Rabu, 21 Juli 2010

Kurikulum Buatan Sang Ayah

Hasan al Banna mengajarkan kepada para anggota ikhwan tentang sepuluh muwashofat atau karakteristik dasar yang wajib dimiliki oleh seorang muslim. Yaitu salimul aqidah (akidah yang bersih), shahihul ibadah (ibadah yang benar), qawwiyul jismi (fisik yang kuat), matinul khuluq (akhlak yang kokoh), mutsaqaful fikr (wawasan yang luas), munazhaman fi syu’unihi (urusan yang tertata rapi), mujahidan li nafsihi (bersungguh-sungguh terhadap dirinya sendiri), qadiran ‘alal kasbi (mampu mencari nafkah sendiri), harishun al waqtihi (teratur baik waktunya), nafi’an li gharihi (bermanfaat bagi orang lain).

Kepribadian Hasan al Banna pun sejak kecil sudah mencakup dari sepuluh karakteristik tersebut. Sang ayah, Syeikh Abdurrahman al Banna menyatakan, pertumbuhan Hasan al Banna tidak seperti anak biasanya. Kecerdasannya sudah nampak sejak ia masih kanak-kanak. Ia sudah bertanya tentang alam semesta dan penciptanya.

“Setelah saya menangkap adanya kecerdasan yang luar biasa, saya pun mendidiknya dengan menghafal al Qur’an, mempelajai sunnah, dan akhlak mulia,” ujar sang ayah, Syeikh Abdurrahman al Banna.

Abdur-Rahman al Banna, saudara kandung Hasan al Banna jua turut berkisah tentang sang kakak. Ketika itu Hasan al Banna berusia 9 tahun dan Abdur-Rahman berusia 7 tahun. Mereka selalu bersama-sama pergi ke maktab (perpustakaan) untuk menghafal al Qur’an dan menulis di papan. “Ia sudah hapal dua pertiga al Qur’an, sedangkan aku baru sepertiga – dari Surat al Baqarah sampai at Taubah,” kisah Abdur-Rahman.

Mereka selalu pulang bersama dari perpustakaan. Sepulangnya dari perpustakaan, mereka bergantian mencium tangan ayahnya. Kemudian, pelajaran Sirah Nabawiyah, ‘Ushul Fiqh, dan Nahwu pun dimulai.

Sang ayah, Syeikh Abdurrahman al Banna memiliki kurikulum tersendiri dalam mengajarkan anak-anaknya. Untuk pelajaran fiqh, Hasan al Banna diajarkan fiqh Imam Hanafi, sedangkan Abdur-Rahman diajarkan fiqh Imam Malik. Untuk pelajaran Nahwu, Hasan al Banna diajarkan kita al Fiyah milik Ibnu Malik, dan Abdur-Rahman diajarkan Milhatul I’rab. “Semua pelajaran menuntut kami untuk serius dan sungguh-sungguh. Karena itu kami selalu mengatur waktu dan menyusun jadwal belajar,” lanjut Abdur-Rahman.

Abdur-Rahman kembali berkisah. “Hasan al Banna adalah sebaik-baik orang yang ku kenal dan selalu melaksanakan ibadah puasa dan sholat malam. Ia bangun di waktu sahur, lalu sholat. Setelah itu ia bangunkan ak untuk sholat shubuh. Seusai sholat ia membacakan jadwal mata pelajaran untukku.

Pukul 05.00 – 06.00 : pelajaran al Qur’an

Pukul 06.00 – 07.00 : pelajaran tafsir dan hadis

Pukul 07.00 – 08.00 : pelajaran fiqh dan ushul fiqh

“Ia selalu yang memulai dan aku mengikuti. Ia yang menyuruh dan aku yang menaati. Ketika itu, perpustakaan ayah penuh dengan berjilid-jilid buku. Setiap hari kami mengitari dan mengamati judul-judulnya yang berkilauan bagai emas. Terbaca kitab an Naisaburi, al Qasthalani, Nailul Authar, dan masih banyak kitab lainnya.”

Sang ayah selalu menganjurkan agar mereka selalu dekat dengan buku-buku itu. Bahkan keduanya kerap diajak mengikuti majlis ilmiah bersama ayahnya, hanya sekedar untuk mendengarkan diskusi ataupun debat. “Kami menghadiri diskusi dengan hadirin yang terdiri dari para ulama. Seperti al Mukarram Syaikh Muhammad az Zahran, dan al Mukarram Syeikh Hamid Muhaisin,” tutur Abdur-Rahman.

Tidak ada komentar: