Rabu, 21 Juli 2010

Perjanjian dengan Allah

“Aku ingin menjadi seorang penyuluh dan guru, sekaligus. Bahkan, seandainya seluruh waktuku, setiap harinya lebih banyak disita untuk mengajar, aku masih akan menyempatkan diri untuk mengajak para wali murid pada tujuan-tujuan Islam. Sekali-kali menulis, dan dalam kesempatan lain memberikan ceramah serta berbincang-bincang. Dan tentu saja melakukan satu perjalanan atau bertamasya. Untuk memenuhi tugas yang pertama, sebagai penyuluh, aku telah mempersiapkan diri dengan jiwa penuh rasa syukur dan optimisme. Sedangkan untuk tugas kedua, sebagai guru, dengan penuh ketekunan dan pengorbanan. Semuanya ini penting bagi seorang pembaru dan menjadi rahasia keberhasilannya. Alat-alat praktis yang hendaknya dimiliki seorang pembaru adalah masa belajar yang tidak sebentar, pengetahuan tentang mereka yang memiliki idealisme Islam dan mereka yang bersimpati kepadanya. Tubuh yang biasa menghadapi kekasaran walaupun kecil dan tidak asing lagi menghadapi kekerasan meski begitu lembut tubuh itu. Dan seluruh jiwa yang kuserahkan kepada Allah. Inilah perjanjian yang kubuat antara Allah dan diriku yang kutuangkan di sini, yang kuminta agar disaksikan oleh guruku, yang tak dapat dipengaruhi oleh apapun juga, kecuali hati nuraniku, dan yang bersifat gaib kecuali di hadapan Allah. Dan barangsiapa menepati janjinya di depan Allah, maka pahala yang besar akan menjadi miliknya.”

Itulah yang ditulis Hasan al Banna ketika menjelang kelulusan para mahasiswa diminta menuliskan rencana mereka selepas kuliah. Ia memiliki konsep sendiri yang jauh lebih matang dari teman-temannya. Ia ingin bermanfaat bagi manusia lain.

Perjanjian dengan Allah ini dibuat oleh Hasan al Banna, di depan dan disaksikan para gurunya. Perjanjian yang jelas tidak ringan untuk seorang pemuda yang baru berusia 21 tahun. Dan setelah itu, ia pun berangkat memenuhi janjinya, menjadi guru dan penyuluh di wilayah Ismailiyah.

Tidak ada komentar: