Rabu, 21 Juli 2010

Organisasi Pemberantas Kemunkaran

Hasan al Banna masih duduk dibangku sekolah i’dadiyah, atau setingkat Sekolah Menengah Pertama di Indonesia. Pada usia yang masih belia itu, Hasan al Banna sudah memulai karirnya sebagai seorang juru dakwah yang menyerukan amar ma’ruf nahi munkar. Ia mendirikan sebuah organisasi yang ia beri nama Muharabah al Munkarat atau Organisasi Pemberantas Kemunkaran.

Sulung dari lima bersaudara yang kelimanya laki-laki ini menulis naskah proklamasi. Ia menulis dengan tangannya sendiri. Naskah proklamasi ini diantaranya berisi seruannya yang melarang laki-laki memakai cincin emas di jarinya dan juga tidak memakai sutra.

Naskah proklamasi itu diperbanyak dengan tulisan tangan dan dibagi-bagikannya kepada orang-orang di seluruh penjuru kota. Ia juga menempelkannya di pintu-pintu rumah besar.

Ia juga tidak ragu untuk menyuarakan kebenaran kepada para pejabat negara. Bahkan dengan menggunakan nama samaran, ia kerap menulis surat ke pejabat-pejabat terkenal. Ia menyerukan kebaikan dan melarang perbuatan munkar.

Di sekolah ini, Hasan al Banna bersama teman-temannya juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan yang dinamakan Perkumpulan Akhlaq Mulia. Ide ini diusulkan oleh guru matematikanya yang bernama Muhammad Afandi Abdul Khaliq. Dari namanya saja kita sudah tahu kalau perkumpulan ini menghendaki kemuliaan akhlaq dari para anggotanya. Salah satu aturan klub yang ada di antaranya adalah memberi denda kepada siapapun yang melakukan akhlaq yang tercela, dengan nominal denda dari yang teringan sampai yang terberat. Tergantung seberat apa pelanggaran yang dilakukannya.

Seperti diakui Hasan al Banna, ketekunannya untuk membuat organisasi selalu diilhami oleh cara kerja jam. Setiap komponen saling bekerja sama, saling terikat, saling menentukan. Kalau rusak salah satu komponen, rusaklah jam itu. Komponen jam ada yang terlihat yaitu jarum, itulah pemimpin ataupun humas. Ada juga yang tidak terlihat. Yang tidak terlihat itu umumnya anggota dan kelompok think tank (pemikir). “Organisasi Islam harusnya seperti itu,” menurut Hasan al Banna.

Saat itu Mesir juga sedang berada di bawah penjajahan Inggris. Kerusakan imbas dari sebuah penjajahan telah meninggalkan jejaknya dimana-mana. Keadaan ini membuat seluruh penduduk Mesir gelisah.

Begitu juga dengan Hasan al Banna kecil. Iapun berpikir untuk ikut melakukan perlawanan. Maka pada 1919 – yang saat itu ia baru berusia 13 tahun – iapun ikut bergabung dalam sebuah demonstrasi besar untuk menentang penjajahan Inggris.

Tidak ada komentar: