Siapa yang tak tahu Twitter? Situs jejaring sosial dan microblogging yang dibuat Jack Dorsey pada 2006 silam dan hanya memiliki 140 karakter saja pada pesan-pesannya ini marak digunakan berbagai kalangan. Mulai dari yang bukan siapa-siapa sampai Presiden memiliki akun di Twitter.
Begitu pula dengan para politisi, public figure, bahkan petinggi media massa nasional pun ramai memenuhi jagad Twitter. Perang pemikiran dan opini pun setiap hari memenuhi timeline orang-orang yang menjadi follower-nya. Ini adalah kredit bagi mereka. Sekali tweet (melansir pesan), maka pesan akan menyebar ke ratusan sampai puluhan ribu pengikutnya. Baik hanya pesan biasa, maupun pesan ideologi.
Perkembangan social media seperti Twitter ini tidak serta merta diabaikan oleh para jurnalis dan pebisnis media. Karena kehadirannya, selain bisa digunakan untuk meningkatkan hits pada website-nya dengan mentautkan alamat website di tweet-nya, juga bisa digunakan sebagai sarana jurnalistik.
Seorang blogger Amerika, Robert Scoble pernah menulis pada 2007 tentang bagaimana pengguna Twitter melakukan reportase singkat (breaking news) mengenai gempa bumi di Mexico City beberapa menit sebelum dilakukan USGS (United State Geological Survey). Begitu juga dengan blogger Zoli Erdos menyebutkan bagaimana pada Maret 2008, pengguna Twitter telah berhasil memimpin isu organisasi media internasional dalam melaporkan gempa bumi di Cina dan Jepang.
Perdebatan mengenai apakah Twitter bisa digunakan sebagai alat jurnalistik atau tidak sudah mengemuka sejak 2008. Karena pada saat itu, banyak pihak yang memprediksi bahwa kebangkitan Twitter merupakan diskursus yang serius dan bisa dijadikan alat bagi perkembangan jurnalistik mainstream. Seperti alat untuk breaking news, melakukan wawancara, quality assurance (jaminan kualitas) dan mempromosikan berita (Marshall Kirkpatrick, How We Use Twitter for Journalism, 2008).
Sedangkan Vadim Lavrusik dari Universitas Columbia, melengkapi kegunaan Twitter tadi dengan beberapa hal. Yaitu, sebagai alat untuk riset berita, mencari dan mendaftar narasumber, mengintegrasikan blog dan situs, membangun komunitas, dan personal brand. Mungkin hal-hal inilah yang akhirnya membuat The New York Times menunjuk Jennifer Preston sebagai social media editor (redaktur media sosial). Bahkan pada 2008 istilah Jurnalisme Twitter pun muncul ke permukaan.
Di tengah maraknya jejaring sosial yang digunakan sebagai alat jurnalistik, kantor berita raksasa Reuters malah membuat kebijakan berbeda. Awal Maret 2010, Reuters mengeluarkan kebijakan social media bagi para jurnalisnya. Kebijakan tersebut dikeluarkan dalam rangka menjaga akurasi berita agar bebas dari bias, independen, serta menjaga integritas perusahaan. Kesemuanya dirangkum dalam Handbook of Journalism: Reporting From The Internet yang dirilis Reuters melalui internet.
Dalam handbook-nya, Reuters mendukung perkembangan jurnalisme dengan berbagai bentuknya, termasuk dalam ranah pelaporan menggunakan teknologi komputer. Namun, mereka menggaris-bawahi masalah sikap ilegal yang mungkin dilakukan oleh para jurnalisnya.
Jurnalis Reuters wajib menunjukkan identitasnya sebagai wartawan Reuters dan berlaku sebagaimana wartawan Reuters yang menjaga etika jurnalistik dan etika perusahaan tempat. Ada integralitas antara sikap para jurnalis dengan citra perusahaan. Inilah mengapa Reuters menyarankan para jurnalis untuk memiliki dua akun social media yang berbeda sesuai penggunaannya; akun profesional dan akun pribadi.
Untuk membuka akun profesional pun, para jurnalis diwajibkan untuk meminta ijin dan arahan dari para manajernya. Maka tidak mengherankan bila di Twitter, para jurnalisnya mencantumkan ‘Reuters’ pada namanya. Seperti: Leah_Reuters, kevinfreuters, FranklinReuters, ReutersSteve dan FelixReuters. Perlu dicatat, para jurnalis Reuters yang memiliki akun di social media tidak dibenarkan untuk beropini dan bersikap sesukanya, serta harus sejalan dengan kebijakan Reuters.
Reuters juga mengatur jurnalisnya, agar lebih berhati-hati ketika menggunakan social media dalam melakukan tugas jurnalistiknya. Mereka tidak melarang para jurnalisnya melakukan wawancara ataupun berinteraksi dengan para nara sumbernya melalui social media, namun syarat proses cek dan ricek harus tetap dilakukan, agar tidak terjadi bias.
Hubungan antara breaking news, social media dan penyajian berita konvensional memang sulit untuk ditentukan. Karena di satu sisi, media massa tidak mungkin membatasi kemampuan awak redaksinya untuk mengumpulkan dan melaporkan berita dengan media apapun. Namun di sisi lain, integritas dari berita itu sendiri harus tetap dijaga.
Social media memungkinkan seseorang mendapatkan berita secepat hitungan detik. Namun, tetap ada resikonya. Sebab berita yang mungkin beredar di social media bersifat one-sided (satu sisi) dan harus dilakukan cek dan ricek, meski yang berkomentar adalah seorang tokoh nasional atau pejabat negara. Karena, keterlibatan mereka secara langsung dalam event apapun dan melansirnya melalui social media hanyalah sebagian kecil dari kebenaran dan bisa jadi bukanlah sesuatu yang merepresentasi kondisi yang sebenarnya terjadi. Sehingga tidak cukup kuat kebenarannya untuk dikutip dalam sebuah laporan pemberitaan. Mungkin inilah yang dikhawatirkan Reuters.
3 komentar:
Cie meniex tulisan lo makin tajem aja kaya piso nek! Kalo gw dsuruh nulis kenapa sekarang mentok ya bo?
Err, i cant comment about the twitter thing since i'm once again a newbie there :-(
@ kana:
ini tulisan di kolom (yg isinya tentang jurnalistik) yang dihibahkan secara semena-mena sama bos gw ke gw..jadi, mau gak mau gw mesti bisa nulis begono...newbie juga gw di kolom itu, baru 5 edisi, hehehehe...
twitter gw juga newbie..secara akun dah punya lama tapi baru aktif dimainin awal 2010 :P
blog baru nek? meluncur ah ke rumah situ :P
Blog lama nek! Don't u remember? ;-)
iya twitter gw kn jg dh gw pnya dari jaman gw msi jadi wartawan... Tp baru aktif lagi bbrapa minggu ni aja... ;))
Posting Komentar