Rabu, 21 Juli 2010

Atifatuts Tsulatsa

Pada awal Ikhwanul Muslimin terbentuk, Hasan al Banna mempunyai sebuah pengajian khusus yang selalu diadakan pada hari Selasa. Pengajian ini didatangi oleh ribuan orang. Awalnya pengajian ini dikenal dengan sebutan Haditsuts Tsulatsa. Tetapi, Hasan al Banna sendiri lebih sering menyebutnya dengan Atifatuts Tsulatsa. Hari Selasa adalah hari yang ditunggu-tunggu semua orang.

Di depan ribuan manusia yang datang dari berbagai penjuru Mesir dan luar Mesir, Hasan al Banna naik mimbar. Dengan jubah dan surban putihnya, Hasan al Banna berdiri di atas mimbar. Ribuan hadirin yang seperti dengungan lebah tiba-tiba senyap. Hasan al Banna berdiri dalam sepi. Mengitarkan pandangannya ke seluruh hadirin yang membanjir. Seolah hendak melihat kedalaman jiwa umatnya, Hasan al Banna melihat satu persatu mata orang-orang yang sempat ia lihat. Lalu ia mengucapkan salamnya yang khas.

“Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat. Wahai Ikhwan yang terhormat, saya sampaikan salam penghormatan Islam, salam penghormatan dari Allah, yang baik dan diberkahi: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.”

Hasan al Banna selalu tampil memukau dalam memberikan ceramahnya. Tetapi, ia memukau bukan karena kata-kata yang indah dan penuh retorika, atau semangat yang menyala-nyala. Ia memukau karena membawa kembali kebenaran yang telah tertimbun berbagai masalah di dalam hati siapapun yang mendengarnya.

Ahmad Isa Asyur, seorang murid Hasan al Banna yang mencatat dan membukukan ceramah-ceramah Selasa menceritakan pengalamannya mendengarkan sang guru saat membeberkan hikmah.

“Hari Selasa adalah hari yang disaksikan. Ribuan orang berkumpul dari berbagai penjuru Kairo, Iskandariyah, hingga Aswan, bahkan dari luar Mesir. Mereka ingin mendengar Hasan al Banna. Maka ia naik mimbar dengan surban dan jubah putihnya, lalu sejenak mengitarkan pandangan pada hadirin di hadapannya, sebelum kemudian suara itu menggaung dengan kekuatan jiwa yang penuh dan kalimat-kalimat yang menyihir, segera merasuk ke dalam hati pendengar. Suara itu tidak bertumpu pada retorika, juga tidak membakar emosi dengan teriakan. Suara itu sepenuhnya bertumpu pada kebenaran, membangun semangat dengan menyakinkan akal, menggelorakan jiwa dengan makna bukan dengan kata-kata, dengan ketenangan bukan provokasi, dengan hujjah bukan hasutan. Sehingga setiap orang yang pernah mendengarnya sekali akan terus mengikuti ceramah-ceramahnya itu secara rutin, betatapun kesibukan dan hambatannya.”

Dalam kesempatan lain, saat berhaji, Ahmad Isa Asyur bertemu dengan sang guru yang sedang memberikan ceramah pada banyak jamaah, dari seluruh dunia. Ahmad Isa Asyur menyebutkan, para hadirin ada yang datang dari Jawa dan Indonesia, Srilanka dan India, Madagaskar dan Nigeria, Kamerun, Iran bahkan Afghanistan. “Beliau berbicara dengan setiap wakil utusan mengenai masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian mereka, tentang problem yang mereka hadapi. Beliau menarik perhatian mereka, seakan-akan beliau datang dari negeri mereka, dan bukan mereka yang datang kepada beliau,” kenang Ahmad Isa.

Tidak ada komentar: