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Texas.

Sebuah penelitian dilakukan di Cina, yang menjadi tujuan dari 70 persen dari komputer, TV, telepon selular, dan limbah elektronik dunia lainnya. Penelitian tersebut menyimpulkan, metode daur ulang Cina telah menaikkan level dioxin pada perempuan menyusui. Dioxin ini bisa menyebabkan penyakit kanker, menyebabkan cacat, dan masalah kesehatan lainnya.

Ming H Wong dan koleganya melakukan penelitian level dioxin pada perempuan yang memiliki anak yang masih menyusui yang tinggal di lingkungan tempat pembuangan sampah elektronik di daur ulang, kemudian dibandingkan dengan mereka yang tinggal di area lain. Mereka menganalisa level dari dioxin dalam sampel susu ibu, plasenta, dan rambut.

Sampel dari tempat pembuangan limbah elektronik menunjukkan level dioxin yang tinggi daripada diambil dari tempat lain. Peneliti memperkirakan dari bayi yang sudah menyusu selama enam bulan di tempat daur ulang berisiko memiliki masalah kesehatan - seperti cacat – ketimbang yang tidak berada di sana.

Tidak hanya itu, zat kimia yang diakibatkan oleh sampah eletronik juga bisa mengandung limbah beracun yang menyebabkan tanah dan air tanah menjadi rusak dan tidak layak minum. Racun kimia dari barang elektronik yang rusak mengandung timah, arsenik, merkuri atau seng, dapat merembes ke dalam tanah selamanya atau menguap meracuni udara.

Indonesia termasuk negara yang meratifikasi Konvensi Basel. Pemerintah berencana untuk membuat kebijakan yang mengharuskan pabrik-pabrik di industri elektronik untuk mengambil kembali limbah elektroniknya. Program yang diberi nama Extended Producer Responsibility (EPR) ini mensyaratkan perusahaan elektronik agar secara keuangan bertanggung jawab untuk pengumpulan dan pendaur ulangan e-waste.

ERP pertama kali diimplementasikan di Jerman pada 1991 mengacu kepada permasalahan lahan. Sejak itu, kebijakan ini menjadi populer di Eropa dan Asia. “ERP sudah dipraktikan di beberapa negara. Kita ingin mengadopsinya di sini. Beberapa pabrik sudah familiar dengan kebijakan ini,” ujar Herri Hamdani dari Kementrian Lingkungan Hidup.

California dan Massachusetts juga telah mengeluarkan larangan pembuangan tabung sinar katoda monitor di tanah dan tempat pembakaran. Beberapa pembuat PC dan pedagang retail besar telah meluncurkan program daur ulang, tapi mereka menyarankan konsumen untuk membayar sekitar 30 dolar dan mengirimkan PC lama mereka sendiri.

Sejauh ini memang belum ada solusi real dari menumpuknya sampah elektronik yang dihasilkan negara-negara maju ini. Namun apa pun solusi yang coba ditawarkan pemerintah masing-masing negara, dibutuhkan kebulatan niat untuk menjalankan upaya ini dengan kontinu. Karena tentunya, kita tidak ingin melihat bumi kita dipenuhi dengan sampah seperti dalam film animasi WALL-E kan?

1 komentar:

Reno Rasiwara mengatakan...

kita juga punya nih artikel mengenai 'Sampah Elektronik', silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/6906/1/Studi%20Komparatif%20Pengelolaan%20Sampah%20Elektronik.pdf
trimakasih
semoga bermamfaat