Rabu, 21 Juli 2010

Wanita Hebat di Belakang Hasan al Banna

Ia adalah Lathifah As Suri. Ia adalah perempuan yang menemani Imam Syahid Hasan al Banna sampai akhir masa hidupnya. Sejak awal Imam Syahid telah menegaskan bahwa ia butuh seorang muslimah yang kokoh, yang tak lekang dan surut oleh banyaknya halangan dan rintangan dalam berdakwah.

Bagi Lathifah As Suri menjadi istri seorang Hasan al Banna menyimpan begitu banyak kisah. Sejak awal pernikahan, Lathifah sudah menyadari bahwa ia harus siap jika sewaktu-waktu dia harus menjalani hidup seorang diri. Karena menjadi istri dari seorang pendakwah macam Hasan al Banna yang mencoba membangun sebuah peradaban tentunya juga membutuhkan kelapangan hati dan stok keikhlasan yang ekstra.

Dakwah Ikhwah yang dipimpin oleh suaminya banyak meminta resiko yang bukan main-main. Penjara bahkan nyawa menjadi konsekuensi logis, yang sewaktu-waktu siap menyapanya.

Tanpa diminta, Lathifah sudah tahu dan mengerti bagaimana ia harus menempatkan dirinya. Ia memutuskan menutup seluruh aktivitas luarnya. Hanya satu yang ia curahkan, jihad utamanya adalah dilingkup rumahnya sendiri. Mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anak mereka berdua adalah dua hal yang tidak kalah pentingnya dengan yang dilakukan oleh Hasan al Banna.

Sebelum menikah dengan Hasan al Banna, Lathifah berasal dari keluarga yang taat beragama. Hingga tak heran jika ia menyadari betul tuntutan hidup menjadi istri seorang dai.

Di malam hari, terkadang ia harus rela untuk terbangun menyambut kepulangan suaminya. Walau tak jarang Hasan al Banna berlaku sangat hati-hati, bahkan hanya untuk membuka pintu rumahnya sekalipun. Jauh dilubuk hatinya, Hasan al Banna tidak ingin mengganggu tidur bidadari terkasihnya yang telah seharian mengurus rumah dan anak-anak mereka berdua. Bahkan Hasan al Banna juga tak segan untuk menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.

Lathifah tidak pernah mengeluh, walau sehari-harinya hanya ia habiskan seputar rumah dan rumah saja. Ia tidak pernah menuntut lebih kepada suaminya. Satu-satunya yang pernah membuat Lathifah gamang adalah, ketika salah satu anak mereka sakit keras dan Imam Syahid harus tetap menjalankan jihadnya. Ia bertanya kepada suaminya,"Bagaimana jika ia meninggal?". Hasan al Banna hanya menarik napas panjang, ia kemudian berujar "Kakeknya lebih tau bagaimana mengurusnya."

Sejak dini, Lathifah menanamkan wawasan keislaman kepada anak-anaknya. Mendorong mereka untuk rajin membaca, sehingga dalam hidupnya mereka tidak terpengaruh dengan seruan-seruan destruktif. Ketika Hasan al Banna bolak-balik keluar penjara, Lathifah juga berusaha bersabar dan komitmen.

Lathifah sangat menyadari peran dan kewajiban asasi seorang wanita sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Ia kosongkan waktunya untuk mendidik anak-anaknya. Ia bahagia melihat anak-anaknya sukses dalam hal akhlak dan amal. Ini tak mungkin terjadi jika seorang ibu sibuk di luar rumah. Seorang anak tidak mungkin belajar tentang akhlak dan amal dari orang selain ibunya.

Ketika Hasan al Banna syahid, anak-anaknya belumlah dewasa. Lathifah tidak lantas menyerah. Tak ada kesah ataupun ketakutan dalam hatinya. Ia sangat memelihara apa yang dikehendaki oleh mendiang suaminya.

Tidak ada yang berubah dirumah itu. Apa yang Hasan al Banna inginkan masih berlaku dikeluarganya dan masih tetap di pegang teguh oleh Lathifah. Ia membesarkan keenam anaknya sendirian.

Sepeninggal Hasan al Banna, Lathifah mempunyai tugas tambahan di rumahnya, yaitu memperdalam wawasan keislamannya. Yaitu membaca al Qur’an dengan tafsirnya, mempelajari Sunnah Rasulullah saw, dilanjutkan dengan usaha kuat untuk menerapkannya. Lathifah juga masih menyempatkan diri mempelajari sejarah para salafussalih dan berita seputar dunia Islam.

Lathifah menyadari menyepelekan masalah ini akan memunculkan persoalan serius. Seorang yang tidak menambah pengetahuan keislamannya, akan merasa sulit untuk bangga dengan keagungan dan kebesaran Islam. Dengan melalui pemahaman keislaman yang baik, seorang wanita akan menyadari betapa penting perannya terhadap keluarga dan masyarakat.

Perjuangan Lathifah membuahkan hasil yang gemilang. Semua anaknya sukses meraih predikat formal dalam pendidikan ilmiah. Yang sulung, bernama Wafa – menjadi istri Dr. Said Ramadhan. Kedua Ahmad Saiful Islam, mantan anggota legislatif parlemen Mesir. Ketiga bernama Tsana, memiliki karir sebagai dosen di Universitas Kairo. Keempat Roja, ia menjadi dokter. Sedangkan anak kelimanya Halah sebagai dosen kedokteran anak di Universitas al Azhar. Dan terakhir, yang keenam Istisyhad. Ia menjadi doktor ekonomi Islam. Semuanya itu sebagai bukti, betapa berartinya sosok Ibu bagi keberhasilan dakwah sang suami, selain juga untuk anak-anaknya.

Tidak ada komentar: