Oleh Diyah Kusumawardhani
Medium is the message. Media adalah pesan. Media sebagai alat untuk menyampaikan pesan itu sendiri.
Begitulah gagasan McLuhan terhadap fenomena perkembangan media pada medio 1960an. McLuhan mengadaptasi terminologi “pesan” untuk menunjukkan pengaruh media terhadap khalayaknya. Menurutnya, masing-masing media memiliki “pesan” dan “efek” yang berbeda pada manusia.
Ia memfokuskan konsepnya bukan kepada konten dari media, melainkan dari karakteristik medianya. Bagi McLuhan, tayangan atau isi yang disampaikan media memang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi khalayak atau penikmat media, yang dalam hal ini mengacu kepada masyarakat. Namun, efeknya kecil. Menurutnya, yang membuat akhirnya khalayak terpengaruh adalah tingkat keberulangan sebuah tayangan diputar (untuk televisi dan radio) dan tingkat keseringan sebuah tulisan dibaca (untuk media cetak).
Misalnya, tayangan kekerasan pada televisi. Tayangannya menurut McLuhan mungkin hanya berpengaruh sedikit pada khalayak. Namun yang membuat tayangan ini berpengaruh besar terhadap khalayak adalah keberulangannya. Jika tayangan ini diputar berulang-ulang, maka akan meninggalkan pengaruh kepada khalayaknya.
Neil Postman dalam Amusing Ourselves to Death menyebutkan bahwa tiap medium seperti halnya bahasa, memungkinkan tercapainya suatu jenis wacana tertentu dengan memberikan orientasi baru dalam berpikir atau dalam mengekspresikan sesuatu. Menurutnya, format media memungkinkan terjadinya konversasi (percakapan), sehingga medium lebih mirip sebagai metafor yang beraksi dengan cara yang tidak mencolok, namun implikasinya sangat berpengaruh dalam menekankan definisinya akan kenyataan. Maka tak heran jika Postman membubuhi tanda kutip pada kata pesan dalam gagasan McLuhan mengenai medium.
Gagasan McLuhan mengingatkan kepada kerusuhan Koja yang terjadi pada 14 April 2010 lalu. Konflik yang diawali dengan rencana eksekusi tanah kawasan makam Mbah Priok yang berada di dalam area Terminal Peti Kemas Tanjung Priok oleh Pemda DKI Jakarta ini, berujung pada bentrokan berdarah antara warga dengan Satpol PP.
Sore harinya, disalah satu televisi swasta, diadakan wawancara live yang menghadirkan aparat pemerintah yang diwakili Wakil Gubernur, aparat keamanan dan seorang ustadz. Sang ustadz ditanya, kenapa jamaah dari luar Koja bisa masuk dan ikut serta dalam bentrokan? Ia pun menjawab, bahwa seringnya adegan pukul-pukulan antara Satpol PP dan warga ditayangkan berulang di televisi membuat jamaah dari luar Koja masuk dan untuk ikut serta membantu perlawanan. Karena disangkanya kerusuhan belum selesai.
Atau pemberitaan mengenai anak kecil perokok asal Jawa Timur yang beberapa waktu sering ditayangkan di hampir semua stasiun televisi di tanah air. Meski disajikan dengan wajah yang diburamkan, namun hal ini bisa membuat anak kecil untuk ikut-ikutan merokok. Apalagi jika tayangan berita itu tidak sengaja tertonton anak kecil yang sedang lepas dari pengawasan orang tuanya.
Beberapa waktu lalu di dunia selebrita Indonesia pun digegerkan dengan pengakuan Anji Drive sebagai ayah dari anak artis Sheila Marcia. Pengakuan yang merupakan aib ini dilakukan Anji di hampir semua program infotainment stasiun televisi dengan ekspresi santai, innocent dan wajar. Bahwa anak yang dilahirkan Sheila adalah hasil kekhilafannya saat berada di bawah pengaruh narkoba.
Padahal, perilakunya ini bisa berimbas kepada perilaku remaja dan menimbulkan persepsi baru bahwa berhubungan seks di luar nikah yang berujung pada kehamilan adalah hal yang wajar-wajar saja. Wawancara pengakuan Anji Drive ini ditayangkan selama hampir sepekan di layar kaca.
Keberulangan dalam menayangkan berita tidak selamanya negatif. Karena keberulangan pesan yang menimbulkan efek remainder (pengingat) ini bisa membuat masyarakat menjadi ‘ingat’ dan ‘terbiasa’. Terbiasa kepada kebaikan dan hal-hal positif lainnya; serta terbiasa kepada kekerasan, rokok, seks bebas, narkoba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar