Rabu, 21 Juli 2010

Islam Adalah Ayahku

Hasan al Banna lahir di Mahmudiyah, yang terletak 90 kilometer dari Kairo, Mesir. Tepatnya pada 17 Oktober 1906. Ia lahir di tengah-tengah keluarga yang kental nilai keislamannya.

Ayah Hasan al Banna adalah seorang ahli fiqh dan pakar hadis. Ia adalah Syekh Abdurrahman al Banna al Sa’ati. Ia jugalah yang memberikan nama Hasan Al Banna yang memiliki arti Sang Pembangun Kebaikan.

Syekh Abdurrahman al Banna al Sa’ati bukan hanya seorang ulama. Ia juga seorang jurnalis, tepatnya seorang redaktur yang membidangi subyek sirah dalam majalah al Urwat al Wustqa yang dipimpin oleh Syaikh Jamaluddin al Afghani.

Rumah Hasan al Banna dilengkapi dengan sebuah perpustakaan pribadi. Hal ini membuktikan bahwa sang ayah menumbuh suburkan tradisi intelektual di dalam keluarganya. Karena Hasan al Banna adalah sorang anak yang sangat haus akan ilmu, maka hal yang paling disenanginya saat masih kecil salah satunya adalah membaca buku di perpustakaan ayahnya yang besar itu.

Tradisi intelektual inilah yang memotivasi Hasan al Banna untuk menghafal al Qur’an. Syekh Abdurrahman al Banna al Sa’ati juga tidak lelah memotivasi Hasan al Banna kecil untuk menuntaskan hafalannya. Sang ayah selalu mengatakan bahwa hafalan Quran ia sebut sebagai hutang yang harus ditunaikan oleh orang-orang besar. Akhirnya, pada usianya yang ke-14 Hasan al Banna berhasil menjadi hafidz Quran.

Selain itu, di bawah bimbingan sang ayah pula akhirnya membuat Hasan al Banna memiliki jadwal harian yang selalu dipatuhinya. Siang hari selalu dipergunakannya untuk belajar di sekolah. Sepulang sekolah, ia kemudian belajar membuat dan memperbaiki jam dengan orang tuanya hingga sore. Selanjutnya, waktu sore hingga menjelang tidur selalu digunakannya untuk mengulang pelajaran sekolah. Sementara membaca dan mengulang-ulang hafalan al Qur'an ia lakukan selesai shalat Shubuh.

Keberhasilan Imam Hasan al Banna dalam berdakwah tidak lepas dari pendidikan masa kecil beliau di bawah bimbingan ayahanda tercinta. Namun uniknya, Hasan al Banna justru tidak memanggil ‘ayah’ kepada Syekh Abdurrahman al Banna al Sa’ati. Karena baginya, Islam adalah ayahnya. “Islam adalah ayahku satu-satunya,” ucap Hasan al Banna. Hal ini dilakukan karena rasa cintanya terhadap ajaran Islam. Islam-lah yang telah membentuk watak dan kepribadiannya.

Tidak ada komentar: