Rabu, 21 Juli 2010

Prinsip dan Kaidah Pembinaan Rumah Tangga

Pengajian itu berlangsung setiap hari Selasa. Maka, hari Selasa selalu menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu oleh anggota ikhwan. Seorang murid Hasan al Banna yang bernama Ahmad Isa ‘Ayur merangkum ceramah-ceramah yang disampaikan oleh sang guru. Salah satu isi ceramahnya adalah tentang prinsip dan kaidah dalam berumah tangga. Berikut dipaparkan isi ceramah Hasan al Banna untuk bisa dijadikan pelajaran dalam mengarungi biduk rumah tangga.
 
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junnjungan kita Nabi Muhammad SAW, juga untuk segenap keluarga dan sahabatanya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.
 
Amma ba’du.
Assalamu’alaikum wr wb.
 
Kita kembali kepada tema kajian kita, yaitu anjuran Islam untuk berkeluarga. Saya pernah mengatakan, Islam memandang kehidupan  berkeluarga dari tiga sisi. Pertama, masa perintisan kehidupan rumah tangga. Kedua, masa menjalani kehidupan rumah tangga. Ketiga, masa berakhirnya kehidupan rumah tangga, andaikata ditakdirkan berakhir.
 
Kita telah mengkaji pandangan Islam tentang perintisan kehidupan rumah tangga dan anjuran Islam terhadapnya. Kehidupan berumah tangga ini, dibangun berlandaskan beberapa kaidah. Kaidah pertama, pembinaan yang integral dalam pembentukan rumah tangga dan anjuran untuk melaksanakannya. Kaidah kedua, mengatasi hambatan-hambatan. Kaidah ketiga, pemilihan yang baik dan perhatian terhadap keseimbangan suami-istri dalam keturunan dan agama.
 
Sebagaimana pihak pria berhak menetapkan pilihan untuk dirinya, demikian pula pihak wanita, ia berhak menentukan pilihannya. Kalian telah mendengar kisah Barirah dan Khansa’ binti Khadam. Jika rumah tangga telah dibangun di atas landasan ini, akan terwujudlah tolong-menolong sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Islam.
 
Kehidupan rumah tangga adalah kehidupan ”kerja”. Ia diwarnai oleh beban-beban dan kewajiban-ewajiban. Landasan kehidupan rumah tangga bukan semata kesenangan dan romantika. Hakikat ini ditegaskan dalam kitab Allah, ”Dan para wanita memmpunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. al Baqarah 2:228)
 
Karena setiap persekutuan membutuhkan pemimpin yang mengatur urusannya, sedangkan pihak-pihak yang bersekutu itu kedudukannya tidak persis sama, maka Islam menetapkan wewenang kepemimpinan pada salah satunya, yaitu kaum pria. Ia dipilih karena mempunyai akal pikiran yang lebih sempurna dibanding wanita. ”Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS. al Baqarah 2:228)
 
Hak ini diberikan bukan lantaran keberpihakan yang berlebihan kepada kaum lelaki dan bukan pula keputusan yang tanpa pertimbangan, namun ia ditetapkan berdasarkan realistis fisik dan struktur tubuh manusia.
 
Di antara hal yang tidak diragukan adalah, manusia memiliki keinginan, perasaan, hati, dan emosi. Sebagian orang didominasi oleh perasaannya, sebagian yang lain didominasi oleh emosinya, dan sebagian lain lagi tidak mempunyai emosi sama sekali. Demikianlah, kecenderungan dan karakter manusia berbeda-beda.
 
Para panglima perang cenderung “lebih” dalam tekad dan kemauan. Para filosof didominasi oleh potensi pikiran. Para penyair didominasi oleh kekuatan perasaan. Para wanita didominasi oleh emosi yang sangat sensitif.
 
Kecenderungan yang saya sebutkan terakhir ini tidak mendukung dalam hal memenej urusan. Karena itu, merupakan hal yang bijaksana jika Islam menempatkan kepemimpinan pada kaum pria, bukan wanita. Inilah sebabnya, kesaksian wanita bernilai separo kesaksian pria. Ini tidak berarti merendahkan atau mengurangi hak dan nilai kaum wanita.
 
Bahkan Allah swt berfirman, ”Sebagian dari kalian adalah keturunan bagi sebagian yang lain.” (QS. al Imran 3:195). Allah juga berfirman, ”Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (QS. al Baqarah 2:228). “Dan orang mukmin laki-laki dan orang mukmin perempuan.” (QS At Taubah 9:71).
 
Yang menjadi perhatian Islam hanyalah keadaan wajar yang sesuai dengan karakter tubuh manusia. Karena itu, kehidupan suami-istri dibangun berdasarkan asas tolong-menolong dan kebersamaan.
 
Tetapi ada faktor yang menguatkan salah satu pihak sesuai dengan tugas yang dibebankan di pundaknya. Ia adalah akalnya yang sempurna. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS An Nisa 4:34).
 
Tolong-menolong yang dikehendaki Islam bukanlah tolong-menolong yang “gersang”, tetapi tolong-menolong yang diwarnai dengan cinta, toleransi, dan penghargaan. Hendaklah pihak wanita bersikap taat, sedangkan pria memberikan kasih sayangnya.
 
”Hendaklah kalian menasehati kaum wanita dengan cara yang baik, karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Dan sesungguhnya, tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika kamu meluruskannya, kamu akan mematahkannya, tetapi bersenanglah dengannya dalam kebengkokannya.” (HR. Abu Hurairah dan Muslim)
 
 
Yang paling sering menyimpang pada wanita adalah apa yang ada di dalam kepalanya (pikirannya), sedangkan yang paling seimbang adalah hatinya. Karena itu, menyikapi wanita haruslah dengan kearifan dan kelembutan, bukan dengan logika. Perhatikan sabda beliau, ”Tetapi bersenanglah dengannya dalam kebengkokannya.”
 
Perhatikanlah Ibnu Abbas ra. Ia adalah seorang sahabat yang memiliki kelebihan dalam Islam dan kematangan ilmunya. Ia berdiri di depan cermin untuk mematut-matut dirinya. Beliau memendekkan kumis dan memotong jenggot yang panjangnya melebihi genggaman tangan. Perbuatan beliau ini diketahui oleh Nafi’. Maka Nafi’ berkata, ”Ibnu Abbas, apa yang sedang engkau lakukan? Bukankah orang-orang rela mendatangimu dengan berkendaraan unta untuk belajar ilmu?”
 
Ibnu Abbas menjawab,”Aku berhias untuk istriku sebagaimana ia berhias untukku.Tindakanku ini sesuai dengan al Qur’an.” ”Tunjukkan ayat itu kepadaku!” desak Nafi’ ingin tahu. Ibnu Abbas lalu membaca firman Allah, ”Dan para wanita memmpunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. al Baqarah 2:228). Sampai seperti inilah penghormatan seorang muslim terhadap hak-hak wanita, termasuk di dalam urusan yang kecil.
 
Prinsip hidup berkeluarga adalah saling menyempurnakan, saling menolong, saling mengasihi, dan saling membesarkan hati untuk menanggung beban hidup. “Jika seorang suami membenci sebagian perilaku istrinya, ia toh masih menyukai sebagian perilaku yang lain. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. an Nisa 4:19)
 
Ada sebuah kisah unik. Istri Ibnu Mas’ud ra mempunyai simpanan harta lumayan banyak. Suatu ketika Ibnu Mas’ud mendatanginya dan berkata, “Sedekahkan hartamu itu kepadaku!”
“Apakah sedekah itu ada manfaatnya bagiku?” Tanya istrinya.
“Tentu saja.” Jawab Ibnu Mas’ud.
”Baiklah, tapi aku akan bertanya dulu kepada Nabi.” kata istrinya.
 
Akhirnya ia bertanya kepada Nabi SAW. Beliau SAW menjawab, ”Dalam sedekah tersebut, kamu mendapatkan dua pahala, yaitu pahala sedekah dan pahala merekatkan hubungan keluarga.”
 
Hadits ini mengandung isyarat tentang apa yang dikehendaki oleh Islam, semisal tolong-menolong antara suami-istri ini. Jika Allah mengaruniai anak, maka beban pun bertambah dari sekedar kehidupan suami-istri menjadi kehidupan sebuah “kerajaan-mini”, yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak. Maka ruang lingkup tolong-menolong semakin luas daripada sebelumnya. Karena itulah, setiap nafkah yang diberikan kepada anak-anak menjadi catatan amal kebaikan bagi pemilik keluarga tersebut, yang akan menaikkan derajat sehingga ia berhak tinggal di “negeri kemuliaan” (surga) bersama para nabi, shhidiqin, syuhada’, dan orang-orang shalih.
 
Suatu ketika seorang lelaki berlalu di hadapan para sahabat Nabi saw.  Ia seorang laki-laki yang tabah dan kuat. Para sahabat berkata, ”Alangkah baiknya seandainya ketabahannya itu ia gunakan di jalan Allah.” Nabi saw bersabda, ”Apakah kalian tahu, bahwa jika ia keluar rumah dalam rangka bekerja untuk menjaga kehormatan dirinya dari hinanya meminta-minta, ia di jalan Allah? Jika ia keluar rumah dalam rangka bekerja untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya yangg kecil-kecil, ia di jalan Allah, Jika ia keluar dalam rangka bekerja untuk menjaga kehormatan istrinya dari perbuatan-perbuatan haram, iapun di jalan Allah. Akan tetapi jika ia ia keluar rumah dalam rangka bekerja agar dilihat orang lain dan berbangga dengan harta yang banyak, ia di jalan setan.”
 
Prinsip-prinsip ini telah dijelaskan dan ditekankan oleh Islam dengan sebaik-baiknya. Setelah itu, Islam bukanlah ajaran yang semena-mena, kaku, zhalim, atau utopis. Karenanya Islam tidak menganggap bahwa hubungan suami-istri tidak mungkin dipisahkan, jika problem yang dihadapi tidak mungkin lagi dipecahkan oleh berdua. Keretakan keluarga bisa saja mengakhiri berlangsungnya kehidupan suami-istri. Karena itu, Islam mempunyai dua pandangan mengenai berakhirnya kehidupan keluarga.
 
Pertama, pandangan pensakralan dan penghormatan, sehingga Islam menetapkan bahwa perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah swt adalah perceraian. Islam melarang pemutusan hubungan suami-istri tanpa adanya sebab yang kuat. Islam menjadikan ikatan suami-istri sebagai ikatan perjanjian yang kuat. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah, ”Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS An Nisa 4:21).
 
Islam juga mewajibkan beberapa instrumen untuk perbaikan kehidupan keluarga, mulai dari sikap sabar, memberi nasihat, hingga memisahkan ranjang, memukul dan mendatangkan dua orang perantara.”Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS An Nisa 4:34-35).
 
Allah berpesan agar kedua penghubung itu ikhlas. Jika kedua orang juru damai itu bermaksud mengadakan perbaikan. Dan menyatakan bahwa kesuksesan perundingan mereka tergantung kepada keikhlasan ini. Niscaya Allah memberi taufiq kepada suami-istri itu.
 
Jika keduanya tidak ikhlas, semua usaha itu tidak akan bermanfaat bagi kedua belah pihak. Pernah ada dua orang perantara yang berunding untuk pemecahan sengketa suami-istri, namun tidak berhasil menemukan kesepakatan, maka Umar ra memerintah keduanya untuk mengulangi perundingan.
 
Umar memukul kedua perantara itu seraya berkata, “Sesungguhnya firman Allah pasti benar.” maka kedua perantara menemukan kesepakatan dan Allah memperbaiki hubungan antara suami-istri itu.
 
Jika permasalahannya sukar diatasi, Allah swt mensyariatkan perceraian pertama dan memberikan kesempatan untuk rujuk, Allah swt juga mensyariatkan ’iddah ( masa penantian) dan  mewajibkan pemberian nafkah selama itu agar dalam masa itu suami yang menceraikan bisa menenangkan diri.
 
Orang-orang yang mencela perceraian tidak tahu tata cara perceraian dalam Islam. Mereka lupa bahwa itu merupakan tuntutan social, dengan bukti sekarang mereka sendiri melakukannya. Karena itu, sebagian negara Barat telah menetapkan undang-undang yang membolehkan perceraian.
 
Memang, sebagian orang yang tidak berakhlak memanfaatkan perceraian itu dengan sumpah-sumpah yang mereka ucapkan dan menjadikannya sebagai sarana untuk menjual barang dagangan. Mereka menggunakan sumpah untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Tindakan orang-oarang semacam ini memang harus dicegah.
 
Jika sampai batas ini masih belum bisa ditemukan kata sepakat dan pasangan tersebut mustahil untuk bisa bersabar lagi, disyariatkan perpisahan antara keduanya. ”Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya.” (QS An Nisa 4:130).
 
Tetapi harus dengan cara yang tidak membahayakan diri sendiri maupun membahayakan pasangan. ”Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. al Baqarah 2:229). Tanpa melupakan keutamaan satu pihak atas pihak yang lain, ”Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. al Baqarah 2:229).
 
Ada satu hal yang unik, yaitu  bahwa penduduk sebuah kota suka bersumpah dengan talak. Suatu hari, hakim agama pergi ke kota tersebut. Ia mendapatkan kota tersebut dalam  keadaan sebagaimana yang telah saya sebutkan. Maka ia berkata kepada penghulu setempat, “Mengapa Anda tidak melarang mereka bersumpah dengan talak?”
“Talak rupanya sudah menjadi tradisi mereka.” jawab mereka.
 
Mengenai poligami, Islam memandangnya dengan pandangan sosial. Adalah sudah dimaklumi bahwa peperangan yang terjadi antara berbagai bangsa memakan korban banyak tokoh agama yang gugur, sehingga berakibat banyak wanita menjanda dan tidak mempunyai penanggung jawab dalam masalah nafkah.
 
Adalah lebih baik apabila seorang wanita mendapatkan seperempat suami daripada seoarang suami yang “tidak ada”. Ada kalanya seoarang wanita jatuh sakit. Ia dihadapkan dua pilihan: membiarkan suaminya menikahi wanit lain seraya tetap merawat dirinya, atau suaminya menceraikannya sedangkan ia dalam keadaan seperti itu, yang nanti –boleh jadi- tidak menemukan lagi orang yang bertanggung jawab terhadap dirinya.
 
Solusi yang dikemukakan Islam adalah, semuai tetap mempertahankan perkawinannya dengan wanita tersebut, seraya memberi jnalan untuk berpologami, dengan mewanti-wanti agar ia tidak melakukan tindakan yang mengandung madharat dan menegakkan keadilan. “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (QS An Nisa 4:3).
 
Barangsiapa tidak berlaku adil terhadap istrinya, pada hari kiamat ia datang dengan rusuk yang miring.
 
Orang-orang yang mencela poligami mengabaikan motivasi berpoligami. Pada saat mereka tidak suak menjadikan wanita kedua sebagai istri, mereka justru suka menjadikannya sebagai pasangan selingkuh. Sedangakn Islam tidak  mengenal perselingkuhan. Yang dikenal hanya jalan yang lurus saja. “Tunjukkan kami ke jalan yang lurus.” (QS. al Fatihah 1:6).
 

Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Sayidina Muhammad, serta segenap keluarga dan sahabatnya.

Tidak ada komentar: